Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 >  YESUS KRISTUS DALAM TAHUN-TAHUN MISTERIUS > 
POTENSI DEBAT KRISTOLOGI 

Meskipun siswa-siswa Alkitab berdebat bahwa ketika Yesus mulai pelayanan boleh jadi yang terbaik adalah pada tahun 29 AD,261 namun barangkali yang membikin pusing adalah ketiadaan berita atau keterangan mengenai apa yang dikerjakan Yesus antara umur 12-30 tahun. Riwayat Yesus seolah-olah tersembunyi dan putus sama sekali sehingga menimbulkan kesan amat misterius. Sekarang, marilah kita tidak terperangkap melihat kesannya, melainkan kita harus sanggup mengungkap pesannya:

1. Apokrif atau Kanonik?

Wajarlah apabila Tuhan berdiam diri, sedangkan rasa ingin tahu manusia menggebu-gebu, maka spekulasi manusia akan berusaha mengisi masa yang kosong ini. Oleh sebab itu, dalam gereja mula-mula, muncul Kitab-Kitab Apokrifa, yang seolah-olah memberi keterangan terinci tentang bagian kisah Tuhan Yesus yang tidak diceritakan dalam keempat Injil yang kanonik. Lingkup Apokrifa Perjanjian Baru memang lebih sulit ditentukan daripada Apokrifa Perjanjian Lama. Profesor AF. Wall, ahli studi religi dari University of Aberdeen, tatkala memberi batasan pengertian pada istilah Apokrifa PB menuliskan bahwa "the teen will here be confined to non-canonical works attributed to, purporting to give extra-canasnical information about, Christ or the apostles".262 Isi Kitab Apokrifa PB khususnya penuh dengan cerita mengenai apa yang Yesus katakan dan lakukan ketika ia masih kecil.

Biasanya kisah-kisah Tuhan Yesus yang di Apokrifa itu dangkal dan dilebih-lebihkan. Dia digambarkan sebagai pembuat keajaiban-keajaiban yang tak berharga dan berguna. Misalnya, Ia mengubah teman-temanNya menjadi kambing dan membuat burung-burung dari tanah liat dan kemudian membuatnya terbang. Belakangan ini kita sering mendengar isu-isu serupa yang tak berdasar. Karya film The Last Temptation mengisahkan masa muda Yesus yang jatuh cinta dan berkencan dengan sang pelacur, Maria Magdalena. Bahkan Yesus ketika saat-saat terakhir disalibkan, tergoda berkhayal melakukan hubungan seksual dengannya. Ah, sebuah gambaran yang amat naif sekali!

Ada lagi yang berfantasi dan berimajinasi liar, bahwa sewaktu remaja Yesus senang melakukan tindak kenakalan kriminal ala remaja zaman sekarang atau sebaliknya malah tampil bagai superstar dan superboy yang menindak kejahatan. Tampil dengan profil demikianpun tentu amat ganjil!

Meski amat menarik, semua keterangan tersebut menunjukkan bahwa perkiraan liar manusia jauh dari sempurna. Kegagalan-kegagalan rekaan manusia memperingatkan kita untuk tidak memasuki Kitab Suci yang diselimuti "kabut" tebal, dengan dugaan dan perkiraan sendiri yang tak terkendali Semua perdebatan ini disebabkan oleh karena penafsir-penafsir Alkitab tidak rela mengontrol rasa ingin tahu dan imajinasi mereka, serta tidak bersedia takluk kepada Alkitab yang memang tidak banyak memberi informasi dalam hal-hal ini. Back to the Bible! Cukup kita mengetahui sebatas kesaksian Alkitab yang kanonik, karena "message" itu benar-benar diilhami oleh kuasa Roh Kudus (2Tim 3:16 dan 2Ptr 1:20-21). Kita perlu kembali pada semangat, motto dan prinsip para Reformator yang bersemboyan "Sola Scriptura".

2. Sketsa Kristologi Via Tradisi?

Walaupun kita tidak boleh berilusi dan berasumsi liar, kita tidak dilarang, bahkan berkewajiban mencari semua keterangan tentang Kristus yang otentik dengan cara menggali dan menyelidiki cara hidup secara umum dalam tradisi Yahudi, teristimewa pertumbuhanNya sebagai anak-anak sampai pemuda dalam tahun-tahun yang penuh teka-teki itu. Sebaiknya kita melontarkan dan mengajukan pelbagai pertanyaan saja, guna membantu mensketsa kehidupan Kristus secara padat, mantap dan bertanggung jawab.

Pertama, bagaimana proses pertumbuhan Yesus sebagai seorang manusia? Lewat Lukas 2:40-52, Harold L. Willmington menjawab tegas,

He increased in wisdom (mental maturity)

He increased in stature (physical maturity)

He increased in favor with God (spiritual maturity)

He increases in favor with man (social maturity)263

Beralaskan kenyataan itu, kita berani menyimpulkan bahwa proses kematangan dan perkembangan mental, jasmani, rohani, sosial dan moralNya sangat natural seperti pada umumnya anak laki-laki Israel lainnya.

Kedua, apakah Yesus pergi ke sekolah? Ada yang mengatakan tidak! Namun dalam arti tertentu boleh dikatakan bahwa Ia belajar dari guruNya yang pertama yaitu orang tuaNya sendiri. Ia juga belajar dari sekolah sinagoge lokal. Jadi, secara edukatif, Yesus menerima pendidikanNya di rumah tangganya sendiri, atau dari seorang rabi yang bertugas dalam rumah ibadat setempat. Perkataan "Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar" (Yoh 7:14-16) boleh kita referensikan dengan lembaga informal "rabbinical or religious schools" dalam masyarakat Ibrani.

Sebagai seorang insan biasa, Yesus juga perlu belajar. Ia tanpa ragu-ragu telah mempelajari beraneka ragam bahasa yang berkembang dan dipakai dalam lingkungan hidupNya. Adam Fahling membuktikan secara panjang lebar:

His language was undoubtedly the commonly spoken Aramaic; but He also knew Hebrew, for some of His Scriptural quotation refer directly to the Hebrew original. He was able to read; for in His disputes with the Pharisees and Sadducees He could, by appealing directly to Scripture, meet them on their own ground with challenge, so often repeated "Have ye not read?". And it seems that He could write. He also no doubt understood conversational Greek; for whenever He spoke to those who used that language, the Roman centurion, the Syrophenician woman, "the Greek who would see Jesus", and with Pilate, no mention is made of an interpreter. Whether He showed extensive familiarity with Latin we cannot say. A number of Latin words occur in His teaching. And on one occasion He referred to an inscription on a Roman coin. The use of these languages, however, does not at all presuppose a special training, but is easily accounted for in the life of a Galilean Jewish boy in a surrounding Greco-Roman world And if this Boy received any special school education, which is doubtful, at any rate we assume that it must have ceased soon after His paschal visit to Jerusalem.264

Mengingat begitu ketat pengajaran agama Yudaisme, diduga Yesus telah melalap habis buku bacaan The Testaments of The Twelve Patriachs, sekumpulan buku "non-canonical" yang berhubungan erat dengan kesaksian ke 12 anak-anak Yakub. Diperkirakan Yesus juga telah mengenal dengan baik isi warisan perjanjian Allah turun temurun dalam Kitab-kitab Sejarah, baik dari tulisan-tulisan maupun nabi-nabi Perjanjian Lama.

Apakah kita bila mengetahui aktivitas khas Yesus pada tahun-tahun permulaanNya? Dalam realitanya, kita tidak memiliki banyak kesukaran untuk menggambarkan seluk beluk global kegiatan Yesus pada usia 2-12 tahun. Kita harus mampu menyusun hari-hari Yesus dalam panorama suasana dusun Nazaret di Galilea 6 Ada petunjuk yang meyakinkan kita bahwa dalam asuhan penuh kasih yang diterimaNya di rumah orang tuaNya, termasuk pula asuhan disiplin, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Yahudi, tentu Yesus dilatih untuk bekerja keras. Ia harus menguasai dan mengusahakan ketrampilan yang diperlukan untuk membantu ayahNya, Yusuf, yaitu ketrampilan sebagai tukang kayu. Ia rajin belajar memakai alat-alat pertukangan. Ia pasti berpartisipasi menutupi kebutuhan sehari-hari rumah tanggaNya. Alasannya, Yusuf tidak disebut dalam sejarah masa kehidupan Yesus selanjutnya, maka pada umumnya orang berpendapat bahwa Yusuf sudah meninggal pada waktu Yesus masih muda. Setelah itu mungkin pemeliharaan rumah tangga dipikul Yesus sebagai putra sulung.

Mustahil Yesus bekerja tanpa disertai doa, baik sebelum atau sesudahnya. Kebiasaan doa dan saat teduh ini (Mrk 1:35) dibentuk sejak dini melalui pengaruh orang tuaNya yang amat saleh. Pujian yang dikidungkan ibu Yesus (Luk 1:46-55) tentang keberuntungannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang ibu yang begitu rohani, puitis dan patriotik. Ia adalah seorang yang gemar berikhtiar menelaah firman Allah, mengucap syukur dan berdoa Ini ternyata karena nyanyiannya penuh ide-ide PL dan mengambil polanya dari tokoh wanita Hana (1Sam 2:1-10). Yesus jelas bertumbuh dalam kasih ibuNya dan dengan segala ketulusan hati ayahNya. Yang penting di sini, kita tak perlu melukiskan orang tua Yesus secara berlebihan. Menganggap mereka "santo", bagai raja dan ratu sorga adalah perbuatan yang keliru.

Mengenai hal di atas, kita membaca dari ayat terakhir yang tercantum dalam perikop Injil Matius, tentang mimpi Yusuf (Mat 1:18-25) berbunyi begini: "Tetapi Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria sampai ia melahirkan anaknya laki-laki". Dari ayat ini tidak dapat disimpulkan apa-apa mengenai ada tidaknya hubungan seksual antara Yusuf dan Maria sesudah kelahiran Yesus. Namun persoalan ini diperdebatkan berabad-abad lamanya. Perdebatan ini menghasilkan sejumlah pendapat yang bervariasi. Orang-orang Protestan seringkali menerima kemungkinan adanya hubungan seksual antara Yusuf dan Maria. Orang-orang Katolik dan Ortodoks pada umumnya mempertahankan pendapatnya mengenai keperawanan Maria. Sementara itu sejumlah besar orang Kristen sama sekali tidak mengerti mengapa hal ini diperdebatkan.

Dasar perdebatan yang sudah berusia tua ini ternyata bersumber pada masalah bahasa asli saudara-saudara Yesus. Kesimpulan orang Protestan yang berdoktrin bahwa Yesus bersaudara kandung, baik laki-laki (Yakobus, Yosea, Yudas dan Simon) atau perempuan-perempuan yang tidak disebutkan namanya (Mrk 6:3 dan Yoh 7:3-5),265 seringkali berlawanan dengan ajaran resmi Katolik. Argumen para teolognya biasanya merumuskan bahwa "menurut bahasa Ibrani, kata saudara (ah) dapat diterapkan bukan hanya pada saudara yang sedarah melainkan juga pada setiap kerabat lainnya".266

Kita tak perlu terjebak pada perangkap persoalan yang ruwet dan rumit ini. Rasanya bukti-bukti yang disampaikan oleh pihak Katolik (meskipun kriteria pertimbangannya cukup logis) ternyata tetap masih lemah. Kembali pada catatan-catatan Alkitab, tentu kita akan berpegang teguh pada tradisi doktrin Reformasi (Martin Luther dan John Calvin) daripada tradisi Bapak-Bapak Gereja Kuno (Klemens dari Aleksandria, Origenes, Eusebius, dll). Bapak-Bapak Gereja yang disebut kuno ini acapkali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan saudara-saudara Yesus adalah anak-anak Yusuf dari perkawinan yang pertama. Pemecahan persoalan yang diusulkan oleh sejumlah Bapa Gereja itu terkesan mengada-ada dan dibuat-buat saja.

Barangkali tantangan yang lebih urgen lagi bukanlah mensistematikakan sketsa ajaran Kristus (Kristologi) via tradisi melainkan mencari apa yang menjadi relevansinya pada masa kini? Setelah kita mengetahui sedikit banyak siapakah Yesus yang sebenarnya, apakah makna teologis dan praktisnya bagi generasi ke generasi sepanjang zaman? Yesus harus mampu diterjemahkan dalam situasi kini dan di sini, serta tetap menjadi "jawaban" bagi dunia sampai pada akhir zaman.

3. Keyahudian Yesus

Ketika membaca laporan-laporan Injil, orang Kristen sering mencabut Yesus dari tanah Israel. Kita cenderung menghapus asal-usul YahudiNya, lalu me-YunanikanNya. Mengesampingkan dan mengelak asal-usul Yesus dari bangsa Yahudi adalah pendapat yang sangat keliru. Josh McDowell mengatakan:

Berulang-ulang kali keyahudian dan sifat keibranian itu muncul dan meresap dalam sekeliling permukaan catatan-catatan Injil. Namun pada mala lalu banyak sarjana Perjanjian Baru yang telah gagal menghubungkan segi kritik kehistorisan kehidupan Yesus. Kalau seseorang mau memandang siapakah Yesus yang sebenarnya adalah tatkala Ia melintasi tanah Palestina. Kemudian ia pasti tidak akan menganggap sepi bukti keyahudianNya.267

Pada hemat saya, seyogyanya tidak usah banyak orang Kristen yang protes apabila kita tegaskan sekali lagi bahwa cikal bakal Yesus secara jasmani memang berasal dari keturunan Yahudi. Banyak bukti yang bila kita bentangkan: Daftar silsilahNya kalau di urut kacang akan ditemukan nama-nama Yahudi, meski yang kafir juga ada (Mat 1:1-17 dan Luk 3:23-38).

Pesan Yesus dialamatkan terutama, malah mungkin secara khusus, kepada bangsa Yahudi. Lapangan kerja pelayanan Yesus terbatas pada sekitar Galilea dan Yerusalem. Hanya beberapa kali diceritakan, mengenai hubunganNya dengan orang-orang non Yahudi dan tentang kunjunganNya ke suatu daerah di luar Israel. Dan pada kesempatan itu Ia berkata bahwa diriNya diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari Israel (Mat 15:24). Yesus nyata menjadi apa yang telah dinyanyikan oleh Simeon tua dalam Luk 2:32; "Yaitu terang yang menjadi pernyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umatMu, Israel." Pangkal awalnya dikatakan bahwa keselamatan datang dari bangsa Yahudi (Yoh 4:22), ujung akhirnya pada peristiwa penyaliban dituliskan pengakuan Yesus Nazaret Raja Yahudi (INRI).

Idealnya, dalam kerangka pembahasan pokok ini, kita harus berani menyimpulkan bahwa Yesus adalah seorang Yahudi sejati dan Ia tetap akan demikian sampai akhir hayatNya di dunia. Penolakan, penghapusan dan peniadaan asal usul keyahudianNya oleh orang Kristen tentu akan berakibat pada hilangnya nilai-nilai kehistorisan Yesus yang murni dan asli. Kristus yang di situ nantinya hanya melulu mitologi, kalau tak boleh disebut imitasi atau palsu.

Dari konklusi teologis tentang asal-usul keyahudian Yesus, maka hendaknya perbincangan dan perkembangan Kristologi seharusnya bergerak kedua arah yang seirama dan sejalan. Pertama, Kristologi gerejawi harus tertantang untuk mengungkapkan bahwa Mesias telah datang tetapi telah ditolak sendiri oleh umat pilihanNya, bangsa Yahudi. Kita perlu berdukacita dan bersedih hati seperti Paulus, karena masih banyak orang Israel yang belum percaya kepada Yesus (Rm 9.261. Menurut orang Kristen, bangsa Israel "dibutakan", sebagaimana dikatakan oleh Paulus juga dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, pada waktu mereka membaca hukum Allah pikiran mereka terselubuug, sehingga mereka tidak mengerti apa yang patut diketahui (2Kor 3:14-16). Kita wajib terus berharap, berdoa dan berupaya agar "selubung" itu disingkapkan. Lewat Kristologi yang Alkitabiah, para teolog dan gereja harus merasa terpanggil membawa orang Yahudi pada pertobatan, betapa sulit dan tegarnya tengkuk mereka. Kedua, kita harus mengesahkan upaya-upaya mengkontekstualisasikan Kristus dalam berbagai budaya (meng-Eropakan, meng-Amerika-Latinkan, meng-Afrikakan atau mengIndonesiakan Kristologi), asal prinsip-prinsip ajaran tentang Kristusnya tidak diselewengkan dari berita asli Alkitab. Memandang Yesus ala Teologia Pembebasan, Teologia Hitam, Teologia Femina atau Teologia apa saja yang sejenis, adalah contoh konkret kesalahan para teolog yang berpandangan sempit dalam berkristologi.



TIP #20: Untuk penyelidikan lebih dalam, silakan baca artikel-artikel terkait melalui Tab Artikel. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA