Resource > Jurnal Pelita Zaman > 
Volume 8 No. 2 Tahun 1993 
 EDITORIAL

Dunia pada dewasa ini telah memasuki era baru globalisasi, suatu kurun masa yang ditandai oleh perubahan dan pembaharuan yang serba kompleks, terkait satu dengan yang lain serta amat pesat dalam skala seantero dunia. Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah tak terbendung melanda semua lapisan kehidupan dan masyarakat luas. Gejolak perubahan yang kurang diantisipasi sebelumnya atau terlambat di pantau pasti harus dibayar mahal oleh setiap insan modern, tak terkecuali oleh Gereja Tuhan dan umat Kristen di "dusun dunia" ini. Karena itu tugas para pemimpin Gereja maupun lembaga-lembaga pendampingnya (para church organizations) di mana saja terasa semakin berat sebab di satu sisi mereka harus terus-menerus berpacu dengan waktu kedatangan Tuhan yang semakin mendekat, dengan konsekuensi kesempatan berkarya semakin sempit terbatas; sementara di sisi yang lain masih ada begitu banyak permasalahan yang menantang dan menuntut penanganan yang lebih serius hingga tuntas. Tekanan demi tekanan permasalahan global yang pelik pada zaman ini sudah sedemikian mendesak Gereja Tuhan di mana-mana untuk segera menghadapinya apabila umat Allah masih ingin bertahan di tengah arus dahsyat pergeseran tata nilai globalisasi. Hampir serentak dan berbarengan di semua fron medan kehidupan ini kita harus bertindak dan terlibat langsung dalam membangun masyarakat mondial.

Orientasi ulang terhadap posisi Gereja dengan seluruh kiprah pelayanannya di dunia ini adalah mutlak perlu. Tanpa upaya seperti ini, Gereja mudah terhenti dalam status quonya, alias mandeg tak bertumbuh kembang. Kekaburan pemimpin umat dalam melihat posisi dan potensi diri di tengah-tengah kancah perjuangan global dengan segala tantangan dan tuntutannya akan mengakibatkan dua gejala yang sama-sama tak menguntungkan; yakni bersikap takabur dan sembrono karena menganggap enteng pelayanan dan tantangan kebutuhan masa kini atau malah kabur dari tugas panggilan misional yang telah Allah percayakan kepadanya. Karena itu marilah kita bersama menguburkan segala impian kosong berupa sikap optimis semu tanpa tindakan dan sumbangsih apa-apa atau belum apa-apa sudah menyerah kalah kepada nasib pesimis buta tanpa beriman dan berharap sedikitpun!

Dalam konteks kebutuhan seperti telah terungkap di atas, Jurnal Pelita Zaman pada edisi ini ingin memberikan beberapa masukan berkenaan dengan isu globalisasi. Tinjauan khusus dari Chris Hartono mengenai posisi Gereja di Indonesia dalam era globalisasi mengajak kita semua lebih memahami proses yang relevan berikut dengan dampak-dampak globalisasi yang harus diantisipasi oleh Gereja secara cermat dan series. Sementara itu, artikel Charles Christann lebih banyak menyoroti permasalahan penggembalaan di tengah kancah masyarakat dunia modern. Sedangkan kajian B.A. Abednego yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mempersiapkan anak dan remaja menghadapi era globalisasi. Tulisan ini akan membuat kita berpikir ekstra kritis, mengingat baik buruknya generasi mendatang amat ditentukan oleh sikap, peranan dan solusi pendidikan dari generasi masa kini. Beberapa artikel lain dagi memaparkan persoalan-persoalan praktis di seputar isu kepemimpinan dan pelayanan. Pada bagian terakhir, Adhy Asmara mengulas dengan cukup panjang lebar rupa-rupa karya nyata dalam pelbagai bidang kesenian, yang di dalamnya juga tercermin jati diri, nafas atau semangat maupun misi khas Kristiani.

 GEREJA DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI
Penulis: Chris Hartono338
 PENGGEMBALAAN DAN ISU GLOBALISASI
Penulis: Charles Christano339
 MEMPERSIAPKAN ANAK DAN REMAJA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
Penulis: Pdt. Em. B.A. Abednego340
 GEREJA, KEPEMIMPINAN, DAN KESENJANGAN ANTAR GENERASI{*}
Penulis: Daniel Lucas Lukito
 RENDAH DIRI: KAITANNYA DALAM HIDUP DAN PELAYANAN
Penulis: Paul Gunadi354

Salah satu masalah psikologis yang kerap kali mempengaruhi hidup dan pelayanan seorang hamba Tuhan ialah problem rendah diri. Rendah diri menyangkut persepsi seseorang terhadap dirinya dan dalam hal rendah diri individu tersebut tidak memiliki pandangan terhadap dirinya yang memuaskan dirinya sendiri. Dengan kata lain, ia merasa belum atau tidak pernah mencapai kriteria atau standar yang ia tetapkan bagi dirinya sendiri. Di sini saya tidak membicarakan perasaan tidak puas yang kita rasakan ketika kita gagal mencapai standar kita dalam kasus atau hal-hal tertentu saja. Rasa rendah diri yang saya maksudkan di sini mencakup hampir seluruh aspek dalam hidup kita dan bukan hanya dalam bidang atau hal-hal tertentu saja. Yang saya maksudkan di sini adalah suatu perasaan (emosional) dan pandangan (kognitif) yang bersifat komprehensif dan umum: suatu perasaan bahwa diri kita "cacat" tidak memenuhi syarat.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang rasa rendah diri ini, saya akan memberi definisi apa itu yang saya maksudkan dengan perasaan atau pandangan diri itu. Dalam bahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk menjabarkan berapa positifnya kita menghargai dan memandang diri kita ini adalah istilah self-esteem. Selanjutnya, dalam risalah ini saya akan menggunakan istilah Indonesia "penghargaan diri" sebagai pengganti istilah self-esteem.

Carlson (1988) memberi definisi tentang apa itu penghargaan diri dengan menggabungkan unsur-unsur teologis dan psikologis yakni "kesediaan atau kerelaan saya untuk tidak menjadi pusat dari dunia saya dan menerima diri saya sebagai ciptaan Tuhan: yang dapat dikasihi (lovable), bernilai (valuable), berkemampuan (capable), dapat diampuni (forgivable) dan dapat ditebus (redeemable)" (h.21. Definisi teologis ini berangkai dari asumsi bahwa kita dapat dikasihi, bernilai, dan berkemampuan karena Tuhan telah menciptakan, menebus, dan memberi kekuatan kepada kita. Dengan kata lain, Carlson berhipotesis bahwa penghargaan diri seharusnya dilandaskan atas suatu keyakinan bahwa kita dicipta menurut citra Allah, dipulihkan kembali kepada citra Allah, dan diperlengkapi oleh Roh Allah.

Cara kedua mendefinisikan penghargaan diri, yang juga saya kutip dari Carlson, ialah P.D. = D.I. - D.S. (Penghargaan Diri sama dengan Diri yang Ideal dikurangi Diri yang Sesungguhnya). Dengan kata lain, penghargaan diri merupakan jarak antara "siapa saya seadanya sekarang ini" dengan "siapa saya yang sebenarnya saya dambakan". Semakin besar jarak antara siapa saya sekarang ini dengan siapa saya secara ideal, semakin lemah atau negatif penghargaan diri saya. Sebaliknya, semakin kecil jarak antara kedua kutub ini, semakin positif atau sehat penghargaan diri saya sebab saya memiliki keyakinan bahwa saya semakin mendekati diri ideal saya.

Jadi, berdasarkan kedua definisi tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa penghargaan diri adalah (a) seberapa jauhnya saya mengesampingkan diri sebagai pusat dari kehidupan saya dan seberapa dapatnya saya menerima diri sebagai ciptaan Tuhan yang dapat dikasihi, bernilai, berkemampuan, dapat diampuni, dan dapat ditebus, serta (b) seberapa dekatnya saya sekarang ini dengan cita-cita saya tentang siapa seharusnya saya ini. Rasa rendah diri timbul tatkala kita mengalami kesulitan mengesampingkan diri dan menerima diri sebagai ciptaan Tuhan serta ketika kita melihat betapa kurangnya kita dari target semula di mana kita seharusnya berada. Dalam risalah ini saya akan membahas salah satu manifestasi dari rasa rendah diri yang dapat mempengaruhi hidup seorang pelayan Kristen, yakni kepribadian pasif bergantung (passive dependent personality).

 SENI DAN KEKRISTENAN DALAM ERA GLOBALISASI
Penulis: Adhy Asmara dr355


TIP #19: Centang "Pencarian Tepat" pada Pencarian Universal untuk pencarian teks alkitab tanpa keluarga katanya. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA