Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 > 
GEREJA DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI 
Penulis: Chris Hartono338
 I. PENDAHULUAN

Karangan ini akan mengetengahkan tentang penghayatan hidup Gereja (lebih tepat: Gereja-gereja) di Indonesia dalam era globalisasi, terutama pergumulan-pergumulan, tantangan-tantangan, dan harapan-harapan mereka. Untuk menuju ke arah sana terlebih dahulu akan dibicarakan tentang era globalisasi - sebagai konteks yang di dalamnya gereja-gereja di Indonesia menghayati hidupnya - terutama hal-hal yang berkaitan erat dengan penghayatan hidup mereka. Pembicaraan tentang era globalisasi - terutama tentang globalisasi - sebagai konteks yang di dalamnya gereja-gereja di Indonesia hidup adalah sangat penting, mengingat harus jelas apa yang dimaksud dengan globalisasi itu.

Sesuai dengan kedudukannya dalam sebuah jurnal - yang bukan merupakan karangan tunggal - maka karangan ini bersifat relatif singkat. Karena itu tidak setiap hal yang berkaitan dengan pokok era globalisasi atau pokok penghayatan hidup gereja-gereja di Indonesia dalam era tersebut akan dibicarakan dalam karangan ini; hanya hal-hal yang dianggap perlu dan penting saja yang dibicarakan di dalamnya.

 II. ERA GLOBALISASI

Pengertian

Istilah era globalisasi terdiri dari dua kata, yaitu era dan globalisasi. Era berarti tarikh masa, zaman; sedangkan globalisasi berarti proses mengglobal, proses membulat, proses mendunia. Dengan demikian era globalisasi yang kadang juga disebut era mondialisasi itu berarti zaman yang di dalamnya terjadi proses mendunia. Proses mendunia ini yang terjadi sejak tahun 1980-an itu terjadi di pelbagai bidang, misalnya di bidang politik, bidang sosial, bidang ekonomi, dan bidang agama; terutama sekali di bidang teknologi.

Secara konkret agaknya perlu diberikan contoh tentang proses mendunia tersebut. Perkembangan budaya manusia dewasa ini telah mencapai taraf yang luar biasa, yang di dalamnya manusia bergerak menuju ke arah terwujudnya satu masyarakat manusia yang mencakup seluruh dunia; satu masyarakat global. Dengan teknologi transportasi dan komunikasi serba canggih yang berhasil diciptakannya, manusia telah berhasil mengatasi jarak yang dahulu memisah-misahkan manusia yang satu dari yang lain (dan juga yang memisah-misahkan suku bangsa yang satu dari yang lain bangsa yang satu dari yang lain; budaya yang satu dari yang lain, agama yang satu dari yang lain). Dengan berkembangnya teknologi transportasi dan komunikasi seperti itu jarak antarkota, antarpulau, antarnegara, dan antarbenua seolah tidak ada lagi. Dewasa ini manusia dengan mudah dapat berkomunikasi dengan sesamanya di seluruh dunia dengan memanfaatkan satelit-satelit yang berada di atas Indian Ocean Region, Pacific Ocean Region, dan Atlantic Ocean Region. Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa dengan berkembangnya teknologi transportasi dan komunikasi, dunia seolah semakin sempit; ruang dan waktu menjadi semakin relatif, dan dalam banyak hal batas-batas negara telah menjadi kabur dari bahkan menjadi tidak relevan lagi.

Terjadinya

Secara singkat terjadinya era globalisasi dapat dituturkan sebagai berikut. Era globalisasi diawali oleh era telekomunikasi. Sedangkan era telekomunikasi diawali oleh pengiriman telegram untuk pertama kalinya oleh Samuel Morse (1884) dan yang disusul oleh pengiriman pesan telepon oleh Graham Bell (1876). Kemudian yang terakhir diikuti oleh pembaharuan teknologi lainnya, seperti penemuan gelombang elektromagnet oleh Heinrich Hertz (1880), pembuatan televisi mekanik oleh Paul Nipkow (1884), di samping penyampaian pesan radio untuk pertama kalinya oleh Guglielmo Marconi (1895), penemuan televisi rumah pertama kalinya oleh Philo Farnsforth (1930). Lebih jauh, itu semuanya dilengkapi dengan penemuan televisi siaran (1933) dan penayangan melalui televisi komersial yang pertama (1941).

Era telekomunikasi di atas kemudian disusul oleh era komunikasi interaktif, yaitu era modern yang mengantarkan manusia pada era globalisasi. Era komunikasi interaktif tersebut dimulai dengan penemuan Numerical Integrated Automatic Computer pada University of Pennsylvania (1946), yang kemudian disusul dengan pembuatan transistor oleh William Schockley dkk (1947), pembuatan video tape pertama di Ampex (1956), peluncuran Sputnik oleh Uni Sovyet (1957), peluncuran Apollo XI oleh Amerika Serikat (1969), dan ..., di samping pemanduan satelit dan televisi (1975). Era komunikasi interaktif tersebut akhirnya disusul oleh era penyiaran langsung melalui satelit (direct broadcasting satellite, DBS). Era ini agaknya akan merambat ke seluruh dunia, mengingat janin teknologi DBS sudah banyak dikuasai masyarakat yang tanda-tandanya tampak pada pemasangan antena parabola. Sehubungan dengan hal ini orang dapat mengingat akan penayangan-penayangan peristiwa Perang Teluk oleh Cable News Network (CNN) pada tahun 1991 yang lalu.

Wujud

Ada pun wujud proses globalisasi sesungguhnya dapat diamati melalui gejala-gejala sebagai berikut. Pertama, terjadinya peredaran ketegangan dunia pada dirinya adalah hasil dari globalisasi. Hal ini hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan kenyataan ini. Dahsyatnya arus informasi akibat kemajuan teknologi informasi ternyata tidak dapat dibendung oleh dinding-dinding penghalang yang dibangun untuk mencegah masuknya pengaruh dari luar. Contoh konkretnya: (a) Negara-negara komunis tidak dapat menutup mata atas adanya kenikmatan hidup hasil kemajuan ekonomi yang dicapai oleh negara-negara Barat. (b) Ketika sistem komunis tumbang di suatu negara komunis, maka negara komunis yang lain tidak mampu mencegah masuknya informasi tentang tumbangnya sistem komunis tersebut. (c) Intensifnya kampanye tentang penegakan hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara-negara barat terhadap negara-negara komunis - juga dengan memanfaatkan dahsyatnya arus informasi - ternyata telah menumbuhkan kerinduan akan kebebasan, demokrasi, dan lain-lainnya, dan sekaligus telah berhasil memacu perubahan politik di negara-negara komunis. Ada pun yang disebut terakhir tampak jelas dalam peristiwa tumbangnya satu-persatu regim-regim otoriter di negara komunis.

Kedua, terjadinya nilai-nilai budaya yang semakin global. Dahsyatnya arus (komunikasi dan) informasi telah membuat nilai-nilai budaya menjadi semakin global. Hal itu secara sederhana dapat dilihat dalam kenyataan bahwa musik rock, celana jean, minuman coca cola, dan kentucky fried chicken telah menjadi budaya global. Lebih jauh perlu dicatat hal yang lebih mendalam berkenaan dengan terjadinya nilai-nilai budaya yang semakin global tersebut yaitu bahwa terjadinya interaksi dan percampuran budaya yang sangat intensif dapat menjurus kepada terciptanya nilai budaya universal. Dalam kaitannya dengan hal ini, diakui atau tidak, bahwa kini tengah berlangsung di mana-mana penciptaan" sistem-sistem nilai global.

Ketiga, terjadinya keadaan bahwa manusia semakin dekat satu sama lain. Contoh paling sederhana dan paling konkret adalah bahwa melalui satu medium saja - dalam hal ini misalnya televisi yang menerima tayangan melalui satelit - ratusan juta manusia di dunia pada saat yang sama dapat menyaksikan pertandingan yang bergengsi, seperti pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju. Di sini tampak jelas bahwa waktu menjadi semakin relatif (seperti yang telah dikemukakan di atas).

Dampak

Dampak globalisasi ternyata tidak dapat dihindari manusia. Contohnya adalah bahwa dengan teknologi transportasinya manusia menjangkau setiap bagian bumi, bahkan satelit bumi dapat didatangi dan planet lain (dalam tata surya kita) dapat didekati. Demikian pula dengan teknologi komunikasinya manusia mampu melengkapi dirinya dengan informasi dari dan terulang setiap bagian dunia. Dengan semuanya itu tampak bahwa dunia seolah tidak terbagi-bagi lagi, di samping bahwa bangsa-bangsa di bumi seolah tidak berjarak lagi. Itu berarti bahwa segala sesuatu menjadi global. Sedangkan akibatnya adalah bahwa ungkapan-ungkapan seperti "sebatas lokal", "sebatas regional", dan "dinding tidak bertelinga" tidak berlaku lagi. Dengan demikian, secara teoritis, apa yang ada di Jakarta ada pula di Washington; apa yang dibisikkan di Jakarta terdengar pula di Washington dan sebaliknya. Contoh konkret adalah bahwa jean ada baik di Washington maupun Jakarta, dan peristiwa Dilli terdengar baik di Jakarta maupun Washington. Contoh tersebut secara mendasar sebenarnya hendak berkata-kata bahwa teknologi transportasi dan teknologi komunikasi yang semakin canggih mampu menghubungkan umat manusia di seluruh bagian dunia, sehingga terciptalah satu kehidupan bersama; satu masyarakat, yang meliputi seluruh umat manusia dengan sejarah kehidupan bersama, sejarah umat manusia.

Masih tentang dampak globalisasi, maka dengan tegas harus dikatakan bahwa globalisasi dapat membawa dampak baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Untuk jelasnya ada baiknya diberikan contohnya masing-masing:

Dampak Positif. Dalam kenyataan-kenyataan di atas -- yaitu pertama, hanya dengan satu medium saja berjuta-juta manusia dapat menyaksikan pertandingan yang bergengsi lewat layar televisi, dan kedua, bahwa globalisasi telah membawa dampak terciptanya satu masyarakat yang meliputi seluruh umat manusia -- telah tampak adanya dampak positif dari globalisasi. Di samping itu, dalam kadarnya yang lebih mendalam, dapat disebutkan pula bahwa terciptanya kehidupan bersama yang meliputi seluruh umat manusia pada dirinya akan memungkinkan keterbukaan, penghargaan, dan penghormatan satu terhadap yang lain: orang yang satu terhadap orang yang lain, suku bangsa yang satu terhadap suku bangsa yang lain, bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain. Pada gilirannya keadaan yang demikian dapat menjadi landasan bahwa kemanusiaan manusia semakin dijunjung tinggi. Dampak positif lainnya agaknya dapat disebut yaitu bahwa globalisasi dapat memungkinkan terjadinya perubahan besar pada pola hidup manusia, misalnya pada cara kerja manusia: manusia akan semakin aktif dalam memanfaatkan, menanam, dan memperdalam kapasitas individunya manusia semakin ingin menampilkan nilai-nilai manusiawi dan jati diri budayanya.

Dampak negatif. Dampak negatif dari globalisasi di antaranya adalah sebagai berikut. Globalisasi, proses mendunia yang dimungkinkan oleh teknologi informasi yang canggih, dapat menyebabkan merembesnya budaya dari negara maju (yang adalah pemasok informasi) ke negara berkembang. Perembesan budaya tersebut tidak mustahil dapat menyebabkan ketergantungan budaya negara berkembang pada negara maju. Di samping itu, globalisasi informasi itu sendiri dapat menyebabkan pemerkosaan dan imperialisme budaya negara maju atas negara berkembang (dalam hal ini negara yang lebih lamban dalam perkembangan modernisasinya). Hal sedemikian hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa perbedaan laju perkembangan dalam modernisasi akan menyebabkan terjadinya pemaksaan budaya oleh masyarakat yang satu; masyarakat di negara maju, atas masyarakat yang lain, masyarakat di negara berkembang. Akhirnya perlu dikatakan bahwa -- walaupun globalisasi tidak dapat disamakan begitu saja dengan westernisasi namun -- globalisasi sesungguhnya mungkin dapat menyebabkan terjadinya masyarakat yang individualistis dan yang tidak agamawi. Sehubungan dengan itu, agaknya perlu disimak tulisan-tulisan para futurolog yang secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa orang zaman ini, jadi orang modern itu, akan mengalami kekosongan spiritual yang hebat. Orang modern pasti akan mencari kompensasi untuk mengisi kekosongan seperti itu, yang tidak jarang dicarinya secara serampangan.

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa proses globalisasi sesungguhnya berjalan terus. Dewasa ini orang belum mengetahui secara pasti bagaimana jalannya dan bagaimana nantinya. Sehubungan dengan hal ini - dalam konteks Indonesia - agaknya perlu digarisbawahi dua hal. Pertama, bahwa Indonesia pada hakikatnya telah berdiri di ambang pintu proses globalisasi. Oleh karena itu - menurut para teknolog - Indonesia tidak dapat menghindari kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi informasi. Pendapat sedemikian dapat dimengerti, mengingat tidak ada seorang pun yang dapat luput dari proses globalisasi itu. Kedua, bahwa karena itu bangsa Indonesia tidak bisa tidak harus terlibat dalam proses globalisasi itu dengan cara memanfaatkan dan melaju di dalamnya agar dapat menikmatinya. Bila tidak demikian, ia akan tertinggal atau bahkan akan terhempas dari proses globalisasi, sehingga proses globalisasi tidak hanya. tidak membawa manfaat melainkan juga akan menghancurkannya. Kedua hal tersebut sesungguhnya berlaku bagi Gereja-gereja di Indonesia.

 III. GEREJA DI INDONESIA

Pengertian

Adapun yang dimaksud dengan Gereja di Indonesia di sini adalah Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak itu. Dengan demikian pembicaraan di sini dibatasi pada Gereja-gereja Protestan dan tidak termasuk gereja Katolik Roma (walaupun dalam konteks tertentu Gereja ini akan disinggung pula) Gereja-gereja di Indonesia pada hakikatnya hidup dalam keberagaman. Keberagaman tersebut dapat dilihat dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut latar belakang etnis, corak Kekristenan, pengakuan iman, pekabaran Injil, dan pengorganisasian diri. Untuk jelasnya ada baiknya bilamana misal masing-masing dapat digambarkan sekedarnya, yang sekaligus dapat dianggap sebagai wujud dasar dari Gereja-gereja di Indonesia.

Wujudnya

Dalam kaitannya dengan latar belakang sejarahnya masing-masing, maka secara kasar gereja-gereja di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, Gereja-gereja yang tidak bertumpu pada kesukuan tertentu misalnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Gereja Protestan di Indonesia bahagian Barat (GPIB), di samping Gereja-gereja Pentakosta dan Gereja-gereja Baptis. Kedua, Gereja-gereja yang tumbuh dan berkembang sebagai Gereja suku, misalnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Toraja (GT), di samping sejumlah besar Gereja suku lainnya. Akhirnya perlu dicatat bahwa antara kelompok pertama dan kedua terdapat perbedaan kadar pengaruh budaya suku.

Sebagian terbesar dari Gereja-gereja di Indonesia yang lahir dan tumbuh antara 1930-1942 mewarisi corak Kekristenan (baca pula: corak teologia) dari "induknya", yaitu corak Kekristenan kontinental. Mereka ini pada satu pihak masih dipengaruhi oleh corak Kekristenan dari "induknya" dan pada pihak lain telah belajar dan berusaha untuk menentukan corak Kekristenannya sendiri. Setelah Indonesia merdeka, yaitu setelah 1945, corak Kekristenan di antara Gereja-gereja di Indonesia semakin bertambah banyak. Hal itu terutama disebabkan oleh berdirinya beberapa Gereja akibat meluasnya denominasi-denominasi jenis kebangunan atau Injili yang datang dari negara-negara Anglosaksis. Sehubungan dengan itu tidak mengherankan bila kemudian lahir dan tumbuh banyak Gereja, misalnya Gereja-gereja rumpun Pentakosta dan Gereja-gereja rumpun Kemah Injil.

Erat kaitannya dengan hal yang baru saja diuraikan di atas maka dapatlah dikatakan bahwa ditinjau dari sudut pengakuan iman pada umumnya Gereja-gereja di Indonesia belum mempunyai pengakuan Imannya sendiri, sebab baru kira-kira sepuluh Gereja yang telah merumuskan pengakuan imannya sendiri. Enam Gereja yang berdiri pada corak Kekristenan Protestan kontinental telah berusaha merumuskan pengakuan imannya dalam konteks perkembangan di negeri ini, terutama dalam konteks perkembangan budayanya. Sementara empat Gereja yang berdiri pada corak Kekristenan Protestan Anglosaksis juga telah merumuskan pengakuan imannya, walaupun usahanya tidak dikaitkan dengan konteks perkembangan di negeri ini, karena mereka pada hakikatnya tetap mempertahankan pengakuan iman dari Gereja "induknya" masing-masing.

Berkenaan dengan pekabaran Injil pertama-tama perlu dicatat bahwa di antara Gereja-gereja di Indonesia terdapat perbedaan pemahaman tentang pekabaran Injil. Sebagian dari mereka, terutama Gereja-gereja yang bergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) - yang oleh banyak orang disebut sebagai golongan ecumenical, memahami pekabaran Injil dalam kaitannya dengan keselamatan utuh manusia. Sehubungan dengan hal itu, maka masalah-masalah sosio politis, misalnya masalah-masalah sosio politis yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia, menjadi perhatian dan pemikiran mereka pula. Sebagian lain dari mereka, yang oleh banyak orang juga sering disebut sebagai golongan enangelical, masih memahami pekabaran Injil secara tradisional walau dalam berbicara menggunakan istilah-istilah modern. Kemudian, yang perlu dicatat adalah bahwa pekabaran Injil (baca: perluasan Injil, atau perkembangan Gereja-gereja) tidak jarang menimbulkan, ketegangan dengan para pemeluk agama Islam, terutama - di kawasan Jawa. Masalah sedemikian pada dirinya merupakan "pekerjaan rumah" bagi kedua golongan yang berbeda agama itu. Berkenaan dengan hal ini Gereja-gereja di Indonesia, terutama yang berada dalam PGI, telah banyak mengumpulkan dan memikirkan secara serius dan mendalami masalah-masalah yang menyangkut hubungan antar golongan pemeluk agama, terutama antara kedua golongan yang berbeda dan yang telah disebut terdahulu itu.

Bila dilihat dari sudut pengorganisasian dirinya masing-masing, maka pada umumnya Gereja-gereja di Indonesia mengorganisasikan diri selaras dengan apa yang dilakukan oleh "induknya" masing-masing. Dengan perkataan lain, pada umumnya mereka memberlakukan tata gereja yang diwariskan oleh induknya masing-masing, yang kebanyakan menganut pola presbiterial. Mereka ternyata mengalami banyak kesulitan dalam memberlakukan pola itu. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang mencoba menciptakan tata gereja yang cocok dengan keadaan mereka masing-masing. Sementara itu Gereja-gereja yang lahir dan tumbuh akibat meluasnya denominasi-denominasi jenis kebangunan atau jenis Injili tidak suka berurusan dengan masalah-masalah yang menyangkut tata gereja, yang dianggapnya tidak penting itu. Kenyataan demikian dapat dimengerti mengingat bahwa yang penting, bagi mereka, adalah mengusahakan kesucian hidup Gereja dengan tekanan pada upaya menjauhkan diri dari "dunia", misalnya dunia politik dan dunia budaya. Dampaknya dalam masalah pengorganisasian diri adalah bahwa mereka telah menganggap cukup bila dapat mengatur kehidupan Gereja dengan pola kongregasional seperti yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh mereka dari negara-negara Anglosaksis itu.

Peranannya

Kini ada baiknya bila dibicarakan tentang peranan Gereja-gereja di Indonesia (boleh dibaca pula: umat Kristen di Indonesia) di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan itu di sini hanya akan dikemukakan beberapa contoh konkretnya saja, yaitu di bidang-bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.

Sejak masa sebelum kemerdekaan umat Kristen dan atau Gereja-gereja telah mengusahakan pendidikan melalui sekolah-sekolah yang diasuhnya. Usaha demikian masih banyak yang berkelanjutan hingga dewasa ini. Walaupun jalannya tidak selalu mulus, namun usaha tersebut mengalami perkembangan juga. Hal itu, misalnya, tampak jelas dari data tahun 1980. Cita-cita pendidikan Kristen dan sumbangannya kepada kehidupan nasional pada umumnya tidak jauh berbeda dari pemikiran yang dirumuskan oleh Majelis Pusat Pendidikan Kristen dalam Anggaran Dasarnya, yaitu pemikiran tentang tujuan pendidikan Kristen, yang berbunyi: "Mempersiapkan tenaga pembangunan yang takut dan taat kepada Tuhan, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki integritas moral dan bersedia mengamalkan dirinya di dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia". Dari cita-cita itu tampak bahwa yang menjadi tujuan pendidikan tidak hanya pembinaan intelektualitas belaka, melainkan juga kepribadian secara menyeluruh.

Seperti di bidang pendidikan, umat Kristen atau banyak gereja yang telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan dalam pelbagai macam cara, misalnya melalui pengadaan rumah sakit, pengelolaan poliklinik, dan pengusahaan obat-obatan. Pelayanan tersebut dilakukan dalam kaitannya dengan keselamatan utuh manusia, walaupun perhatian untuk melakukan pencegahan penyakit - seperti yang telah dimulai pada tahun-tahun 1960-an - masih cukup tinggi. Diakui atau tidak bahwa hal yang disebut terakhir pada hakikatnya merupakan upaya dari umat Kristen atau banyak Gereja untuk menjabarkan dan meningkatkan pemikiran dan usaha zending di masa lampau. Sungguh pun demikian tidak dapat disangkal bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut mempunyai peranan penting bagi kehidupan bangsa.

Secara kasar dapat dikatakan bahwa di bi ekonomi sumbangan umat Kristen atau Gereja-gereja tidaklah seberapa dibanding dengan sumbangannya di bidang-bidang pendidikan dan kesehatan. Sebab mereka, seperti zending dahulu, tidak memiliki modal raksasa seperti halnya para pengusaha yang menciptakan dan mengembangkan sektor ekonomi di negeri ini. Hanya segera perlu ditambahkan bahwa di antara umat Kristen atau para anggota Gereja terdapat pengusaha-pengusaha besar - yang walau pun memiliki kelemahan dan kekurangan tertentu - mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Di samping itu, perlu pula diketengahkan hal ini, yaitu bahwa di beberapa daerah di luar pulau Jawa akibat agama Kristen muncul pemahaman baru berkenaan dengan hubungan manusia dengan alam. Hal itu pada hakikatnya mempunyai makna penting, yaitu bahwa di daerah-daerah itu suku-suku yang sebelumnya hidup terpencil dipersiapkan untuk menghadapi gelombang modernisasi yang mengancam kehidupannya. Penyiapan itu antara lain tampak dalam upaya-upaya (zending dan) umat Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah kejuruan dan proyek-proyek pertanian. Disamping itu, perlu disebut Dharma Cipta PGI yang didirikan pada 1972 karena telah berusaha untuk melakukan pembinaan masyarakat Kristen agar terbuka bagi pembangunan.

Walau pun masih sering terdapat tuduhan dari beberapa orang bahwa umat Kristen pada umumnya dan Gereja-gereja pada khususnya kurang peduli di bidang politik, namun kenyataannya adalah bahwa tidak sedikit jumlah orang Kristen yang diikutsertakan duduk dalam kabinet (catatan: kecuali dalam kabinet terakhir) dan dalam pimpinan ABRI. Unsur-unsur pokok dalam pengambil bagian di bidang politik pada masa kemerdekaan adalah bahwa mereka loyal terhadap pemerintah, bahwa mereka ikut mendukung mempertahankan Pancasila selaku dasar negara, bahwa mereka menolak ideologi komunisme, dan bahwa mereka di sekitar 1960 (1957-1966) merupakan kelompok moderat dalam pergolakan zaman. Sampai peleburannya dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1970-an, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) menjadi salah satu saluran penting aspirasi dan pemikiran Kristen di bidang sosio politis. Di samping itu, sejak tahun 1950, Dewan Gereja-geraja di Indonesia (DGI) -- yang pada 1984 diubah namanya menjadi Persekutuan Gereja-geraja di Indonesia (PGI) itu - menjadi wadah penting dalam, memikirkan tanggung jawab Kristen dalam politik. Secara singkat, pemikiran itu menekankan kewajiban setiap orang Kristen untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap nasib masyarakat dan negara dengan berpartisipasi di bidang politik; Gereja-gereja bertugas untuk mempersiapkan anggota-anggotanya agar dapat memenuhi tanggung jawab itu; partisipasi haruslah positif, kreatif, kritis, dan realistis. Gereja-gereja - demikian pula DGI (PGI) sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan salah satu masalah politik yang ditujukan kepada pemerintah, masyarakat, dan golongan Kristen sendiri.

 IV. TANTANGAN DAN HARAPAN

Pada uraian yang baru saja dikemukakan (butir III) tampaklah keadaan Gereja-gereja di Indonesia. Gereja-gereja di Indonesia yang semacam itulah yang berada dalam konteks era globalisasi (butir II). Kemudian bagaimanakah tantangan dan harapan Gereja-gereja itu dalam menghayati hidupnya dalam konteks seperti itu? Sehubungan dengan jawaban atas pertanyaan itu pertama-tama harus ditegaskan bahwa Gereja-gereja di Indonesia - seperti halnya bangsa Indonesia harus menghadapi dan mensiasati proses globalisasi itu, dalam arti harus terlibat di dalamnya dan memanfaatkan hasil-hasil positif yang dicapainya serta menghindari hasil-hasil negatif yang dibawanya. Bila tidak demikian, maka mereka - seperti telah dikatakan di atas - bukan saja akan tertinggal melainkan juga akan terhempas sehingga globalisasi tidak hanya tidak bermanfaat tetapi juga akan menghancurkan dirinya.

Sehubungan dengan pertanyaan yang dilontarkan di atas, maka di sini dilontarkan pertanyaan lain untuk mengawali pencarian jawab atas pertanyaan yang telah dilontarkan di atas. Bagaimanakah penghayatan hidup Gereja-gereja di Indonesia di era globalisasi (dan yang sering disebut era informasi) yang ditulangpunggungi oleh komunikasi dan telekomunikasi itu? Sebelum menjawabnya agaknya perlu dikemukakan kenyataan ini: karena globalisasi, maka dunia masa kini telah menjadi semacam "global village", yang di dalamnya batas antarnegara menjadi semakin pudar.

Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir, maka tampaklah bahwa globalisasi juga dapat menembus "dinding-dinding Gereja", yang berupa dinding-dinding denominasi dan bahkan dinding-dinding umat. Maksudnya adalah bahwa globalisasi memungkinkan penyebaran modernisasi yang menembusi kehidupan Gereja tanpa dapat dicegah atau dibendung. Misalnya budaya modern dengan mudah telah merasuki rumah-rumah para anggota Gereja melalui teknologi satelit. Benar bahwa budaya modern juga membawa dampak positif, namun tidak jarang pula membawa dampak negatifnya. Dalam menghadapi budaya modern ini Gereja seyogianya tidak tinggal diam, tetapi harus menghadapinya secara aktif. Menghadapi secara aktif mempunyai makna bahwa Gereja secara aktif memanfaatkan hal-hal yang positif yang dibawa oleh globalisasi, tetapi sebaliknya secara aktif pula menghindari hal-hal yang negatifnya.

Berbicara tentang dampak negatifnya, di sini perlu digarisbawahi bahwa munculnya budaya modern tidak jarang mengakibatkan timbulnya reaksi negatif terhadapnya misalnya dan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang masih ingin mempertahankan budaya lamanya. Dapat terjadi bahwa orang-orang atau kelompok-kelompok tersebut menolak budaya modern dan mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya sukunya. Upaya sedemikian tidak selalu jelek. Namun dalam keadaan tertentu, misalnya dalam keadaan yang ekstrim, dapat saja terjadi upaya sedemikian akan membawa akibat yang negatif. Contoh konkretnya adalah bahwa di tengah-tengah upaya untuk menolak budaya modern dan mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya suku tidak jarang orang akan dipengaruhi kembali oleh agama suku yang menjadikannya satu budaya suku. Kalau hal itu terjadi, hasilnya adalah jelas bahwa orang-orang Kristen yang berasal dari suatu suku tertentu akan dipengaruhi kembali oleh agama sukunya. Dalam kadar tertentu dapat terjadi suatu bentuk kekristenan yang "kulitnya adalah Kristen, sedang isinya adalah kafir".

Proses terjadinya "global village" di atas sesungguhnya mempunyai peranan penting bagi kehidupan Gereja bila Gereja mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. kehidupan dalam "global village" -- yang di dalamnya orang tidak menekankan misalnya latar belakang batas-batas kesukuan dan denominasi yang sering menyemangati orang untuk menjadi fanatik itu - agaknya perlu diberlakukan dalam kehidupan Gereja-gereja. Kehidupan semacam itulah yang antara lain mendorong Gereja-gereja belajar untuk tidak menekankan misalnya perbedaan kesukuan dan denominasinya. Hal ini selaras dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan ekumenis di antara Gereja-gereja sedunia, dengan salah satu cirinya yaitu mulai menanggalkan pemikiran absolutisme (dalam hal ini pemikiran yang memutlakkan dirinya sebagai Gereja yang paling benar) dan pemikiran thriompalismenya (dalam hal ini pemikiran yang menyatakan bahwa dirinya satu-satunya yang merupakan "sorga di bumi"). Ciri semacam itu membawa konsekuensi bahwa Gereja-gereja -- dalam semangat dan usaha bersama - mulai mengusahakan dan membangun teologi bersama. Kalau hal ini terjadi - yang memang telah terjadi pada banyak Gereja - maka tidak mustahil bahwa hasilnya akan mewarnai banyak hal dalam kehidupan Gereja, misalnya perbedaan-perbedaan latar belakang kesukuan, corak Kekristenan, (rumusan) pengakuan iman, (pemahaman) pekabaran Injil, dan pengorganisasian diri di antara Gereja-gereja tidak harus diperuncing dan dijadikan pemicu pertengkaran di antara mereka. Itulah salah satu contoh konkret dalam menjawab globalisasi secara aktif. Namun ada pula contoh yang justru menyatakan hal yang sebaliknya. Hal itu tampak dalam kenyataan bahwa masih terdapat banyak Gereja yang menjadikan dirinya sama dengan dunia dan kehilangan jati dirinya atau bahkan melarikan dirinya dari upaya menghadapi ketegangan dengan budaya modern dan teknologi canggih yang ada di sekitarnya.

Proses terjadinya "global village" seperti itu juga menantang Gereja-gereja di Indonesia - demikian juga Gereja-gereja di dunia - untuk lebih memberi tekanan pada kesatuan dan kerukunan umat manusia; termasuk di dalamnya membeda-bedakan umat beragama yang satu dari yang lainnya. Bila hal semacam itu terjadi, maka tidak ayal akan terjadi juga saling terbuka, saling memahami, saling mengenal, dan saling menghargai satu sama lain. Kenyataan sedemikian sangat diperlukan untuk upaya penegakan perdamaian di atas bumi ini.

Di samping menjawab secara aktif tantangan di atas, Gereja-gereja di Indonesia juga harus menjawab secara sama tantangan-tantangan lain yang diangkat ke permukaan oleh proses globalisasi. Tantangan-tantangan dimaksud berupa masalah-masalah sebagai berikut.

Masalah aktual di era globalisasi - masalah yang menyangkut pekabaran Injil; khususnya yang menyangkut keselamatan utuh manusia, dan masalah yang menyangkut politik pula; khususnya yang menyangkut kebebasan manusia - adalah masalah penegakan hak-hak asasi manusia. Disebut masalah aktual, oleh karena dewasa ini di banyak tempat di dunia terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Karena itu masalah tersebut menjadi masalah dunia. Sejalan dengan berita Injil, yaitu bahwa Allah melalui Yesus Kristus telah secara asasi menegakkan keselamatan utuh bagi manusia dan makhlukNya yang lain, Gereja-gereja tidak bisa tidak wajib menjawab masalah tersebut secara aktif. Itu berarti bahwa Gereja-gereja wajib mengaktualisasikan jawabannya itu dalam pemikiran dan tindakan yang mengarah kepada penegakan hak-hak asasi manusia.

Masalah aktual lainnya di era yang sama yang harus dijawab secara aktif oleh Gereja-gereja adalah masalah penegakan demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara adil dan bijak - Masalah yang menyangkut tanggung jawab Kristen di bidang politik ini, ternyata tidak hanya menjadi masalah di beberapa negara totaliter tertentu saja - misalnya negara-negara Blok Timur beberapa tahun yang lalu dan Myanmar sekarang ini - tetapi telah menjadi masalah dunia. Dengan demikian, kepedulian Gereja-gereja terhadap penegakan demokrasi dan pengoperasian kekuasaan secara adil dan bijak harus ditingkatkan dan diaktualisasikan, terutama melalui pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan nabiahnya terhadap para pemegang kekuasaan.

Masalah yang berhubungan dengan penegakan kesejahteraan manusia, terutama yang berhubungan dengan pengatasan jurang jarak antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Masalah yang tidak terlepas dari upaya suatu bangsa untuk melakukan pembangunan diri ini, menantang Gereja-gereja untuk memikirkan secara mendalam tentang penatalayanan kristianinya, merencanakan secara matang penatalayanan tersebut, dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Hal itu pada hakikatnya merupakan upaya Gereja-gereja untuk menjawab masalah tersebut, terutama untuk menjawab kemiskinan yang hebat di negara-negara dunia ketiga di samping hutang yang bertumpuk negara-negara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Dalam kaitannya dengan hal ini -- khususnya dengan kedudukan banyak pengusaha besar Kristen - Gereja-gereja juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pembinaan yang tepat dan tanggung jawab terhadap mereka agar upaya mereka baik yang bersifat lokal, regional dan nasional maupun internasional dapat juga ikut bertanggung jawab untuk menjawab hal-hal diatas.

Masalah yang menyangkut upaya pelestarian lingkungan kini telah menjadi perhatian dan pergumulan serius bagi umat manusia. Adapun masalah yang menyangkut upaya pelestarian lingkungan dapat mengambil bentuk bermacam-macam, di antaranya adalah masalah makin menipisnya sumber-sumber energi dari bumi, di samping masalah terganggunya lingkungan hidup sebagai akibat merajalelanya pelbagai polusi. Masalah seperti itu pada hakikatnya kini telah menjadi masalah umat manusia; masalah dunia. Dalam kaitannya dengan itu, Gereja-gereja di Indonesia -- bersama lembaga-lembaga lain yang non gerejawi - ditantang untuk memberikan tindakannya.

Masalah berikutnya adalah masalah pengatasan dampak negatif dari teknologi tinggi. Dampak negatif tersebut antara lain mengambil wujud kekosongan batin manusia dan humanisasi, pengangguran dan jurang jarak antara yang kaya dan yang miskin. Di samping itu, terdapat pula masalah-masalah lain yang muncul dari adanya "global economy" dan masalah-masalah yang dapat timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata "global economy", sebagai akibat dari adanya "global village", akan memberikan peluang bagi manusia untuk menerima tawaran pelbagai pilihan, di samping menumbuh kembangkan materialisme, sekularisme, dan rasionalisme. Berkenaan dengan hal ini, ada sinyalemen bahwa di lingkungan umat Kristen atau di kalangan anggota Gereja terdapat kecenderungan, pada materialisme, sekularisme, dan egosentrisme. Masalah-masalah yang dapat timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata dapat dijelaskan sebagai berikut. Adalah kenyataan bahwa pada masa lampau, sebelum runtuhnya Uni Sovyet, terjadi perlombaan senjata nuklir antara negara-negara blok Barat dan negara-negara blok Timur. Umat manusia seluruh dunia jelas merasa ngeri terhadap akibat digunakannya senjata nuklir tersebut, karena dapat mengantar umat manusia pada kepunahan dirinya dan peradabannya yang telah dibangun berabad-abad itu. Benar bahwa kini perlombaan senjata telah berakhir, namun ancaman-ancaman penggunaan senjata nuklir sesungguhnya belum lenyap. Dalam konteks semacam ini jelas Gereja-gereja di Indonesia - bersama-sama dengan Gereja-gereja sedunia - terpanggil untuk memberikan jawaban yang bersifat redemtif terhadap masalah yang timbul dari sisa-sisa perlombaan senjata tersebut.

Jawaban terhadap tantangan-tantangan di atas bagi Gereja-gereja di Indonesia pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari tanggung jawabnya dalam mengaktualisasikan misinya terhadap umat manusia dan sekaligus terhadap dunia. Untuk itulah maka Gereja-gereja di Indonesia di era globalisasi tidak boleh menjadi kelompok-kelompok manusia yang eksklusif dan yang mengisolasikan dirinya dari tantangan-tantangan yang muncul dari globalisasi. Hal itu dapat dimengerti, sebab Gereja-gereja - bahkan seluruh umat manusia - dituntut untuk tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan pihak-pihak lain (baca pula: kelompok-kelompok lain, bangsa-bangsa lain, dan bahkan generasi umat manusia masa datang). Jikalau "amanat" seperti itu tidak dipenuhi, maka Gereja-gereja pada hakikatnya mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke dalam dunia; mengingkari misinya sendiri.

Jawaban Gereja-gereja di Indonesia atas tantangan-tantangan tersebut sudah barang tentu diletakkan pada harapan Gereja-gereja sendiri, yaitu harapan pada Allah yang senantiasa melakukan karya keselamatan-Nya pada masa lampau, masa kini, dan masa depan itu. Karena itu, maka Gereja-gereja pada hakikatnya mengingkari eksistensinya sebagai yang berada di dunia dan sekaligus diutus ke dalam dunia, mengingkari misinya sendiri.

Berkenaan dengan hal yang disebut terakhir, perlu dikemukakan bahwa ada pula harapan Gereja-gereja yang berkaitan dengan (globalisasi dan) dampak positif globalisasi itu sendiri. Untuk jelasnya dapatlah dikemukakan contoh konkretnya. Seperti telah dimaklumi bahwa globalisasi membawa manusia kepada sikap terbuka terhadap sesamanya dari latar belakang apapun. Dalam kaitannya dengan hal ini Gereja-gereja mempunyai kedudukan yang kokoh. Mengapa demikian halnya? Karena dalam hal ini Gereja-gereja dapat di potret sebagai suatu kehidupan agamawi (religius) yang berpusat pada iman dan penghayatan penyelamatan yang dikerjakan oleh Allah atas manusia. Kemudian, pada gilirannya, penyelamatan tersebut menempatkan seluruh umat manusia di bawah satu kategori yang sama dengan tiga kualifikasi.

Ketiga kualifikasi yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut. Pertama, bahwa segenap manusia mempunyai kemuliaan (martabat) yang sama, yang terletak di dalam hal bahwa (semua) manusia diciptakan menurut gambar Allah. Kesegambaran dengan Allah itu sendiri pada hakikatnya menyatakan bahwa secara eksistensial manusia terhubung dengan Allah, yang karenanya manusia menjadi satu-satunya makhluk yang adalah partner (mitra) eksistensial Allah. Kedua, bahwa segenap manusia berada dalam kehinaan yang sama, dalam arti bahwa segenap manusia berada di bawah kondisi dosa (baca pula: berada dalam kondisi tidak selamat) dan bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu melepaskan diri dari kondisi dosa (baca pula: menyelamatkan dirinya sendiri). Ketiga, segenap manusia karena kemuliannya menjadi obyek kasih Allah. Dengan wataknya yang demikian ini - yang secara esensial membedakan dirinya dari kehidupan agamawi manapun juga - Gereja-gereja mempunyai kiblat universal sebagai yang memang harus terjadi.

Dalam kaitannya dengan hal yang disebut terakhir, Gereja-gereja sesungguhnya dapat memainkan peranan penting dalam mendorong perkembangan mental manusia, khususnya mental manusia Indonesia, dalam rangka memanfaatkan lajunya globalisasi, terutama dalam rangka upaya menuju kepada masyarakat manusia yang global. Sudah barang tentu hal yang dikemukakan terakhir wajib dilihat dalam perspektif umat Allah yang mengalami proses pembaharuan total itu (Wahyu 21:1-8). Dalam hal ini, sekali lagi, tampak bahwa harapan terjadinya masyarakat manusia yang global seperti itu diletakkan pada kuasa Allah sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa Gereja-gereja tidak boleh mengerahkan sumber daya dan sumber-sumber lainnya. Bahkan Gereja-gereja harus mengelola semuanya itu bagi upayanya menjawab tantangan-tantangan yang disebutkan di atas.

 PENUTUP

Dari uraian-uraian yang telah dilakukan di atas -- terutama dalam butir II, III, dan IV -- dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, globalisasi adalah proses mendunia yang terjadi di pelbagai bidang kehidupan, terutama di bidang teknologi komunikasi dan teknologi informasi. Proses tersebut membawa manusia kepada terwujudnya satu masyarakat yang global. Dengan demikian, proses itu juga membawa manusia kepada kenyataan bahwa batas-batas antar manusia mulai tidak relevan lagi. Hal ini juga berlaku bagi kehidupan Gereja-gereja di Indonesia.

Kedua, globalisasi seperti itu tidak dapat dihalangi atau dibendung. Setiap manusia pasti akan mengalami pengaruhnya. Hal ini juga berlaku bagi Gereja-gereja di Indonesia. Karena itu Gereja-gereja di Indonesia harus secara aktif menjawab tantangan itu, terutama secara aktif berarti Gereja-gereja harus taat dan setia kepada hakikatnya.

Ketiga, menjawab tantangan tersebut bukanlah perkara yang mudah. Karena itu Gereja-gereja harus mengenal secara baik proses itu, di samping jati dirinya sendiri. Dengan demikian, maka ihwal jawabannya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kepada Raja mereka, Tuhan mereka; yang pada-Nya mereka sesungguhnya meletakkan harapannya dalam melaksanakan tugas itu. Singkatnya, dalam hal ini biarlah Gereja tetap Gereja.

Keempat, dalam kaitannya dengan yang disebut terakhir, maka kini yang menjadi masalah adalah bagaimana Gereja-gereja di Indonesia mempersiapkan para anggotanya untuk menjawab tantangan-tantangan yang telah dikemukakan di atas? Pertanyaan ini pada hakikatnya masih bersifat terbuka menerima jawaban dari mereka, Gereja-gereja di Indonesia. Karena itu, untuk itu Gereja-gereja di Indonesia masih perlu menggumulkannya lebih lanjut secara serius.

 KEPUSTAKAAN

J.L. Ch. Abineno, Pengharapan Kristen (Jakarta: BPK GM, 1973), 52 dyb.

Herlianto, "Peran Serta Kaum Awam Dalam Pertumbuhan Gereja", Menuju Tahun 2000: Tantangan Gereja di Indonesia (Bandung: 1989), 122 dyb.

G. Kartasasmita, "Beberapa Pokok Pikiran Mengenai Martabat dan Kualitas Manusia di dalam Persaingan Global", Analisis CSIS 20/1 (1991), 11 dyb.

David McKenna, Megatruth (Tim Bernardino: HLP, 1987).

John Stott, Issues Facing Christian Today (Basingstoke: Marshalls, 1984).

Soedarno Sp, "Pendidikan Seni Rupa pada Era Globalisasi, Kreativitas: Ditantang Kurikulum Perlu Diubah?", Kedaulatan Rakyat (Minggu Ketiga, April 1992), 6.

R.M. Roy Suryo, "Indonesia Menyongsong Era Globalisasi", Kedaulatan Rakyat (7 Juli 1992), 4.

Alvin Toffier, Future Shock (New York: Random House, 1970).

Alvin Toffler, Previews and Premises (1984).

Alvin Toffler, The Third Wave (London: Pan Books, 1981).

Th. van den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK GM, 1988).

S.B. Wahyono dan Subagio, "Globalisasi dan Munculnya Elite Transnasional", Kedaulatan Rakyat (2 November 1990), 4.

Wahyu Widiarto, "Menghadapi Era Globalisasi", Suara Merdeka (Tanggal dan halaman tidak diketahui).



TIP #13: Klik ikon untuk membuka halaman teks alkitab dalam format PDF. [SEMUA]
dibuat dalam 0.08 detik
dipersembahkan oleh YLSA