Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 > 
IMPLIKASI KONSEPSI WAKTU DALAM TEORI RELATIVITAS TERHADAP PEMIKIRAN TEOLOGIS 
Penulis: Cung Tse Hue323
 PENDAHULUAN

Salah satu kesadaran yang sangat melekat dalam kehidupan manusia adalah waktu (dan ruang), sehingga dalam aktivitas berpikir dan bernalar, manusia tidak terlepas dari asumsi waktu. Oleh sebab itu ide dan konsepsi waktu merupakan keterikatan yang sangat a priori dalam mekanisme berpikir manusia.

Keterikatan a priori pikiran terhadap waktu sangat nyata dalam permasalahan yang bersifat kausalitas, baik dalam filsafat, fisika bahkan dalam pemikiran teologis. Misalnya, dalam menjelaskan tiga pribadi dalam ketritunggalan Allah, teologia Kristen menegaskan bahwa Anak berasal dari Bapa, dan Roh Kudus berasal dari Bapa dan Anak. Konklusi logis ini merupakan konklusi yang sangat gamblang, oleh sebab itu sulit untuk dihindari. Karena, jikalau tiga Pribadi dalam Tritunggal merupakan Pribadi yang seessensi dan setara, tidak mungkin ada unsur kausalitas dan subordinasi dalam kronologi keberadaan. Berbagai pandangan telah dikemukakan untuk menghindari implikasi dan konklusi logis ini.

Permasalahan ini timbul, karena adanya keterikatan a priori terhadap waktu. Oleh sebab itu pemecahan terhadap permasalahan ini adalah terletak pada konsepsi waktu. Artikel ini berusaha untuk menjelaskan ketidakabsahan adanya ide kausalitas dan kronologi dalam pemikiran tentang Tritunggal berdasarkan ketidakabsahan keterikatan a priori terhadap waktu. Penulis melihat adanya kontribusi dari pandangan fisika, yaitu Teori Relativitas, untuk menjelaskan masalah ini.

Teori Relativitas (TR) yang dicetuskan oleh Albert Einstein dibedakan atas Teori Relativitas Khusus (TRK), yang dikemukakan pada tahun 1905 dan Teori Relativitas Umum (TRU), yang dikemukakan pada tahun 1916. TRK berawal dari permasalahan ingin menjawab keparadoksan dua kebenaran hukum fisika, yaitu prinsip relativitas dan kecepatan mutlak gelombang elektromagnetik, yaitu cahaya. Sedangkan TRU mempertanyakan permasalahan peranan gravitasi dalam gerak benda-benda fisis. Keduanya telah melanjutkan konsepsi yang baru tentang ruang dan waktu.

 IMPLIKASI TEORI RELATIVITAS

TRK berbicara tentang pengamatan dan pengukuran yang dilakukan oleh dua orang (kerangka acuan) Yang bergerak relatif satu terhadap yang lain. Pengukuran interval waktu (interval ruang dan kuantitas massa) dalam konsepsi fisika klasik tidak mempunyai pembahasan khusus bagaimana kuantitas fisis tersebut diukur. Fisika klasik, yang terutama merupakan hasil formulasi dari Galileo Galilei dan Isaac Newton, beranggapan bahwa semua pengukuran kuantitas fisis yang dilakukan seorang pengamat di manapun dalam alam semesta, apakah dalam kondisi bergerak atau tidak, pasti menghasilkan kuantitas pengukuran yang sama terhadap interval ruang dan waktu. Kuantitas-kuantitas fisis tersebut dianggap mutlak tidak menjadi persoalan siapa dan bagaimana kondisi pengukuran kuantitas tersebut. Misalnya, pengukuran interval waktu yang dilakukan oleh dua orang, yang satu berada di Bumi dan yang lain di pesawat yang sedang terbang, menurut fisika klasik pengukuran kedua orang tersebut adalah sama, tidak tergantung kondisi gerak orang tersebut. Newton mengatakan:

I. Absolute, true and mathematical time, of itself, and from its own nature, flows equally without relation to anything external ....

II. Absolute space, in its own nature, without relation to anything external remains always similar and immovable.324

Tetapi menurut Einstein tidak demikian. Pengukuran waktu di pesawat lebih panjang terhadap interval waktu di Bumi. Einstein mengatakan: Events occuring at the same time but in different places in a moving system will be considered by a ground observer as occurring at different time.325

Jadi setiap pengamat mempunyai standar waktunya tersendiri sesuai dengan kecepatan geraknya.

Demikian juga menurut TRU. Kecepatan proses/perubahan fisis dipengaruhi oleh gravitasi. Semakin besar medan gravitasi, semakin lambat proses fisis yang dapat berlangsung dalam medan gravitasi tersebut. Semakin besar gravitasi suatu benda, semakin mengerut ruang waktu sekitarnya. Dengan demikian waktu menjadi relatif, tergantung besarnya medan gravitasi. Dengan kata lain semakin massiv suatu benda semakin lambat kelajuan waktu di sekitarnya.326

TR telah mengubah konsepsi klasik tentang waktu (juga tentang massa, energi, ruang, dan gravitasi). Teori ini juga telah memberi pendekatan baru dalam telaah terhadap sifat-sifat fisis alam semesta. Sehingga TRK telah memberi implikasi-implikasi yang besar: (1) Bahwa waktu tidaklah mutlak dan bersifat universal. Berdasarkan perhitungan matematis TRK bahwa waktu bersifat relatif dengan rumus:

Kesimpulan matematis ini kebenarannya telah dibuktikan dengan eksperimen.327 (2) TR juga telah mengubah konsepsi klasik tentang ruang dan waktu. Implikasi ini dilihat dan dicetuskan oleh Hermann Minkowski pada tahun 1908. Prinsip relativitas, yang merupakan salah satu postulat dari TRK mengatakan bahwa tidak ada kediaman yang mutlak dalam alam semesta, segala sesuatu dalam kondisi gerak relatif. Dengan diketahui bahwa segala sesuatu dalam kondisi gerak dan waktu bersifat relatif, tergantung pada gerak kerangka acuan, maka ruang dan waktu tidak dapat dipisahkan. Minkowski mengatakan: Henceforth space by itself and time by itself are doomed to fade away into mere shadows, and only a kind of union of the two will preserve an independent reality.328

Dalam konsepsi fisika klasik, waktu bukan saja bersifat mutlak juga terlepas dari ruang (kedudukan dan keadaan gerak dari kerangka acuan). Dengan mengatakan: "Absolute, true and mathematical time, of itself, and from its own nature, flows equally without relation to anything external ...," berarti menurut Newton, realitas tiga dimensi dalam ruang merupakan bentuk yang terpisah, dan bergerak maju dalam satu dimensi waktu. Pandangan Newton tentang ruang dan waktu ini hanya berdasarkan common sense. Pengalaman mengatakan bahwa ruang dan waktu terpisah. Sebagai contoh: Kita berpendapat bahwa kita dapat mengontrol posisi kita dalam ruang, tetapi kita sama sekali dapat mengontrol posisi kita dalam waktu. Kita tidak meragukan laju atau berlalunya waktu. Kita dapat memiliki suatu posisi yang tetap/diam, sehingga posisi kita berubah dalam ruang. Tetapi tidak demikian dengan posisi kita dalam waktu. Berdasarkan TR, ruang dan waktu tidak terpisah, melainkan sebagai kontinum (satu kesatuan) ruang waktu, bukan ruang dan waktu, seperti yang dikatakan Hermann Weyl:

The scene of action of realty is not a three dimensional space, but rather a four dimensional world, in which space and time are linked together indissolubly. However deep the chasm may be that separates the intuitive nature of space from that of time in our experience, nothing of this qualitative difference enters into the objective worlds which physics endeavours to crystallize out of direct experience. It is a fur dimensional contrinuum which is neither "time" or "space." Only the consciousness that passes on in one portion of this world experiences the detached piece which comes to meet it and passes behind it as history, that is, as a process that is going forward in time and takes place in space".329

Karena ruang dan waktu tidak terpisahkan, maka setiap gerak tidak ada (tidak bisa dibayangkan ada) tanpa waktu (tanpa keberlangsungan dalam waktu). Karena TR mengatakan bahwa konsepsi tentang ruang dan waktu sebagai kontinum, sehingga adalah tepat dan logis untuk menggambarkan implikasi TRK tersebut dengan menganggap peristiwa-peristiwa sebagai yang terjadi dalam kontinum ruang waktu. Sehingga ruang waktu mempunyai empat koordinat, yaitu tiga koordinat ruang dan satu koordinat waktu sebagai koordinat keempat. Interval ruang dalam ruang Euclid berlaku teorema Pythagoras:

dr2 = dx2 + dy2 + dz2

Sedangkan dalam ruang Minkowski, yaitu ruang dalam konsepsi TRK, interval ruang didefinisikan dengan:

ds2 = c2dt2 - dx2 - dy2 - dz2

 WAKTU, RUANG DAN MATERI

Pernyataan "Absolute space, in its own nature, without relation to anything external, remains always similar and immovable" merupakan inti pernyataan konsepsi ruang menurut Newton. Konsepsi ruang mutlak dari Newton merupakan kesalahan yang fatal. Kesalahan pandangan Newton ini sebenarnya sudah pernah dikemukakan oleh Gottfried Leibniz. Ia mengatakan tidak mungkin ruang ada pada dirinya sendiri, dan tidak tergantung pada apapun. Tidak mungkin ide tentang ruang ada jikalau tidak ada materi. Pandangan Leibniz ini mendapat dukungan dari seorang filsuf Irlandia, Bishop George Berkeley. Berkeley mengatakan bahwa ruang bisa dimengerti ada karena kaitannya dengan materi. Ruang merupakan kekosongan (nothing). Sifat ruang satu-satunya adalah keluasan (extension), namun tanpa adanya materi maka sifat keluasan ini tidak ada, sehingga ruang tidak ada atau tidak dapat dimengerti sebagai ada, kalau tidak ada materi.330 Jika ruang dan waktu tidak dapat dipisahkan berarti ruang waktu mengharuskan adanya materi. Tanpa ruang dan materi kita tidak dapat berbicara tentang waktu. Jadi waktu tergantung pada ruang dan materi (dan gerak pengamat).

Waktu dalam konsepsi TR bukanlah dalam pengertian urutan atau pergantian (sequence), melainkan waktu bersamaan dengan ruang alam semesta itu sendiri. Waktu sendiri merupakan bagian dari alam semesta fisis, karena waktu tidak terlepas dari ruang (ruang waktu). Waktu dalam TR juga bersifat relatif, tergantung pada kecepatan relatif suatu kerangka acuan. Ini berarti tidak ada keseragaman kelajuan waktu. Misalnya, seorang yang sedang berdiri di tepi jalan dapat mengatakan "sekarang," tetapi bagi seorang yang sedang naik mobil dengan kelajuan sekian km per jam, tidaklah "sekarang.""Sekarang" bagi orang yang berdiri di tepi jalan tidak simultan dengan orang yang ada dalam mobil. Oleh sebab itu, tidak ada moment "sekarang" yang universal.

Karena tidak adanya sekarang yang universal dan waktu adalah bagian dari alam semesta fisis, bersamaan dengan ruang, maka implikasi lainnya adalah bahwa berlalunya waktu hanya merupakan kesadaran psikologis, yang tidak mempunyai sifat objektif. Sehingga sebenarnya masa lampau, sekarang dan akan datang (past, present, future) tidak ada. Pengertian istilah-istilah pembagian waktu ini hanya dapat berlaku lokal, tidak dapat berlaku universal.

Namun, timbul suatu permasalahan di sini bahwa waktu dalam konsepsi TR berbeda dengan waktu yang kita persepsi atau alami secara psikologis atau perseptual. Waktu dalam TR tidak mempunyai karakteristik temporal, yaitu tidak adanya pengertian tentang pengertian, peralihan (sequence) atau berlalunya waktu. Sedangkan persepsi waktu secara psikologis atau perseptual bersifat kontinu dan mempunyai arah, yaitu lampau, sekarang, yang akan datang. Secara nyata kita merasakan berlalunya waktu. Apakah waktu berdasarkan pengalaman perseptual psikologis bertentangan dengan waktu menurut TR? Sebenarnya tidak bertentangan! Konsepsi waktu secara psikologis timbul melalui proses pengkonstruksian yang mencakup:

1. Kesadaran subyek terhadap adanya proses yang asimetri, yaitu berlakunya hukum kedua thermodinamika, sehingga terasa adanya masa lampau, sekarang dan akan datang.

2. Subyek menggabungkan semua proses atau kejadian berurutan yang terekam dalam memori atau ingatannya. Pengakuan dan penerimaan yang universal terhadap berlalunya waktu berdasarkan jam.

Ketiga faktor ini merupakan beberapa faktor yang membentuk kesadaran waktu secara psikologis.

Jadi konsepsi waktu dalam relativitas adalah berdasarkan gerak (yang adalah juga termasuk perubahan). Gerak mengharuskan adanya ruang dan ruang mengharuskan adanya materi. Atau, gerak mengharuskan adanya materi, dan materi mengharuskan adanya ruang. Sedangkan konsepsi waktu berdasarkan pengalaman atau secara psikologis terutama berdasarkan atas persepsi subyek terhadap adanya perubahan atau proses dalam realitas, yaitu berlakunya hukum kedua thermodinamika. Sedangkan perubahan/proses mengharuskan adanya materi tanpa materi maka tidak ada proses; tidak adanya proses berarti tidak mungkin waktu dapat dialami, dan materi mengharuskan adanya ruang. Sehingga waktu dalam konsepsi TR tidak bertentangan dengan waktu dalam konsepsi yang berdasarkan pengalaman atau secara psikologis.

Oleh sebab itu waktu dan ruang tidak dapat berdiri sendiri, dan ruang tidak bisa ada pada dirinya sendiri. Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang dan ruang tidak bisa dipisahkan dari materi dan sebaliknya. Tanpa materi dan ruang maka tidak mungkin ada waktu, karena waktu tidak dapat terlepas dari ruang dan materi.

 IMPLIKASI TERHADAP PEMIKIRAN TEOLOGIS

Konsepsi TR tentang waktu telah memberi implikasi yang besar terhadap pemikiran-pemikiran teologis.331 Yang menjadi sorotan penulis dalam hal ini adalah permasalahan yang ada dalam perdebatan tentang Tritunggal. Salah satu permasalahan dalam ketritunggalan Allah adalah bagaimana menjelaskan hubungan Kristus dengan Allah Bapa. Penjelasan hubungan Kristus dengan Allah Bapa cenderung berimplikasi pada subordinasi Kristus, baik dalam urutan waktu, maupun dalam essensi/substansi. Dikatakan adanya subordinasi dalam waktu karena adanya pengertian bahwa Bapa ada sebelum Anak. Dan adanya subordinasi essensi karena adanya pengertian kausalitas, di mana Bapa sebagai penyebab keberadaan Anak (dan Roh Kudus). Keterikatan yang a priori manusia pada waktu nampak dengan jelas dalam perdebatan teologis tentang Tritunggal.

Bagaimana menjelaskan hubungan Bapa, Anak dan Roh Kudus terlepas dari ide waktu yang a priori? Anak diperanakkan (generate) dari Bapa, dan Roh Kudus berasal (procced) dari Bapa dan Anak. Berbagai pemikiran telah dicetuskan untuk menjelaskan masalah ini. Pemecahan untuk masalah ini telah dikemukakan dari berbagai aspek.332

Di tengah-tengah hangatnya pembahasan tentang relasi Kristus dan Allah Bapa pada abad ketiga, Origen adalah salah satu tokoh yang memberi kontribusi pemikiran yang penting. Origen mengatakan, that God alone as unbegotten, while the Son is only begotten, eternally proceeding from the Father, because his generation is as eternal and everlasting.... This Son, accordingly, is also the truth and the life of the all things which exist"333

Bagi Origen, jika Anak berasal (generate) dari Bapak dan Roh Kudus berasal (procced) dari Bapa dan Anak, maka ini memberi implikasi pengertian: (1) Ada permulaan pada diri Anak dan Roh Kudus. (2) Pada diri Allah ada suatu perubahan, sehingga terjadi sesuatu yang baru. Bagi Origen hal ini tidak mungkin. Pada diri Allah tidak ada sesuatu yang terjadi sehingga muncul sesuatu yang baru (dalam keterkaitan secara a priori pada waktu), dan terjadi perubahan.

Ada permasalahan yang sulit dijelaskan di sini: (1) Bagaimana dalam diri Allah dapat lahir sesuatu keberadaan di luar dirinya (sedangkan Ia adalah Allah yang tidak berubah, immutable)? (2) Bagaimana bisa dimengerti bahwa terwujudnya keberadaan itu (Anak dan Roh Kudus) tidak ada keterkaitan secara a priori dengan waktu?

Origen menjelaskan demikian: (1) Dalam diri Allah apa yang Ia pikirkan dan pengadaan (yang Ia kehendaki) adalah satu kesatuan, sama dan simultan. Jadi apa yang Allah pikirkan adalah bersamaan dengan apa yang Ia kehendaki dan yang Ia lakukan. Apa yang Ia kehendaki berarti sudah terjadi. Jikalau Allah menghendaki adalah bersamaan dengan tindakanNya (yang berarti ada suatu ketetapan hati, keputusan) maka ini berarti terjadi suatu perubahan. Maka ini berkontradiksi dengan sifat Allah yang tidak berubah (immutability). Oleh karena itu, kehendak (self-actualizing will) bukanlah tindakan (act). (2) Dalam pemikiran Origen, kekekalan Anak harus dimengerti dalam kaitan dengan kehendak yang kekal. Keberadaan Anak harus dimengerti sebagai dan dalam kaitan dengan timeless state. Dengan kata lain, keberadaan Anak adalah eternal wilfulness. Oleh sebab itu Anak diperanakkan bukan dalam waktu. Kekekalan Anak adalah dalam kaitan dan dalam pengertian kehendak Bapa yang kekal. Sehingga tidak mungkin ada suatu interval waktu di mana Anak (dan Roh Kudus) tidak berada.

Pemikiran Origen ini mendekati teori pancaran (emanation) dari Neoplatonisme. Essensi Anak dan essensi Roh Kudus keluar dari Bapa. Karena apa yang memancar/keluar pasti seessensi dengan sumbernya. Dan Roh Kudus adalah dari Bapa dan Anak.

Di sini memberi (kemungkinan) implikasi adanya pergeseran kemurnian dari essensi pertama. Karena Roh Kudus berasal dari Bapa dan Anak, maka sumbernya bergeser lebih jauh bila dibandingkan dengan Anak. Dengan demikian terjadi kemungkinan reduksi dari sumber asli. Selain itu juga dapat berimplikasi pada: Anak adalah tidak berdasarkan pada diriNya sendiri (self-grounded). Yang berdasarkan pada diriNya sendiri hanya Bapa, sebagai sumber essensi keallahan, jikalau kehendak Bapa dan apa yang hendak Ia wujudkan adalah satu kesatuan, bukankah dengan demikian kehendak itu merupakan kehendak yang harus (necessity), tanpa kebebasan dan keberadaan Anak dan Roh Kudus merupakan keharusan?334

Di tengah-tengah permasalahan dan berbagai pendapat tentang Tritunggal, Arius adalah salah seorang yang mencoba mengemukakan pendapatnya, khususnya tentang relasi Bapa dan Anak. Ia menolak pandangan Adopsionisme, Modalisme dan Apollinarianisme, termasuk juga pandangan Origen. Bagi Arius, karena Kristus berasal dari Bapa, bagaimanapun hal itu akan berimplikasi bahwa Kristus adalah suatu ciptaan dalam waktu. Ia mengatakan, ada suatu waktu di mana Kristus tidak ada, karena itu Anak tidak dapat dikatakan sama kekalnya dengan Bapa. Bagi Arius sekalipun dipakai istilah "diperanakkan" bagaimanapun tetap mengandung pengertian ciptaan, karena di dalamnya mengandung pengertian kausalitas.

Teologia Arius ini kemudian ditentang oleh atasannya, Bishop Alexander. Alexander berpendapat bahwa Bapa dan Anak sama-sama kekal. Anak meskipun diperanakkan (ia memakai istilah gennetos), dan Bapa tidak diperanakkan (memakai istilah agennetos), ini tidak berarti Anak ada kemudian dibandingkan dengan Bapa, dan Anak mempunyai permulaan.

Pemakaian terminologi gennetos dan agennetos ini ditolak oleh Arius. Dengan tajam Arius mengoreksi pemakaian kedua kata ini. Kata gennetos dan agennetos ini harus dibedakan dengan istilah genetos dan agenetos. Kata genetos dan agenetos berasal dari kata kerja gignesthai, yang berarti to become; genetos berarti: that which has come into being; dan agenetos berarti that which has not come into being. Sedangkan kata gennetos dan agennetos berasal dari kata kerja gennan yang berarti to beget. Kata gennetos berarti: that which has a cause or source outside itself. Dan kata agennetos berarti that which has no cause or source outside itself.

Pada awal abad keempat, perbedaan dua bentuk kata ini sangat penting, namun kemudian diabaikan, juga penggunaannya dalam membicarakan tentang Tritunggal. Bagi Arius adalah mungkin bagi sesuatu atau seseorang dikatakan gennetos, yaitu begotten/caused by something or someone else. Tetapi tidak bisa dikatakan adalah agennetos (that which has never come into being because it always existed), karena hanya Allah yang dapat dikatakan agennetos. Sehingga bagi Arius, Anak diperanakkan (yang gennetos), pasti berarti genetos; tetapi Allah adalah agen(n)etos. Oleh karena itu Anak bukanlah seessensi/sesubstansi dengan Bapa; dan Anak tidak sama kekalnya dengan Bapa. Anak mempunyai permulaan yang disebabkan oleh Bapa. Arius mengatakan: "...before he was begotten or created or defined or established, he was not.... We say, 'the Son has a beginning, but God is without beginning."335

 KONKLUSI

Nampak dengan jelas bahwa permasalahan untuk menjelaskan hubungan Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) memberi implikasi adanya kausalitas sedangkan kausalitas tidak terlepas dari ide waktu. Baik pandangan Origen yang menjelaskan hal ini berdasarkan satu kesatuan kehendak dan keberadaan, Alexander dengan terminologi gennetos dan agennetos-nya maupun Athanasius dengan eternal generatition-nya, tetap tidak dapat terlepas dari adanya ide waktu dan kausalitas. Karena penjelasan tersebut mengandung ide tentang waktu, maka permasalahan di sini adalah permasalahan konsepsi waktu, yang tidak terlepas dari bahasa dan pemikiran manusia.

Berbicara tentang waktu dalam kekekalan secara epistemologis adalah tidak sah.336 Sebenarnya kita tidak dapat berbicara dan berasumsi tentang waktu dan kausalitas. TR telah mencetuskan dan memberi kontribusi konsepsi tentang waktu yang mendasar. Waktu tidak terlepas dari ruang, dan ruang tidak terlepas dari materi. Oleh sebab itu kita tidak dapat berbicara tentang waktu dalam konteks kekekalan, yaitu sebelum penciptaan materi, ruang (dan waktu). Jika kita tidak dapat berbicara tentang waktu berarti kita juga tidak dapat berbicara tentang kausalitas.

Jadi, pandangan Arius yang mengatakan adanya unsur waktu dan kausalitas dalam hubungan Bapa, Anak (dan Roh Kudus) tidak dapat dibenarkan. Permasalahannya disini adalah keterbatasan bahasa manusia untuk mengungkapkan hal-hal tentang Allah. Istilah "Anak Allah" dan "kelahiran" (generation) adalah istilah yang antropomorfis karena istilah ini terpaksa diambil dan diterapkan dalam structural sphere of the changing history of man. Oleh sebab itu penjelasan tentang relasi ketiga Pribadi dalam ketritunggalan Allah bagaimanapun harus bertolak dari asumsi bahwa Allah adalah kekal. Anak diperanakkan bukan dalam waktu (karena waktu adalah media perubahan). Kekekalan Anak (dan Roh Kudus) tidak dapat dijelaskan dengan sempurna dengan memakai bahasa dan pemikiran manusia, karena bahasa dan pemikiran manusia tidak dapat terlepas dari ide waktu.

Berdasarkan asumsi bahwa Allah yang menciptakan ruang dan materi maka adalah tidak sah secara epistemologis jika kita berbicara atau berasumsi tentang waktu sebelum penciptaan.



TIP #14: Gunakan Boks Temuan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh terhadap kata dan ayat yang Anda cari. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA