Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 >  IMPLIKASI KONSEPSI WAKTU DALAM TEORI RELATIVITAS TERHADAP PEMIKIRAN TEOLOGIS > 
IMPLIKASI TERHADAP PEMIKIRAN TEOLOGIS 

Konsepsi TR tentang waktu telah memberi implikasi yang besar terhadap pemikiran-pemikiran teologis.331 Yang menjadi sorotan penulis dalam hal ini adalah permasalahan yang ada dalam perdebatan tentang Tritunggal. Salah satu permasalahan dalam ketritunggalan Allah adalah bagaimana menjelaskan hubungan Kristus dengan Allah Bapa. Penjelasan hubungan Kristus dengan Allah Bapa cenderung berimplikasi pada subordinasi Kristus, baik dalam urutan waktu, maupun dalam essensi/substansi. Dikatakan adanya subordinasi dalam waktu karena adanya pengertian bahwa Bapa ada sebelum Anak. Dan adanya subordinasi essensi karena adanya pengertian kausalitas, di mana Bapa sebagai penyebab keberadaan Anak (dan Roh Kudus). Keterikatan yang a priori manusia pada waktu nampak dengan jelas dalam perdebatan teologis tentang Tritunggal.

Bagaimana menjelaskan hubungan Bapa, Anak dan Roh Kudus terlepas dari ide waktu yang a priori? Anak diperanakkan (generate) dari Bapa, dan Roh Kudus berasal (procced) dari Bapa dan Anak. Berbagai pemikiran telah dicetuskan untuk menjelaskan masalah ini. Pemecahan untuk masalah ini telah dikemukakan dari berbagai aspek.332

Di tengah-tengah hangatnya pembahasan tentang relasi Kristus dan Allah Bapa pada abad ketiga, Origen adalah salah satu tokoh yang memberi kontribusi pemikiran yang penting. Origen mengatakan, that God alone as unbegotten, while the Son is only begotten, eternally proceeding from the Father, because his generation is as eternal and everlasting.... This Son, accordingly, is also the truth and the life of the all things which exist"333

Bagi Origen, jika Anak berasal (generate) dari Bapak dan Roh Kudus berasal (procced) dari Bapa dan Anak, maka ini memberi implikasi pengertian: (1) Ada permulaan pada diri Anak dan Roh Kudus. (2) Pada diri Allah ada suatu perubahan, sehingga terjadi sesuatu yang baru. Bagi Origen hal ini tidak mungkin. Pada diri Allah tidak ada sesuatu yang terjadi sehingga muncul sesuatu yang baru (dalam keterkaitan secara a priori pada waktu), dan terjadi perubahan.

Ada permasalahan yang sulit dijelaskan di sini: (1) Bagaimana dalam diri Allah dapat lahir sesuatu keberadaan di luar dirinya (sedangkan Ia adalah Allah yang tidak berubah, immutable)? (2) Bagaimana bisa dimengerti bahwa terwujudnya keberadaan itu (Anak dan Roh Kudus) tidak ada keterkaitan secara a priori dengan waktu?

Origen menjelaskan demikian: (1) Dalam diri Allah apa yang Ia pikirkan dan pengadaan (yang Ia kehendaki) adalah satu kesatuan, sama dan simultan. Jadi apa yang Allah pikirkan adalah bersamaan dengan apa yang Ia kehendaki dan yang Ia lakukan. Apa yang Ia kehendaki berarti sudah terjadi. Jikalau Allah menghendaki adalah bersamaan dengan tindakanNya (yang berarti ada suatu ketetapan hati, keputusan) maka ini berarti terjadi suatu perubahan. Maka ini berkontradiksi dengan sifat Allah yang tidak berubah (immutability). Oleh karena itu, kehendak (self-actualizing will) bukanlah tindakan (act). (2) Dalam pemikiran Origen, kekekalan Anak harus dimengerti dalam kaitan dengan kehendak yang kekal. Keberadaan Anak harus dimengerti sebagai dan dalam kaitan dengan timeless state. Dengan kata lain, keberadaan Anak adalah eternal wilfulness. Oleh sebab itu Anak diperanakkan bukan dalam waktu. Kekekalan Anak adalah dalam kaitan dan dalam pengertian kehendak Bapa yang kekal. Sehingga tidak mungkin ada suatu interval waktu di mana Anak (dan Roh Kudus) tidak berada.

Pemikiran Origen ini mendekati teori pancaran (emanation) dari Neoplatonisme. Essensi Anak dan essensi Roh Kudus keluar dari Bapa. Karena apa yang memancar/keluar pasti seessensi dengan sumbernya. Dan Roh Kudus adalah dari Bapa dan Anak.

Di sini memberi (kemungkinan) implikasi adanya pergeseran kemurnian dari essensi pertama. Karena Roh Kudus berasal dari Bapa dan Anak, maka sumbernya bergeser lebih jauh bila dibandingkan dengan Anak. Dengan demikian terjadi kemungkinan reduksi dari sumber asli. Selain itu juga dapat berimplikasi pada: Anak adalah tidak berdasarkan pada diriNya sendiri (self-grounded). Yang berdasarkan pada diriNya sendiri hanya Bapa, sebagai sumber essensi keallahan, jikalau kehendak Bapa dan apa yang hendak Ia wujudkan adalah satu kesatuan, bukankah dengan demikian kehendak itu merupakan kehendak yang harus (necessity), tanpa kebebasan dan keberadaan Anak dan Roh Kudus merupakan keharusan?334

Di tengah-tengah permasalahan dan berbagai pendapat tentang Tritunggal, Arius adalah salah seorang yang mencoba mengemukakan pendapatnya, khususnya tentang relasi Bapa dan Anak. Ia menolak pandangan Adopsionisme, Modalisme dan Apollinarianisme, termasuk juga pandangan Origen. Bagi Arius, karena Kristus berasal dari Bapa, bagaimanapun hal itu akan berimplikasi bahwa Kristus adalah suatu ciptaan dalam waktu. Ia mengatakan, ada suatu waktu di mana Kristus tidak ada, karena itu Anak tidak dapat dikatakan sama kekalnya dengan Bapa. Bagi Arius sekalipun dipakai istilah "diperanakkan" bagaimanapun tetap mengandung pengertian ciptaan, karena di dalamnya mengandung pengertian kausalitas.

Teologia Arius ini kemudian ditentang oleh atasannya, Bishop Alexander. Alexander berpendapat bahwa Bapa dan Anak sama-sama kekal. Anak meskipun diperanakkan (ia memakai istilah gennetos), dan Bapa tidak diperanakkan (memakai istilah agennetos), ini tidak berarti Anak ada kemudian dibandingkan dengan Bapa, dan Anak mempunyai permulaan.

Pemakaian terminologi gennetos dan agennetos ini ditolak oleh Arius. Dengan tajam Arius mengoreksi pemakaian kedua kata ini. Kata gennetos dan agennetos ini harus dibedakan dengan istilah genetos dan agenetos. Kata genetos dan agenetos berasal dari kata kerja gignesthai, yang berarti to become; genetos berarti: that which has come into being; dan agenetos berarti that which has not come into being. Sedangkan kata gennetos dan agennetos berasal dari kata kerja gennan yang berarti to beget. Kata gennetos berarti: that which has a cause or source outside itself. Dan kata agennetos berarti that which has no cause or source outside itself.

Pada awal abad keempat, perbedaan dua bentuk kata ini sangat penting, namun kemudian diabaikan, juga penggunaannya dalam membicarakan tentang Tritunggal. Bagi Arius adalah mungkin bagi sesuatu atau seseorang dikatakan gennetos, yaitu begotten/caused by something or someone else. Tetapi tidak bisa dikatakan adalah agennetos (that which has never come into being because it always existed), karena hanya Allah yang dapat dikatakan agennetos. Sehingga bagi Arius, Anak diperanakkan (yang gennetos), pasti berarti genetos; tetapi Allah adalah agen(n)etos. Oleh karena itu Anak bukanlah seessensi/sesubstansi dengan Bapa; dan Anak tidak sama kekalnya dengan Bapa. Anak mempunyai permulaan yang disebabkan oleh Bapa. Arius mengatakan: "...before he was begotten or created or defined or established, he was not.... We say, 'the Son has a beginning, but God is without beginning."335



TIP #22: Untuk membuka tautan pada Boks Temuan di jendela baru, gunakan klik kanan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA