Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 >  GEREJA, KEPEMIMPINAN, DAN KESENJANGAN ANTAR GENERASI{*} > 
PERAN GENERASI MUDA YANG ALKITABIAH 

Karena kami meyakini bahwa Alkitab seutuhnya merupakan firman Tuhan yang tanpa cacat serta merupakan standar mutlak bagi iman dan kelakuan orang Kristen, maka melalui Alkitab pulalah kita membangun prinsip-prinsip dasar guna membenahi problema bangsa dan gereja. Seperti pada bagian interaksi di atas, kami akan memperluas dan memperincinya dengan menyoroti tokoh-tokoh tertentu di dalam Alkitab.

Contoh Kasus: Musa

Musa, sebagai pemimpin dari generasi tua, terkadang mengerti tentang pentingnya menjadi fasilitator, dan bukan sekedar terus menerus menjadi instruktor terhadap bawahannya. Kepada Yosua yang boleh di kata masih muda, ia memberi tugas sebagai pelaksana, sebagai panglima perang guna melindungi jemaah Israel dalam rangka memerangi orang Amalek (Keluaran 17:10-14). Ini merupakan pelimpahan kepercayaan yang besar. Karena mereka, Musa - Harun - Hur, sebagai generasi tua berpartisipasi, turun tangan mendukung secara langsung dan aktif. Tekanannya di sini adalah pelaksanaannya diserahkan kepada generasi muda. Tentunya, sebelum Yosua memerangi orang-orang Amalek, kepadanya diberikan bimbingan, pengarahan, dan sebagainya, yang memang harus ada dari generasi tua. Namun tentunya juga pengarahan-pengarahan itu bukan pendiktean.

Musa, sebagai pemimpin generasi tuapun, tidak tinggal diam apabila ia melihat Yosua sebagai generasi muda (yang biasanya penuh emosi dalam saat-saat tertentu) keliru dalam tindakannya. Tanpa ragu Musa dapat secara langsung memberikan teguran yang berguna bagi Yosua. (Perhatikan peristiwa dalam Bilangan 11:26-30). Teguran itu bernada cukup kerat (perhatikan ayat 29 "Are you jealous for myself?" Living Bible "Are you jealous for my sake? NASB), namun tetap disampaikan dengan isi yang tidak menyerang pribadi Yosua dan tetap bernada kesal (perhatikan a. 29b). Yosua tidak tersinggung apalagi ngambek (withdraw). Terbukti pada saat kritis berikutnya, ia mendukung Musa, bahkan nyawanya sendiri terancam karena berpihak pada Musa (perhatikan Bilangan 13:30-14:10); dan Yosua menjadi tokoh satu-satunya yang diberi kepercayaan untuk menggantikan kepemimpinan Musa sebagai generasi tua yang harus menjadi purnawirawan (Ulangan 31:1 dst.).

Di sini jelas Yosua tidak menyimpan sikap "meng-engkau-kan" generasi tua. Ia merasakan dengan tanpa ragu bahwa perjuangan generasi pendahulunya juga merupakan bagian integral dari kehidupannya pada masa itu. Ia tidak mengambil tempat di luar kelompok, di luar panggung/arena peristiwa. Ia merasa ikut bertanggung jawab mengelola serta menangani setiap masalah rumit yang menimpa bangsa Israel. Tidak baginya untuk berpangku tangan atau ongkang-ongkang kaki menikmati hasil perjuangan generasi tua sambil menonton generasi tua berjuang mati-matian menyelesaikan semua tantangan dan masalah yang ada.

Sebaliknya Musa sendiri pernah dikoreksi oleh generasi yang lebih tua daripada dirinya. Ketika Musa sedang berleha-leha mengerjakan tugas rutinnya seperti biasanya yang begitu banyak (Keluaran 18:13), mertuanya, Yitro, (ahli manajemen?) langsung memberikan saran-saran yang berguna bagi Musa mengenai cara-cara mengelola permasalahan bangsa Israel yang tidak habis-habisnya. Barangkali Musa yang masih muda dalam melayani bangsa itu menjadi frustrasi juga menangani problema demi problema.

Sang mertua berkomentar: "Apa-apaan yang kau lakukan kepada bangsa ini? Mengapakah engkau seorang diri saja yang duduk, sedang seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi sampai petang?" (a. 14). Ini adalah suara observasi dan koreksi dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda. (Catatan: untuk ukuran zaman sekarang usia Musa yang kira-kira 80 tahun itu tidak dapat lagi digolongkan sebagai generasi muda: namun untuk konteks kontak pertemuannya dengan sang mertua Yitro hal itu masih relevan, karena sang ahli manajemen pasti usianya lebih tua daripada sang mantu.) Bagaimanakah Musa berespons terhadap observasi dan koreksi itu? Marahkah ia, sambil mengacuhkan usul sang mertua?

Ternyata Musa, sebagai generasi yang lebih muda, mempunyai sikap ingin belajar dari siapapun (sekalipun ia pemimpin Israel yang besar saat itu). Usul itu disambutnya dengan dialog (interview) secara terbuka, yang isinya bersifat menjelaskan. Kemudian sang mertua mulai "memberi kuliah" manajemen langkah demi langkah yang diikuti Musa dengan tertib. Dari ayat 17 hingga 23 Musa mendapatkan segudang input yang bermanfaat baginya.

Ayat 17 mereka menganalisa persoalan

Ayat 18 mereka mengevaluasi

Ayat 19 mereka menuntun (coaching, memberi nasihat)

Ayat 20 mereka mengajar

Ayat 21 mereka mengelola (disiplin organisasi)

Ayat 22 mereka mengontak (kontrol dan evaluasi)

Ayat 23 mereka mendorong (informasi dasar)

Hasilnya, nasihat begitu baik yang diberikan dengan baik juga oleh generasi yang lebih tua itu diterima dengan baik pula oleh Musa. Ayat 24 berbunyi: "Musa mendengarkan perkataan mertuanya itu dan dilakukannya segala yang dikatakan." Dengan demikian, terciptalah suatu jaringan interaksi antara kedua macam orang dari dua macam tingkat usia.

Contoh Kasus: Daud

Secara singkat, tidak diragukan lagi bahwa mutu hidup Daud sangat tinggi, sehingga Allah dan hamba-Nya para nabi melihat mutu tersebut dan mempercayakan tugas, yang penting kepadanya (lih. I Samuel 16:7; I Samuel 5:1-5). Generasi tua berdatangan kepadanya guna melimpahkan segala kerja yang belum sempat mereka selesaikan. Kepada Daud, mereka tidak ragu; karena sebagai generasi muda, Daud menaruh kebanggaan akan perkara rohani (II Samuel 6:14-15,18). Ia terlibat dan melibatkan umat Allah untuk menyembah Tuhan yang sudah menjadi penolongnya yang teruji. Alhasil, Allahpun senantiasa berada di tengah-tengah umat-Nya (I Tawarikh 17:16). Maka nampaklah jelas bahwa menanjaknya Daud serta kebesarannya ini dikarenakan prinsip-prinsip yang menuntunnya adalah prinsip-prinsip rohani.

Contoh Kasus: Yesus

Pada zamannya Tuhan Yesus, yang menurut Injil Lukas masih berumur tiga puluh tahun, Ia mau tidak mau sering berhadapan dan bertemu serta bertatap muka dengan para alim ulama, ahli Taurat, para imam yang setaraf doktor. Pendeknya kebanyakan dari mereka boleh dikategorikan ke dalam himpunan generasi tua bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimana sikap yang ditampilkan Yesus? Menurut kesaksian Injil, sepanjang kehidupan Yesus diwarnai dengan tutur kata yang manis, yang tegas, yang baru, yang membangun, dan sebagainya. TeladanNya telah teruji dan terbukti tanpa cela di mana-mana, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat membuktikan kesalahan-Nya (bdk. Yohanes 8:46).

Menghadapi segala bentuk permasalahan dan tujuan hidup ini, serta berinteraksi dengan manusia lain, Yesus mengharamkan sikap otoritarianistis dan permainan kotor politik. Di dalam Lukas 22:24-27 ia mempertegas hal ini kepada segenap murid-Nya yang tampaknya telah cenderung mempelajari cara-cara tercela itu. Konteksnya adalah Yesus yang menunggu saat kematian-Nya (a. 14-23); sedangkan yang mereka pikirkan adalah kekuasaan. Kata "pertengkaran" (a. 24 philoneika) mengandung arti "persaingan argumentasi" (rivalry) yang bukan aksidental (ketularan waktu itu saja), melainkan mereka mengidap roh pertengkaran sebagai kebiasaan yang berlangsung terus menerus. Bayangkan, murid-murid saling menyerang dan bermain politik agar dapat memperoleh kedudukan penting dalam kerajaan Allah yang diidam-idamkan mereka. Generasi muda yang berjiwa dan berambisi demikian, tidak ada sedikitpun pada Yesus, dan Ia mengajarkan peniadaan yang sama kepada para murid, dan kita semua, tentunya.

Ayat 25 menyatakan perbandingan kebiasaan budaya Yunani, yang menjalankan praktek diktator. Istilah "memerintah" (Yun. kurieuo), seperti kurios, berarti "menjadi Tuhan" (bagi rakyat mereka). "Tetapi kamu tidaklah demikian" menunjukkan keharusan keterbalikan ciri murid Yesus daripada ciri yang telah disebut terdahulu. Dengan lain perkataan, murid Yesus harus menghindari pengkultusan, yaitu karisma individu yang menguasai, yang akhirnya membawa kepada penyembahan diri seseorang. Yang menjadi kesayangan Tuhan adalah mereka yang bersedia menjadi diakonos (pelayan), yaitu yang memimpin. Maka kedua belah pihak baik generasi muda dan generasi tua harus belajar dari sini. Generasi tua sebagai pemimpin harus bersedia menjadi diakonos bagi setiap orang, dan generasi muda yang akan menggantikan generasi tua harus siap untuk menjadi diakonos pula.

Ayat 27 menampilkan suatu retorik yang menarik. Yesus berkata: "Sebab siapakah yang lebih besar yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan?" Masalah yang harus diingat di sini ialah siapakah tamu itu dan sebaliknya siapakah pelayannya. Ini merupakan pengajaran paradoks yang tajam sekali. Mengingat pernyataan tersebut justru sangat bertolak belakang dengan sikap penyembahan kultus di mana pelayanan kepada pemimpin diutamakan. Bagi generasi tua dan generasi muda pada zaman Yesus dan zaman kita sekarang ini mungkin terkejut mendengar pernyataan tersebut. Tetapi inilah kuncinya. Apabila kedua generasi itu benar-benar melaksanakannya, tentu tidak akan terjadi kesenjangan di antara mereka. Buktinya, semua ini dilakukan dengan semurni-murninya oleh Paulus, sehingga ia berhasil, bahkan paling berhasil di kalangan murid Yesus yang terkemudian. Untuk itu kita akan mulai meneliti keindahan pelayanan Paulus.

Contoh Kasus: Paulus

Kehidupan dan kepemimpinan Paulus senantiasa menampilkan ciri 3-K, yaitu: kebapaan, keibuan, dan kesucian. Dalam pelayanan yang dilakukannya ia senantiasa menjaga kesuciannya terutama di hadapan Allah dan juga manusia. Misalnya, dari IT Korintus 8:20-21 kita mendapatkan kesan bahwa Paulus berhati-hati agar jangan ada masalah sekunder (yang memang ia sendiri tidak bersalah sekalipun) yang sampai merusak dan mengganggu jalannya tugas yang harus diselesaikannya.

Berhadapan dengan siapa saja, ia selalu dapat menjaga keseimbangan antara sifat kebapaan dan sifat keibuannya. Sifat kebapaan ini menonjol di dalam cara-cara Paulus menegur dan mendorong jemaat yang dilayaninya (mis. Galatia 3:1-5; 1Kor 4:6-10). Dengan sikap seperti itu ia cocok untuk menjadi bapak bagi jemaat dan bawahannya (I Tesalonika 2:11); bahkan juga ia menjadi kompeten untuk menasihati bapak-bapak (Efesus 6:4)!

Selain itu sifat keibuannya dimanifestasikan juga olehnya. Melalui I Tesalonika 2:7 ia berkata: "Tetapi kami berlaku ramah (epioi=lembut) di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya." Kata "ramah" sebaiknya diterjemahkan "halus" atau "lembut". Maksudnya, seperti seorang ibu yang mengasuh anaknya, ia akan memperhatikannya dengan hati-hati agar sang anak mendapatkan pertumbuhan yang sehat dan tidak ada cacat atau kerusakan (bdk. kata "epioi" itu diulang kembali dalam II Timotius 2:24 untuk hamba Tuhan, dalam konteks bagaimana menjaga lidahnya). Sedangkan kata "thalpe" (merawati) mempunyai arti hurufiah "menghaluskan dengan kehangatan dan tetap memelihara kehangatan itu". Hal ini dapat dibandingkan dengan kebaikan yang harus dikerjakan oleh mereka yang memelihara hukum Taurat terhadap unggas sekalipun (lih. Ulangan 22:6).

Pikiran penting yang terkandung dari seluruh pembahasan tentang sikap keibuan ini adalah kerinduan akan kebaikan bagi yang dilayaninya menyebabkan kesediaan pemimpin bersedia berkorban. Maka jelaslah rangkuman 3-K ini menjadikan Paulus sebagai generasi muda yang tidak bersenjang dengan generasi yang lebih tua darinya; dan sebaliknya, ia sendiri sebagai generasi yang tua tidaklah ditakuti dan berdiri jauh dengan generasi yang lebih muda daripadanya.



TIP #20: Untuk penyelidikan lebih dalam, silakan baca artikel-artikel terkait melalui Tab Artikel. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA