Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 > 
PENGGEMBALAAN DAN ISU GLOBALISASI 
Penulis: Charles Christano339
 KEBERSAMAAN PEMAHAMAN

Pada umumnya, tanpa disadari sepenuhnya, dalam hidup kita sesehari, termasuk dalam hal-hal yang sederhana, dapat saja terjadi ketegangan, pertentangan, bahkan permusuhan yang sengit. Hal itu disebabkan antara lain karena pada pihak-pihak yang berkepentingan sempat terjadi kesalahpahaman.

Kalau ketegangan, pertentangan, bahkan permusuhan dapat terjadi dalam perkara-perkara yang sederhana karena kesalahpahaman, apalagi dalam perkara-perkara yang lebih mendasar dan yang menyangkut agama serta kepercayaan.

Dalam peristiwa pembukaan Kongres Nasional Agama-agama di Indonesia dan Peringatan 100 Tahun Parlemen Agama-agama Sedunia oleh bapak Menteri Agama dr. H. Tarmidzi Taher, di Gedung Wanita, Yogyakarta yang diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 11 Oktober 1993 yang lalu, Harian Suara Merdeka - edisi Selasa, 12 Oktober 1993 pada halaman XVI - memuat:

Dialog antar umat beragama merupakan suatu kebutuhan, bahkan mungkin suatu keharusan. Sebab globalisasi yang melanda kehidupan umat manusia memunculkan gejala pluralisasi, yaitu proses pemajemukan kecenderungan, orientasi, dan perilaku, termasuk dalam bidang keagamaan. Masing-masing menemukan kepercayaan diri dan berusaha mengartikulasikan diri ke pentas kehidupan. Gejala pluralisasi ini memungkinkan persinggungan dan persaingan yang seringkali memercikan api silang sengketa, konflik, bahkan perang, kata Menteri Agama. Lebih lanjut dikemukakan bahwa jika proses itu terjadi di kalangan kaum agamawan dan melibatkan sentimen keagamaan, maka permasalahannya menjadi lebih luas dan dalam. Akibatnya, pemecahan masalah menjadi kian sulit dan rumit ....

Oleh sebab itu, sebelum kita mencoba membahas permasalahan Teologia dan Penggembalaan, kita pun perlu memiliki pemahaman yang sama terlebih dahulu agar tulisan yang sesungguhnya menyangkut masalah yang sangat kompleks namun penting ini - tetapi yang hanya dapat dibahas secara ringkas dan serba terbatas ini - tidak akan menambah kerancuan dan kesalahpahaman yang memang sangat potensial dan sudah sempat sering terjadi di antara kelompok-kelompok tertentu. Kesalahpahaman tadi bukan hanya terjadi di antara kelompok agama yang berbeda bahkan kalau kita mau jujur telah terjadi juga di antara kelompok-kelompok yang sama tetapi berbeda denominasinya!

Kita yang sependapat dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, yang sekali dan untuk selamanya telah diberikan Allah kepada kita, di segala tempat dan zaman, perlu mengakui bahwa Allah yang kekal dan tidak berubah tadi menyatakan kehendak dan rencana-Nya kepada manusia dalam situasi dan zaman yang berbeda dari kita.

Dengan kata lain, Allah tidak pernah berfirman kepada ruang hampa tetapi kepada orang, atau sekelompok orang, kepada suku atau bangsa tertentu, pada waktu dan tempat tertentu pula.

Oleh karena itu, kita (siapapun juga yang memang mau lebih bertanggung jawab) harus bergumul dan berupaya untuk mencoba memahami secara baik dan benar makna dan maksud firman Tuhan tadi yang telah diterima kepada pendengar atau penerimanya yang asli! Tugas itu sendiri bukan sesuatu yang mudah. Baru sesudah itu kita mencoba menggali dan kebenaran firman Allah yang disampaikan dan ditujukan kepada orang, atau orang-orang tertentu pada tempat dan masa tertentu bertentangan dengan situasi dan kita sekarang dengan segala kenyataan tentu saja kompleks dan tidak mudah. Teristimewa pada masa globalisasi sekarang ini.

Dengan kata lain, setiap upaya kita untuk berteologia, termasuk teologia penggembalaan harus dengan cermat memperhatikan kenyataan tadi! Sebagaimana pernah dikatakan oleh Dr. John Stott, apabila kita ingin mencari kehendak Allah pada zaman kita, maka kita harus bersedia dan siap untuk melihat dan menghubungkan penyatuan (revelation) sesuai dengan konteksnya, dengan kenyataan yang jelas serta berbeda pula (reality).

Dalam pemahaman semacam itulah tulisan ini mencoba menggumuli dan mengerti penggembalaan dalam arti yang umum dan seluas-luasnya dalam kerangka yang tidak bisa lain kecuali kerangka teologia.

 GEMBALA DAN PENGGEMBALAAN

Bukan kebetulan apabila Alkitab, di samping memakai berbagai macam istilah yang memang benar dan indah, juga memakai istilah Gembala bagi TUHAN. Di tengah-tengah berbagai macam upaya untuk membuat firman Allah makin komunikatif pada era teknologi canggih ini, istilah "gembala" toh masih tetap dipertahankan. Hal itu disebabkan karena bahasa modern dengan istilah padanan yang bagaimanapun juga tetap tidak pernah akan dapat mengungkapkan kekayaan maknanya.

Karena itu masalah penggembalaan bukan saja sentral dalam Alkitab tetapi akan menjadi makin diperlukan dalam era globalisasi sekarang ini. Hal ini disebabkan karena di samping berbagai aspek positifnya yang dapat dan harus kita manfaatkan, globalisasi juga memberikan berbagai dampak yang negatif sebagaimana yang kita bicarakan di bawah nanti.

Bagaimana kita dimampukan untuk menggembalakan tanpa memahami rencana Allah bagi semua ciptaan-Nya? Hanya apabila kita dimampukan untuk memiliki relasi vertikal (hubungan kita kepada Allah) secara benar, sejauh itu pulalah kita akan lebih dimampukan dalam panggilan dan tanggung jawab penggembalaan kita. Bukankah pada esensinya kita semua dituntut untuk mengasihi Allah dengan segala eksistensi kita dan mengasihi sesama kita sebagaimana kita mengasihi diri sendiri?

 MENGENAL DUNIA DAN MASYARAKAT KITA

Di antara begitu banyak ayat yang harus kita perhatikan dalam masalah penggembalaan, barangkali kita perlu memperhatikan ayat-ayat di bawah ini:

"Dengarkanlah, hai orang-orang tuli
pandanglah dan lihatlah, hai orang-orang buta!
Siapakah yang buta selain dari hamba-Ku,
dan yang tuli seperti utusan yang
Kusuruh?
Siapakah yang buta seperti suruhan-Ku
dan yang tuli seperti hamba TUHAN?
Engkau melihat banyak,tetapi tidak
memperhatikan
engkau memasang telinga, tetapi
tidak mendengar...
Siapakah diantara kamu yang memasang
telinga kepada hal ini,
yang mau memperhatikan dan mendengarkannya
untuk masa yang kemudian?"

(Yes 42:18-20,23).

Kita tahu bahwa kutipan di atas merupakan sebagian dari tema besar Hamba TUHAN. Dari konteksnya, hamba TUHAN yang dimaksud, sangatlah jelas: bangsa Israel (Yes 41:8,9). Mereka telah menerima berbagai anugerah secara berkelimpahan: dibebaskan dari belenggu perhambaan Mesir, menerima hukum Allah dari Sinai, menaklukkan Tanah Kanaan dan lain sebagainya. Walaupun mereka telah mengalami dan membuktikan kebaikan dan pemeliharaan Tuhan, namun berkali-kali mereka masih juga menjadi bangsa yang keras kepala dan tegar tengkuk.

Dikhawatirkan bahwa gereja Tuhan juga seringkali melakukan dosa dan kesalahan yang sama. Gereja bisa melupakan tugas panggilan Tuhan gereja yang telah diserahkan dan dipercayakan kepadanya.

Dalam ayat-ayat di atas memang sungguh ironis. Betapa tidak? Marilah kita simak ayat-ayat di bawah ini:

"Aku ini, TUHAN telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, ... Aku telah membentuk engkau ... menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa, untuk membuka mata yang buta,..." (Yes 42:6,7).

Ternyata yang harus menjadi terang dan harus mencelikkan kebutaan orang-orang lain justru dirinya sendiri buta dan tuli!

Tuhan Yesus berkata dengan keras terhadap orang-orang yang seharusnya menjadi pemimpin dan pembimbing - para tokoh spiritual - yang seharusnya menjadi mata dan telinga bagi orang kebanyakan:

"Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukanlah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?" (Luk 6:39; bdk. Mat 15:14).

Dalam menyongsong era globalisasi, apakah kita dapat mengantisipasi berbagai masalah yang sedang terjadi dan pasta akan terjadi dengan begitu cepat sehingga akan menggoncangkan bahkan mengubah sistem nilai dan tatanan yang selama ini kita terima dan berlakukan nyaris tanpa banyak tanya secara kritis?

Dalam suasana demokratisasi yang kian melonggar; dalam mengikuti trend semangat gerakan Hak Asasi Manusia yang kian terbuka, ditunjang oleh peralatan informatika elektronika yang kian canggih dalam era globalisasi pasti akan makin besar dan deras arus informasi yang melanda keluarga dan masyarakat kita.

Dalam ruangan yang relatif tertutup, maka suasana kamar menjadi pengap. Apabila pintu dan jendela kita buka lebar-lebar, maka ruangan yang pengap dan remang-remang tadi menjadi lebih terang dan segar karena udara luar yang masuk! Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa bersama dengan udara segar dari luar yang memasuki ruang tadi juga masuk pula lalat dan serangga yang menambah polusi! Demikianlah yang pasti terjadi dalam era globalisasi kita.

Kalau kita tidak dapat mengenal zaman kita dengan berbagai macam tanda perubahan dan gejolaknya yang begitu membingungkan, bagaimana pula kita akan mampu menilainya? Dan kalau kita sendiri menjadi ikut bingung, atau meminjam bahasa Yesaya ataupun Lukas, menjadi "beta dan tuli", bagaimana mungkin kita dapat dimampukan untuk menjadi berkat bagi sesama kita? (bdk. Luk 6:39 dengan Luk 12:54-56).

 BANYAK ORANG MENDERITA TEKANAN JIWA

Pada tanggal 9 Oktober 1993, di Istana Merdeka, Jakarta, dalam rangka peringatan dan pencanangan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, presiden Suharto mengejutkan kita dengan pernyataannya yang membuat hati kita terpana dan prihatin. Betapa tidak?

"Tiga dari sepuluh warga negara Indonesia yang berobat ke Puskesmas ternyata mengalami keluhan berhubungan dengan gangguan jiwa ringan..."

Tentunya angka-angka tadi bukan begitu saja jatuh dari langit! Dan kalau hal itu benar, berarti hampir sepertiga (1/3) dari pasien yang ke Puskesmas, mengalami gangguan jiwa ringan!

Bukan karena mau bermain angka, mungkinkah angka tadi bisa membengkak? Kalau Puskesmas merupakan tempat yang paling mudah untuk dijangkau masyarakat jelata karena "terdekat nan termurah", kira-kira bagaimana statistik yang dapat diperoleh apabila diungkapkan secara lebih lengkap dan para pasien pengunjung rumah sakit (umum maupun swasta), kamar praktek dokter pribadi (yang umum maupun yang spesialis)? Belum lagi yang mampu berobat ke LN!

Andaikan saja bahwa angka tadi boleh dipakai untuk seluruh penduduk Indonesia berarti sekitar kurang lebih 60 juta orang mendapat gangguan jiwa ringan, suatu jumlah yang sangat besar. Memang tidak sempat dinyatakan berapa kira-kira jumlah orang yang mendapat gangguan jiwa yang lebih berat?

Apakah kita juga memperdulikan beberapa berita yang sempat mencuat di berbagai daerah tentang berbagai kasus di mana ada orang-orang, sebagian anak-anak muda, yang terpaksa di kerangkeng, dirantai, dipasung, diasingkan oleh keluarganya selama belasan tahun? Dan kalau kita mau memperhitungkan budaya malu bangsa kita, barangkali makin banyak kasus sejenis yang akan ditemukan!

 KEHIDUPAN YANG KERAS DAN GANAS

Bagaimana pula dengan tindak kekerasan yang sangat mengejutkan misalnya: seorang suami yang mencekik isteri sendiri sampai mati atau seorang isteri yang menyiram air panas kepada suami selagi dia tidur atau seorang nenek yang bukan hanya tega menghabisi nyawa cucunya tetapi lebih dari itu memotong-motong mayatnya menjadi puluhan penggal?

Bagaimana pula dengan kisah gadis putus sekolah, karena kebetulan berwajah lumayan dihamili oleh paman kandungnya sendiri. Payahnya setelah anak diluar nikah itu lahir, kedapatan bahwa ibu muda tadi hamil lagi. Seakan-akan kisah anak manusia belum cukup seru. Ternyata menjadi ayah dari calon anak yang kedua tadi justru ayah kandung dari "gadis" yang malang tadi!

Walaupun angka dan jumlah memang belum tentu dapat dijadikan patokan yang mati, betapa sangat memprihatinkan apa yang diungkapkan dari beberapa hasil angket dan penyigian (survey) tentang berjangkitnya kasus WIL (wanita lain) dan PIL (pria lain) dalam hidup sejumlah pasangan suami istri yang terhormat dan berpendidikan serta berkedudukan cukup tinggi? Masakan mata kita menjadi "buta" dan telinga kita menjadi "tuli" terhadap makin merosot dan makin mengendornya nilai-nilai moral etis yang merusak pagar ayu dalam kehidupan masyarakat kita sekarang?

Seakan masih ingin menambah keramaian blantika bursa penyaluran libido manusia yang kian di pacu dan dirangsang sehingga begitu meningkat dan menjadi kian "bebas". Dalam derap laju dan gegap gempitanya pendidikan dan pembangunan di negara kita ini, di Solo, salah satu pusat Kebudayaan Kejawen yang notabene adhi luhung, sempat menjadi geger karena ada sejumlah nomor telepon yang dapat menghubungkan kaum pejabat yang sedang berbisnis atau bersantai di Solo dengan sejumlah wanita dari berbagai kelas dan tingkat.

Ada juga semacam bursa, bahkan "arisan perjaka" bagi kaum wanita karir atau ibu-ibu terhormat yang kesepian, untuk mendapatkan partner di hotel-hotel berbintang. Kaum gigolo yang memiliki tampang dan tubuh atletik tadi memang dengan senang melayani kaum ibu atau tante dengan tarif yang lumayan. Menghibur tante yang lebih tuapun tak menjadi masalah; pokoknya dapat uang banyak dan gampang, apalagi sementara itu masih punya kekasih sendiri yang muda dan cantik!

 ADAKAH HARI ESOK YANG CERAH

Jawabnya? Tergantung! Yang jelas Allah tidak menghendaki keadaan yang cukup memprihatinkan ini akan menjadi makin buruk lagi tanpa dapat terbendung. Keadaannya seolah-olah sudah menjadi escalator yang menurun dengan tajam dan kian kencang. Tetapi kita tidak boleh terlalu cepat berputus asa. Yesaya 42:23 memberi secercah cahaya pengharapan!

"Siapakah di antara kamu yang mau memasang telinga kepada hal ini, yang mau memperhatikan dan mendengarkannya untuk masa yang kemudian?

Yang perlu dan harus kita tanyakan adalah "hal ini" tadi. Dalam konteksnya, dapat diketahui bahwa Allah tetap mengasihi umat-Nya walaupun mereka telah berdosa. Hal itu tidak boleh kita simpulkan bahwa Allah menutup mata terhadap kegagalan umat-Nya dalam mengemban tugas panggilan Nya. Sama sekali tidak!

Allah telah menegur dan memperingatkan mereka berkali-kali. Lewat para nabi dan hamba-Nya, lewat "alat-alat" lain, termasuk bangsa kafir - untuk menghajar umat Allah (ayat-ayat 21-22; 24-25). Namun sayang bahwa respons umat Allah justru mengecewakan sekali. Perhatikan ayat 20!

Dalam PB, seorang mantan Farisi, menegur gereja Galatia dengan peringatan yang nyaris sama:

"Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang mempesona kamu? ... Sia-siakah semua yang telah kamu alami sebanyak itu? Masakan sia-sia?" (Gal 3:1,4)

Bangsa Israel tidak dapat belajar dari sejarah. Mereka sudah mengalami begitu banyak, tetapi mereka tetap bodoh. Mereka buta dan tuli. Mereka tidak mau mengerti.

Tetapi Allah memiliki rencana penyelamatan-Nya yang agung! Yah, siapakah diantara kamu yang mau memasang telinga kepada hal ini, yang mau memperhatikan dan mendengarkannya untuk masa yang kemudian?

Kita patut bersyukur bahwa ada banyak anak muda yang terpanggil ke seminari. Dan kita bersyukur ada banyak yang berhasil menyelesaikan studi mereka dengan gemilang. Bahkan tidak sedikit yang mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi mereka ke jenjang S2 ataupun S3.

Kita harus meningkatkan Sumber Daya Manusia agar masalah-masalah penggembalaan yang kian ruwet dan kompleks dalam era globalisasi ini juga dapat lebih ditanggulangi secara lebih baik oleh orang-orang yang dipersiapkan dengan lebih baik pula.

Tetapi salah satu hal yang cukup memprihatinkan kita adalah: tidak terlalu banyak para alumni seminari yang merasa "terpanggil" dalam bidang penggembalaan! Quo Vadis Gereja?

Tugas gereja yang pertama dan terutama memang tidak berubah! Bersaksi dan melayani! Memang dengan sengaja dua sisi dari satu kebenaran tadi dikemukakan karena selama ini masih saja terjadi polarisasi di antara banyak gereja.

Di satu pihak ada yang masih tetap laku, baku dengan harga mati: PI titik! Kesaksian yang menjadi sempit. Di pihak lain selalu ada yang menekankan "kehadiran Kristiani" atau pelayanan (yang juga berkonotasi humanistis - antroposentris).

Mencoba memahami berbagai masalah global yang membuat banyak orang diperlakukan secara tidak adil, tertekan, kurang manusiawi - yang menghasilkan makin banyaknya orang yang gelisah, stress, utuh, dan tidak pernah berubah: melayani manusia seutuhnya!

Memang ada gunanya seandainya setiap keluarga akhirnya dapat memiliki dan mencukupi segala kebutuhan hidup mereka (makan, rekreasi, sosialisasi dan lain sebagainya) tetapi toh akhirnya binasa? (Mat 16:26) Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa setelah orang bertobat dan percaya sekalipun, dia tidak langsung pulang ke sorga. Sebaliknya Tuhan gereja malah meminta kepada Bapa agar orang-orang percaya tetap hidup (berkarya, menjadi berkat bagi orang lain) di dunia! (Yoh 17:15, padahal hidup di dunia bagi orang percaya bukanlah bersantai ria dan mudah; Yoh 15:18,19).

Kalau kita mau melihat dan mau mendengar, sebagaimana yang dikatakan Yesaya 42:23 tadi - justru sebagaimana Allah mau agar kita melihat dan mendengar - malah kita harus mengakui bahwa gereja seringkali keliru.

Di dunia (masyarakat) di mana gereja ditempatkan; banyak erang, isak tangis dan desah suara sesama kita yang tersingkir, tergusur, tersungkur. Bukan saja mereka miskin tapi sebagian telah menjadi korban dari proses pemiskinan yang terencana.

Kalau umat Israel akhirnya dihukum Allah karena mereka membuta dan menuli terhadap kesengsaraan dan ketidakadilan, bagaimana dengan gereja kita?

Cobalah kita bandingkan berita-berita yang memenuhi halaman-halaman koran, majalah, dan mengisi banyak acara layar kaca kita dengan kutipan di bawah ini. Apakah ada yang baru?

"Dengan apakah aku akan pergi menghadap TUHAN dan tunduk menyembah kepada Allah yang di tempat tinggi? Akan pergikah aku menghadap Dia dengan korban bakaran, dengan anak lembu berumur setahun? Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak? Akan kupersembahkanlah anak sulungku karena pelanggaranku dan buah kandunganku karena dosaku sendiri?"

Mengapa di sekitar kita terjadi begitu banyak tindak kekerasan? Mengapa begitu banyak orang yang berputus asa dan menjadi mata gelap? Mengapa ada banyak orang yang stress, sakit jiwa, bunuh diri? Mengapa terjadi banyak perceraian dan ketidaksetiaan? Mengapa ada warga jemaat yang murtad?

Janganlah kita terlalu gampang mengkambinghitamkan Setan yang memang sudah hitam legam itu! Tetapi mungkinkah gereja yang seharusnya menjadi "garam dan terang dunia" ternyata telah ikut-ikutan menjadi tawar? Mungkinkah gereja yang menjadi "hati nurani" masyarakat, yang diharapkan dapat menjadi mata dan telinga terhadap orang yang mendambakan dan mencari kebenaran dan keadilan telah menjadi buta dan tuli?

Oh, kalau saja ada orang yang mau melihat dan mau mendengar untuk masa yang kemudian (Yes 42:23).

Kalau saja gereja mau melaksanakan tugas penggembalaannya dengan (lebih) baik! Apa gunanya PI kalau orang sudah di PI dibiarkan tetap diperlakukan secara tidak adil? Apa perlunya orang-orang yang sudah mendengarkan Injil digerejakan, kalau tidak digembalakan? Apa juga gunanya kita memberi makanan dan pakaian, juga mengupayakan hidup yang lebih layak kalau manusia yang kian maju dan baik susila ekonominya menjadi "serigala" terhadap sesamanya?

 GEREJA TIDAK RELEVAN

Di tengah-tengah maraknya berbagai upaya dari berbagai lembaga maupun kelompok (dan akhir-akhir ini banyak yang bukan Kristiani) yang mampu mewakili kaum lemah dan kaum yang dimiskinkan serta yang diperlakukan secara tidak adil, di manakah peran gereja dan umat Kristiani?

Dapatkah dibenarkan apabila gereja menutup mata dan telinganya terhadap penderitaan anak-anak manusia? Bagaimana mungkin Allah yang mahaadil dan mahakasih hanya melahirkan masyarakat yang eksklusif - tidak mau tahu dan tidak mau dilibatkan dengan berbagai masalah sesamanya? Lalu siapakah sesama kita? Bukankah pernyataan yang sama ini justru dikemukakan oleh seorang ahli Taurat (yang tahu hukum Taurat tetapi tidak memberlakukannya dalam kehidupannya?). Simaklah Luk 10:25-37! iman Injili yang murni tidak mungkin tertidur dan menutup mata terhadap mereka yang telanjang, kelaparan, dibuang dan diperlakukan secara tidak adil!

Apabila gereja tidak mau dan tidak berani berbicara tentang keadilan, kebenaran, dan pemberlakuan hak-hak asasi manusia pada era globalisasi ini, maka gereja jangan-jangan hanya akan berbicara gombalisasi!

Saya khawatir apabila gereja tidak berani berbicara dan menghadirkan kerajaan Allah dengan berbagai macam tanda-tandanya di sini dan kini, kebenaran dan keadilan, maka Tuhan akan memakai orang lain, lembaga lain atau bila perlu bangsa kafir agar rencana dan kehendak-Nya tidak terkendala!

Marilah kita jangan lagi mencabik-cabik kesatuan dan keutuhan Injil Yesus Kristus menjadi yang "sosial" ataupun yang "injili". Karena Injil yang benar-benar Injili selalu perduli terhadap manusia secara utuh dan lengkap.

Bukan kebetulan apabila kita sungguh-sungguh mau tahu, mau melihat dan mendengar, bahwa dari lidah bibir Yesus sendiri kita temukan perintah yang jelas:

"Kuduskanlah mereka (murid-murid Yesus) dalam kebenaran; firmanMu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; ... Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (Yoh 17:17-18; 20:21).

Dan bagaimana Bapa mengutus Yesus ke dalam dunia yang penuh duka dan lara ini? Keempat Injil penuh dengan kesaksian yang kaya akan pengajaran yang indah dan agung, tetapi juga ditaburi dengan banyak pelayanan konkret terhadap orang-orang kelaparan, yang terbuang dan tersingkir, yang sakit bahkan yang mati! (perhatikan Kis 10:38)

 BAGAIMANA YESUS MENGUTUS PARA MURID (SEBAGAIMANA BAPA MENGUTUS DIA)?

"Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala ... jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, ... sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu" (Luk 10:3,8,9).

Sungguh usaha membelah rambut dan menjaring angin apabila pada era globalisasi di mana kita tidak lagi dapat mengisolir diri dari pengaruh luar yang begitu majemuk atau bersembunyi di balik tembok-tembok denominasi yang kerdil, lalu berteriak-teriak sampai suara kita menjadi parau untuk memisahkan dan mempertentangkan antara Injil yang Injili dari Injil yang sosial. Juga tidak ada banyak gunanya untuk memperdebatkan lagi tentang mana yang lebih penting dan harus didahulukan antara PI dan pelayanan.

Terhadap murid yang sudah mengikut Yesus ketika perahu mereka nyaris terbenam, Yesus tidak menghardik mereka yang kurang beriman dengan khotbah yang "Injili", sebaliknya Yesus bertindak untuk menolong mereka terlebih dahulu dari bahaya karam atau tenggelam, baru setelah mereka tertolong dan terselamatkan, Dia menyampaikan tegoran dan pengajaran (paling tidak itulah yang kita temukan dalam versi Mrk 4.38-41).

Apakah kita tersinggung apabila kita dipojokkan dengan ejekan orang yang mengatakan bahwa perut yang lapar atau tubuh yang kedinginan tidak akan dikenyangkan ataupun dihangatkan oleh khotbah betapapun Injili dan berapi-api sekalipun?

Mengapa Yakobus sampai menggoreskan penanya begitu keras ketika gereja Tuhan masih jauh lebih muda dan relatif lebih murni dari pada zaman kita?

"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. ...Tetapi barang siapa meneliti hukum yang sempurna (baca: berusaha agar mengerti ajaran yang ortodoks, karena ortodoks memang sangat penting!), yaitu hukum (Injil) yang memerdekakan orang, dan ia bertekun didalamnya (memberlakukannya dengan tekun!), jadi bukan hanya mendengar (baca: belajar) untuk melupakannya (menutup mata, menutup hati dan pikiran), tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya ... Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia..." (Yak 1:22,25,27).

"Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman (Injili?), padahal ia tidak mempunyai perbuatan (Injili)? ... Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian atau kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?" (Yak 2:14-26).

Yakobus tidak mungkin keliru bukan? Apa yang dituliskannya pasti juga firman Allah bukan? Seandainya ada yang mempunyai reserve terhadap Yakobus karena dia memang salah seorang tokoh dari kelompok "Yudaisme", bagaimana kalau kita meminta salah seorang pahlawan iman yang selalu menekankan agar jangan ada Injil lain (yang menyesatkan) yang sebenarnya bukan Injil itu bersaksi tentang kehidupan orang yang sudah lahir kembali oleh anugerah Allah?

"Orang yang (dahulunya) mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan" (Ef 4:28).

Kalau seorang mantan pencuri saja diminta agar dia bekerja keras dan hasilnya bukan semata-mata hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga dia membagikan berkat bagi orang lain yang berkekurangan, bagaimana mungkin kita masih dapat menutup mata dan telinga terhadap banyak orang yang terjepit dan terhimpit di sekitar kita - orang yang bermasalah dengan berbagai macam persoalan - tanpa berbuat apapun, masih berani berbicara, mengajar dan berkhotbah sebagai orang Kristen Injili? Payahnya lagi masih sempat dan berani menudingkan jari dan menghakimi orang lain yang mau menolong sesamanya!

Bukan kebetulan apabila Yohanes, yang dikenal dengan julukan Anak Guntur - yang begitu tersinggung dan marah sehingga meminta izin untuk menghukum orang-orang Samaria ketika mereka menolak Yesus (Luk 9:54), di hari tuanya juga menulis:

"Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran" (1Yoh 3:17,18).

"Jikalau seorang berkata; "Aku mengasihi Allah", dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya" (1Yoh 4:20,21).

 SALAH SATU DOSA TERBESAR GEREJA

Di tengah-tengah berbagai macam masalah yang melanda kehidupan manusia pada era globalisasi ini, tanpa dapat dipungkiri adalah salah satu dosa terbesar yang dilakukan gereja: kepongahan rohani! Dosa yang satu ini memiliki berbagai muka.

Muka pertama: kita tanpa menyadari menjadi merasa paling suci, paling benar, paling sempurna dalam kehidupan keagamaan yang pluralistis dalam masyarakat yang majemuk ini!

Jangan salah mengerti! Bukan tujuan tulisan ini untuk membatalkan apa yang telah dinyatakan dalam Alkitab bahwa keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus (Yoh 14:6; Kis 4:12; Rm 10:4-17, 1Tim 2:5). Justru di tengah-tengah era globalisasi di mana tembok-tembok pemisah antar negara, bahasa dan kebudayaan menjadi paling tidak lebih transparan, kita harus waspada agar kita jangan sampai mengorbankan atau menggadaikan kebenaran demi kerukunan atau persahabatan itu sendiri.

Namun demikian kita juga harus berhati-hati agar kita mengingat dan memberlakukan secara jujur hukum emas yang dinyatakan oleh Tuhan kita:

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang (lain) perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. (Mat 7:12)

Jelas kebenaran tidak boleh dikompromikan. Tetapi hal itu tidak sama dengan memaksa orang lain harus menerima dan mengikuti apa yang kita yakini apalagi dengan cara dan jiwa yang arogan!

Kita dapat belajar dari seorang yang kasar dan impulsif semacam Petrus. Pada hakikatnya, makin dia memahami hati Tuhannya. Dia meninggalkan warisan yang sangat indah dan penting untuk kita laksanakan dalam hidup bermasyarakat. Bobot nasihat Petrus ini menjadi makin penting untuk dipahami dalam konteks riil di mana dia menulis suratnya:

"Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidup yang saleh dalam Kristus menjadi malu karena fitnahan mereka itu" (1Ptr 3:13-16).

Jelas, globalisasi menuntut kita agar kita tidak berpandangan sempit dan picik, tidak dapat mendengar dan tidak mau menghargai keyakinan atau kepercayaan orang lain. Kita harus dapat membedakan antara menghargai dan menghormati dari menerima, mengaminkan dan mengimani! Agama dan kepercayaan boleh saja berbeda, tetapi janganlah kita membenci atau memusuhi mereka yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Kita malah harus berupaya agar kita tetap mengasihi dia, menolong dia secara praktis. Bahkan apabila kita dibenci, difitnah, bahkan dimusuhi sekalipun.

Petrus akhirnya benar-benar mengerti apa yang dikehendaki Tuhannya. Pernah dia mengayunkan pedang dan sempat memotong telinga orang yang menangkap Yesus, tetapi pada hari tuanya, bukan karena dia telah berubah atau menjadi lemah; juga bukan karena dia mau berkompromi, tetapi sebaliknya dia malah menjadi begitu mantap dan menghayati ajaran Tuhan dan Gurunya sehingga dia sanggup mengungkapkan kebenaran yang begitu indah dan mulianya. Petrus telah belajar untuk memberlakukan perintah Tuhan agar dia mengasihi bahkan musuhnya dan mendoakan orang yang menganiayanya (bdk. Mat 5:43-44)

Muka yang lain dari salah satu dosa gereja yang terbesar yakni menjadi begitu sombong dan merasa paling benar dan paling sempurna dengan keyakinan dan denominasinya.

Kita tidak jarang mencap orang (Kristen) lain yang tidak memiliki keyakinan dan ajaran yang persis sama dengan kita sebagai orang sesat! Barangkali kita perlu belajar dari seorang tokoh Bapa Gereja, Agustinus. Dia meninggalkan ajaran yang bijaksana:

"Dalam hal yang mendasar (prinsip) jangan kompromi; dalam hal yang tidak mendasar biarlah kita tidak menjadi dogmatis (kaku); dalam segala hal, kasih!"

Kadang-kadang, tanpa terlalu disadari sepenuhnva, kita malah membuat kaum awam yang sudah bingung dengan berbagai macam masalah mereka menjadi lebih bingung karena sebagai orang yang dianggap dapat memberi terang kepada yang gelap, justru kita - meminjam bahasa Ayub: "menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan" (Ayb 38:1).

Seringkali kita memperdebatkan masalah (cara) baptisan, masalah berbagai macam karunia rohani, masalah kedatangan Yesus yang kedua kali(anti milenialis, remilenialis, post milenialis), atau masalah tetek bengek lainnya dengan begitu bersemangat dan berapi-api, sehingga kadangkala kita tidak mampu mengendalikan diri kita, lalu saling menuding dan menyerang di antara sesama gereja.

Gereja yang memang sudah terpisah-pisah karena kedaerahan kesukuan adat istiadat dan karena sejarah misa makin kita cabik-cabik lagi menjadi sempalan-sempalan kecil-kecil denominasi (yang makna aslinya berarti "pecahan") - jikalau perlu kita buat denominasi baru lagi yang diimbuhi dengan label "Injili".

Sekali lagi kita perlu mengundang seorang hamba Tuhan senior yang karismatik, yang telah berhasil mendirikan dan membangun banyak gereja dengan harga yang sangat mahal untuk bersaksi.

Kita tahu bahwa Paulus bukan sembarang orang. Dia mantan Farisi. Salah seorang murid Gamaliel. Dia menerima penyataan langsung dari Tuhan sendiri (1Kor 2:13-16; Gal 1:17); 2Kor 12:1-4). Dia menulis banyak surat, dia memiliki iman yang begitu kuat dan mantap sehingga dia berani mengungkapkan kesaksian yang sangat menantang semacam Galatia 2:19,20; Filipi 1:6,21 dan sebagainya. Namun toh orang yang sama pandai "ilmu padi", makin berisi makin tunduk!

Siapakah yang akan menduga bahwa dia sampai menulis sebagai berikut:

"Ketika kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang (walaupun sudah dewasa) kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar; tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku (yang sudah dewasa) hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal" (1Kor 13:11-12).

Bolehkah kita simpulkan bahwa seorang rasul Paulus hanya berani mengklaim bahwa pengetahuan serta pengenalannya (sekarang) hanya parsial, belum lengkap dan belum sempurna sepenuhnya? Mungkinkah sekarang ini banyak di antara kita yang lebih hebat dari dia?

Kalau kesimpulan di atas barangkali terlalu sembrono, marilah kita bandingkan apa yang dia tulis kepada jemaat Efesus:

"Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh RohNya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah" (Ef 4:16-19).

Yang tersirat dari doa Paulus ialah agar jemaat Efesus yang bukan hanya dilayani oleh Paulus tetapi juga oleh hamba Tuhan lainnya (Apolos), jangan terjebak ke dalam polarisasi teologia Paulus atau teologia Apolos saja. Belajar pulalah dengan rendah hati dari dan dengan semua orang kudus!

Rupanya Paulus begitu konsisten. Dia juga menulis dan sekaligus bersaksi kepada jemaat di Filipi dengan jiwa yang sama:

"Yang kukehendaki ialah (kian) mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya,..." (Flp 3:10).

Jelas bahwa Paulus tidak pernah merasa sudah mengenal Yesus begitu rupa sehingga dia tidak perlu belajar lagi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam. Herankah kita bahwa dari buah penanya (tentunya berkat bimbingan Roh Kudus) gereja kita mewarisi banyak bukunya?

Tulisan ini memang bukan dimaksud untuk membahas permasalahan oikumene. Tetapi di tengah-tengah semangat toleransi dan keterbukaan yang makin melonggar, bagaimana mungkin kita menjadi makin sempit dan kaku? Mengapa kita cenderung menjadi kian sektarian dan menjurus kepada "pemujaan" primordial?

Sekali lagi, rupanya bukan hanya bangsa Israel yang tidak dapat belajar dari sejarah! Gereja-gereja juga tidak dapat belajar dari sejarah gereja. Kita tahu bahwa tidak semua Bapa Gereja memiliki teologia yang selalu sama. Sekolah Aleksandria berbeda dari Bapa Gereja Latin. Sejarah Gereja mencatat bukan saja dengan tinta hitam tetapi juga merah bersimbah darah karena masing-masing merasa paling benar, saling mengucilkan dan saling membantai lawannya. Di antara para reformator yang besar-besar sekalipun sering terjadi selisih pendapat dan keyakinan, khususnya dalam soal-soal yang periferial, bagaimana mungkin kita berani begitu dogmatis (buldog-matis) tentang hal-hal tertentu sehingga nyaris menjadikannya doktrin denominasi!

Kita seringkali mengejek gerakan ekumenis yang tidak pernah berhasil untuk bersatu. Paling-paling hanya semu. Bukan kesatuan tetapi keserupaan, itupun sejauh (atau secetek naskah-naskah tertulis). Bagaimana dengan so-called evangelical churches?

Kalau dunia yang memasuki era globalisasi ini harus mendengar kesaksian kita, paling tidak kita semakin serius dalam menjiwai dan menghayati harapan dan doa Tuhan Gereja.

"Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku..." (Yoh 17:20,21).

 TUGAS BERSAMA

Mustahil kita rinci satu persatu berbagai macam tantangan yang sedang dan akan melanda kita. Tidak ada satu gerejapun yang sempurna. Gereja Tuhan, sebagai Tubuh Kristus, hanya satu; tetapi anggotaNya banyak. Bukan hanya jumlah tetapi bentuk, ragam dan tempat serta fungsinya!

Kesempurnaan gereja hanya ada di dalam Kristus, dalam kepenuhan kemuliaan-Nya. Tanpa kita belajar untuk saling lebih membuka diri, saling mendengar dengan baik, saling mencoba mengerti mengapa gereja yang satu sampai kepada keyakinannya dan gereja lainnya menjadi begitu berbeda; tanpa kita masing-masing mau membuka diri untuk saling mengakui kekurangan dan kelebihan diri kita atau gereja yang lain, dan bersedia untuk bukan hanya belajar tetapi juga saling mengakui, saling memberi dan menerima, mustahil ada gereja yang sanggup menjawab semua tantangan yang ada di depan mata kita.

Pernahkan kita mempunyai visi (mimpi) untuk membuat ini atau itu, melakukan ini atau itu, menjawab masalah ini atau itu, mengubah ini atau itu dan lain sebagainya, tetapi visi (mimpi) yang bagaimanapun indahnya, bahkan dibarengi dengan tekad dan komitmen serta pengorbanan yang sangat tinggi sekalipun, seringkali tidak dapat terlaksana secara penuh dan baik, apalagi sangat memuaskan. Entahkah kita kurang tenaga manusianya (yang cocok), entahkah dananya menjadi kendala, karena yang ada dan serba terbatas tadi masih harus dibagi-bagi, entahkah waktu, entahkah fasilitas lainnya yang kurang menunjang dan sebagainya.

Dapatkah gereja pada era globalisasi ini mampu menjawab tantangan pengangguran? Sumber Daya Manusia yang tepat di segala bidang dan lapangan pekerjaan? Pemakaian teknologi tinggi dengan segala dampaknya, termasuk yang negatif dan merusak lingkungan? Bagaimana pula dengan masalah humaniora yang kian tercecer? Bagaimana pula dengan sumber alam yang bukan saja kian terkuras tetapi yang juga menghasilkan masalah polusi? Bagaimana dengan berbagai macam penyakit yang mengancam keberadaan manusia, semacam AIDS? Dan kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan? Bagaimana dengan masalah kemiskinan, bukan hanya yang bersifat materi dan ekonomis tetapi yang bersifat seni dan budaya, nilai-nilai moral etis? Kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kedudukan serta kekuasaan? Dapatkah kita membendung arus materialisme dan sekularisme serta kebudayaan yang hedonistis?

Memang, rumah kita yang sebenarnya bukan di dunia ini. Tetapi kita semua masih akan hidup di dunia yang kian tua, gersang, tandus, panas, dan miskin. Untuk berapa lama? Kita tidak tahu. Tetapi kita pasti setuju dengan apa yang Paulus tinggalkan bagi kita:

"Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita adalah milik Tuhan" (Rm 14:7,8).

"...Jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Flp 1:22)

Kiranya kita mau berusaha untuk membuka telinga dan membuka mata agar kita dapat bersiap-siap untuk memasuki dan merenda hari esok.

 KEPUSTAKAAN

Stott, John, Issues Facing Christians Today. Marshall Morgan 1984.

Stott, John, Believe Two Worlds. Wm. B. Eerdmans, 1982.

Guinness, Os, The Dust of Death. IVP, 1973.

Geisler, Norman, Christian Apologetics. Baker Book House, 1976.

Schaeffer, F., Dead in the City, IVP, 1970.

Schaeffer, Before A Watching World, IVP, 1970.

Davidson, James & Wolrd Willian Rees-Mogg, Blood In The Streets, Summit Books, 1990.

The Great Reckoning, Idem Ditto, Summit Books, 1991.



TIP #27: Arahkan mouse pada tautan ayat untuk menampilkan teks ayat dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA