Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 >  GEREJA DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI > 
IV. TANTANGAN DAN HARAPAN 

Pada uraian yang baru saja dikemukakan (butir III) tampaklah keadaan Gereja-gereja di Indonesia. Gereja-gereja di Indonesia yang semacam itulah yang berada dalam konteks era globalisasi (butir II). Kemudian bagaimanakah tantangan dan harapan Gereja-gereja itu dalam menghayati hidupnya dalam konteks seperti itu? Sehubungan dengan jawaban atas pertanyaan itu pertama-tama harus ditegaskan bahwa Gereja-gereja di Indonesia - seperti halnya bangsa Indonesia harus menghadapi dan mensiasati proses globalisasi itu, dalam arti harus terlibat di dalamnya dan memanfaatkan hasil-hasil positif yang dicapainya serta menghindari hasil-hasil negatif yang dibawanya. Bila tidak demikian, maka mereka - seperti telah dikatakan di atas - bukan saja akan tertinggal melainkan juga akan terhempas sehingga globalisasi tidak hanya tidak bermanfaat tetapi juga akan menghancurkan dirinya.

Sehubungan dengan pertanyaan yang dilontarkan di atas, maka di sini dilontarkan pertanyaan lain untuk mengawali pencarian jawab atas pertanyaan yang telah dilontarkan di atas. Bagaimanakah penghayatan hidup Gereja-gereja di Indonesia di era globalisasi (dan yang sering disebut era informasi) yang ditulangpunggungi oleh komunikasi dan telekomunikasi itu? Sebelum menjawabnya agaknya perlu dikemukakan kenyataan ini: karena globalisasi, maka dunia masa kini telah menjadi semacam "global village", yang di dalamnya batas antarnegara menjadi semakin pudar.

Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir, maka tampaklah bahwa globalisasi juga dapat menembus "dinding-dinding Gereja", yang berupa dinding-dinding denominasi dan bahkan dinding-dinding umat. Maksudnya adalah bahwa globalisasi memungkinkan penyebaran modernisasi yang menembusi kehidupan Gereja tanpa dapat dicegah atau dibendung. Misalnya budaya modern dengan mudah telah merasuki rumah-rumah para anggota Gereja melalui teknologi satelit. Benar bahwa budaya modern juga membawa dampak positif, namun tidak jarang pula membawa dampak negatifnya. Dalam menghadapi budaya modern ini Gereja seyogianya tidak tinggal diam, tetapi harus menghadapinya secara aktif. Menghadapi secara aktif mempunyai makna bahwa Gereja secara aktif memanfaatkan hal-hal yang positif yang dibawa oleh globalisasi, tetapi sebaliknya secara aktif pula menghindari hal-hal yang negatifnya.

Berbicara tentang dampak negatifnya, di sini perlu digarisbawahi bahwa munculnya budaya modern tidak jarang mengakibatkan timbulnya reaksi negatif terhadapnya misalnya dan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang masih ingin mempertahankan budaya lamanya. Dapat terjadi bahwa orang-orang atau kelompok-kelompok tersebut menolak budaya modern dan mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya sukunya. Upaya sedemikian tidak selalu jelek. Namun dalam keadaan tertentu, misalnya dalam keadaan yang ekstrim, dapat saja terjadi upaya sedemikian akan membawa akibat yang negatif. Contoh konkretnya adalah bahwa di tengah-tengah upaya untuk menolak budaya modern dan mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya suku tidak jarang orang akan dipengaruhi kembali oleh agama suku yang menjadikannya satu budaya suku. Kalau hal itu terjadi, hasilnya adalah jelas bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari suatu suku tertentu akan dipengaruhi kembali oleh agama sukunya. Dalam kadar tertentu dapat terjadi suatu bentuk kekristenan yang "kulitnya adalah Kristen, sedang isinya adalah kafir".

Proses terjadinya "global village" di atas sesungguhnya mempunyai peranan penting bagi kehidupan Gereja bila Gereja mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. kehidupan dalam "global village" -- yang di dalamnya orang tidak menekankan misalnya latar belakang batas-batas kesukuan dan denominasi yang sering menyemangati orang untuk menjadi fanatik itu - agaknya perlu diberlakukan dalam kehidupan Gereja-gereja. Kehidupan semacam itulah yang antara lain mendorong Gereja-gereja belajar untuk tidak menekankan misalnya perbedaan kesukuan dan denominasinya. Hal ini selaras dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan ekumenis di antara Gereja-gereja sedunia, dengan salah satu cirinya yaitu mulai menanggalkan pemikiran absolutisme (dalam hal ini pemikiran yang memutlakkan dirinya sebagai Gereja yang paling benar) dan pemikiran thriompalismenya (dalam hal ini pemikiran yang menyatakan bahwa dirinya satu-satunya yang merupakan "sorga di bumi"). Ciri semacam itu membawa konsekuensi bahwa Gereja-gereja -- dalam semangat dan usaha bersama - mulai mengusahakan dan membangun teologi bersama. Kalau hal ini terjadi - yang memang telah terjadi pada banyak Gereja - maka tidak mustahil bahwa hasilnya akan mewarnai banyak hal dalam kehidupan Gereja, misalnya perbedaan-perbedaan latar belakang kesukuan, corak Kekristenan, (rumusan) pengakuan iman, (pemahaman) pekabaran Injil, dan pengorganisasian diri di antara Gereja-gereja tidak harus diperuncing dan dijadikan pemicu pertengkaran di antara mereka. Itulah salah satu contoh konkret dalam menjawab globalisasi secara aktif. Namun ada pula contoh yang justru menyatakan hal yang sebaliknya. Hal itu tampak dalam kenyataan bahwa masih terdapat banyak Gereja yang menjadikan dirinya sama dengan dunia dan kehilangan jati dirinya atau bahkan melarikan dirinya dari upaya menghadapi ketegangan dengan budaya modern dan teknologi canggih yang ada di sekitarnya.

Proses terjadinya "global village" seperti itu juga menantang Gereja-gereja di Indonesia - demikian juga Gereja-gereja di dunia - untuk lebih memberi tekanan pada kesatuan dan kerukunan umat manusia; termasuk di dalamnya membeda-bedakan umat beragama yang satu dari yang lainnya. Bila hal semacam itu terjadi, maka tidak ayal akan terjadi juga saling terbuka, saling memahami, saling mengenal, dan saling menghargai satu sama lain. Kenyataan sedemikian sangat diperlukan untuk upaya penegakan perdamaian di atas bumi ini.

Di samping menjawab secara aktif tantangan di atas, Gereja-gereja di Indonesia juga harus menjawab secara sama tantangan-tantangan lain yang diangkat ke permukaan oleh proses globalisasi. Tantangan-tantangan dimaksud berupa masalah-masalah sebagai berikut.

Masalah aktual di era globalisasi - masalah yang menyangkut pekabaran Injil; khususnya yang menyangkut keselamatan utuh manusia, dan masalah yang menyangkut politik pula; khususnya yang menyangkut kebebasan manusia - adalah masalah penegakan hak-hak asasi manusia. Disebut masalah aktual, oleh karena dewasa ini di banyak tempat di dunia terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Karena itu masalah tersebut menjadi masalah dunia. Sejalan dengan berita Injil, yaitu bahwa Allah melalui Yesus Kristus telah secara asasi menegakkan keselamatan utuh bagi manusia dan makhlukNya yang lain, Gereja-gereja tidak bisa tidak wajib menjawab masalah tersebut secara aktif. Itu berarti bahwa Gereja-gereja wajib mengaktualisasikan jawabannya itu dalam pemikiran dan tindakan yang mengarah kepada penegakan hak-hak asasi manusia.

Masalah aktual lainnya di era yang sama yang harus dijawab secara aktif oleh Gereja-gereja adalah masalah penegakan demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara adil dan bijak - Masalah yang menyangkut tanggung jawab Kristen di bidang politik ini, ternyata tidak hanya menjadi masalah di beberapa negara totaliter tertentu saja - misalnya negara-negara Blok Timur beberapa tahun yang lalu dan Myanmar sekarang ini - tetapi telah menjadi masalah dunia. Dengan demikian, kepedulian Gereja-gereja terhadap penegakan demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara adil dan bijak harus ditingkatkan dan diaktualisasikan, terutama melalui pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan nabiahnya terhadap para pemegang kekuasaan.

Masalah yang berhubungan dengan penegakan kesejahteraan manusia, terutama yang berhubungan dengan pengatasan jurang jarak antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Masalah yang tidak terlepas dari upaya suatu bangsa untuk melakukan pembangunan diri ini, menantang Gereja-gereja untuk memikirkan secara mendalam tentang penatalayanan kristianinya, merencanakan secara matang penatalayanan tersebut, dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Hal itu pada hakikatnya merupakan upaya Gereja-gereja untuk menjawab masalah tersebut, terutama untuk menjawab kemiskinan yang hebat di negara-negara dunia ketiga di samping hutang yang bertumpuk negara-negara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Dalam kaitannya dengan hal ini -- khususnya dengan kedudukan banyak pengusaha besar Kristen - Gereja-gereja juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pembinaan yang tepat dan tanggung jawab terhadap mereka agar upaya mereka baik yang bersifat lokal, regional dan nasional maupun internasional dapat juga ikut bertanggung jawab untuk menjawab hal-hal diatas.

Masalah yang menyangkut upaya pelestarian lingkungan kini telah menjadi perhatian dan pergumulan serius bagi umat manusia. Adapun masalah yang menyangkut upaya pelestarian lingkungan dapat mengambil bentuk bermacam-macam, di antaranya adalah masalah makin menipisnya sumber-sumber energi dari bumi, di samping masalah terganggunya lingkungan hidup sebagai akibat merajalelanya pelbagai polusi. Masalah seperti itu pada hakikatnya kini telah menjadi masalah umat manusia; masalah dunia. Dalam kaitannya dengan itu, Gereja-gereja di Indonesia -- bersama lembaga-lembaga lain yang non gerejawi - ditantang untuk memberikan tindakannya.

Masalah berikutnya adalah masalah pengatasan dampak negatif dari teknologi tinggi. Dampak negatif tersebut antara lain mengambil wujud kekosongan batin manusia dan humanisasi, pengangguran dan jurang jarak antara yang kaya dan yang miskin. Di samping itu, terdapat pula masalah-masalah lain yang muncul dari adanya "global economy" dan masalah-masalah yang dapat timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata "global economy", sebagai akibat dari adanya "global village", akan memberikan peluang bagi manusia untuk menerima tawaran pelbagai pilihan, di samping menumbuh kembangkan materialisme, sekularisme, dan rasionalisme. Berkenaan dengan hal ini, ada sinyalemen bahwa di lingkungan umat Kristen atau di kalangan anggota Gereja terdapat kecenderungan, pada materialisme, sekularisme, dan egosentrisme. Masalah-masalah yang dapat timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata dapat dijelaskan sebagai berikut. Adalah kenyataan bahwa pada masa lampau, sebelum runtuhnya Uni Sovyet, terjadi perlombaan senjata nuklir antara negara-negara blok Barat dan negara-negara blok Timur. Umat manusia seluruh dunia jelas merasa ngeri terhadap akibat digunakannya senjata nuklir tersebut, karena dapat mengantar umat manusia pada kepunahan dirinya dan peradabannya yang telah dibangun berabad-abad itu. Benar bahwa kini perlombaan senjata telah berakhir, namun ancaman-ancaman penggunaan senjata nuklir sesungguhnya belum lenyap. Dalam konteks semacam ini jelas Gereja-gereja di Indonesia - bersama-sama dengan Gereja-gereja sedunia - terpanggil untuk memberikan jawaban yang bersifat redemtif terhadap masalah yang timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata tersebut.

Jawaban terhadap tantangan-tantangan di atas bagi Gereja-gereja di Indonesia pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari tanggung jawabnya dalam mengaktualisasikan misinya terhadap umat manusia dan sekaligus terhadap dunia. Untuk itulah maka Gereja-gereja di Indonesia di era globalisasi tidak boleh menjadi kelompok-kelompok manusia yang eksklusif dan yang mengisolasikan dirinya dari tantangan-tantangan yang muncul dari globalisasi. Hal itu dapat dimengerti, sebab Gereja-gereja - bahkan seluruh umat manusia - dituntut untuk tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan pihak-pihak lain (baca pula: kelompok-kelompok lain, bangsa-bangsa lain, dan bahkan generasi umat manusia masa datang). Jikalau "amanat" seperti itu tidak dipenuhi, maka Gereja-gereja pada hakikatnya mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke dalam dunia; mengingkari misinya sendiri.

Jawaban Gereja-gereja di Indonesia atas tantangan-tantangan tersebut sudah barang tentu diletakkan pada harapan Gereja-gereja sendiri, yaitu harapan pada Allah yang senantiasa melakukan karya keselamatan-Nya pada masa lampau, masa kini, dan masa depan itu. Karena itu, maka Gereja-gereja pada hakikatnya mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke dalam dunia, mengingkari misinya sendiri.

Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir, perlu dikemukakan bahwa ada pula harapan Gereja-gereja yang berkaitan dengan (globalisasi dan) dampak positif globalisasi itu sendiri. Untuk jelasnya dapatlah dikemukakan contoh konkretnya. Seperti telah dimaklumi bahwa globalisasi membawa manusia kepada sikap terbuka terhadap sesamanya dari latar belakang apapun. Dalam kaitannya dengan hal ini Gereja-gereja mempunyai kedudukan yang kokoh. Mengapa demikian halnya? Karena dalam hal ini Gereja-gereja dapat di potret sebagai suatu kehidupan agamawi (religius) yang berpusat pada iman dan penghayatan penyelamatan yang dikerjakan oleh Allah atas manusia. Kemudian, pada gilirannya, penyelamatan tersebut menempatkan seluruh umat manusia di bawah satu kategori yang sama dengan tiga kualifikasi.

Ketiga kualifikasi yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut. Pertama, bahwa segenap manusia mempunyai kemuliaan (martabat) yang sama, yang terletak di dalam hal bahwa (semua) manusia diciptakan menurut gambar Allah. Kesegambaran dengan Allah itu sendiri pada hakikatnya menyatakan bahwa secara eksistensial manusia terhubung dengan Allah, yang karenanya manusia menjadi satu-satunya makhluk yang adalah partner (mitra) eksistensial Allah. Kedua, bahwa segenap manusia berada dalam kehinaan yang sama, dalam arti bahwa segenap manusia berada di bawah kondisi dosa (baca pula: berada dalam kondisi tidak selamat) dan bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu melepaskan diri dari kondisi dosa (baca pula: menyelamatkan dirinya sendiri). Ketiga, segenap manusia karena kemuliannya menjadi obyek kasih Allah. Dengan wataknya yang demikian ini - yang secara esensial membedakan dirinya dari kehidupan agamawi manapun juga - Gereja-gereja mempunyai kiblat universal sebagai yang memang harus terjadi.

Dalam kaitannya dengan hal yang disebut terakhir, Gereja-gereja sesungguhnya dapat memainkan peranan penting dalam mendorong perkembangan mental manusia, khususnya mental manusia Indonesia, dalam rangka memanfaatkan lajunya globalisasi, terutama dalam rangka upaya menuju kepada masyarakat manusia yang global. Sudah barang tentu hal yang dikemukakan terakhir wajib dilihat dalam perspektif umat Allah yang mengalami proses pembaharuan total itu (Wahyu 21:1-8). Dalam hal ini, sekali lagi, tampak bahwa harapan terjadinya masyarakat manusia yang global seperti itu diletakkan pada kuasa Allah sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa Gereja-gereja tidak boleh mengerahkan sumber daya dan sumber-sumber lainnya. Bahkan Gereja-gereja harus mengelola semuanya itu bagi upayanya menjawab tantangan-tantangan yang disebutkan di atas.



TIP #05: Coba klik dua kali sembarang kata untuk melakukan pencarian instan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA