Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 >  FINALITAS KRISTUS > 
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PRAKTIS YANG MUNCUL DARI AGAMA-AGAMA NON KRISTEN 

Pernyataan finalitas Kristus secara tak terelakkan lagi akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kita akan menilai agama-agama non Kristen: Fungsi dan makna mereka, di samping problema kelangsungan dan nilai kebudayaan yang terkandung dalam sistem-sistem keyakinan itu. Permasalahan ini bisa dianalisis dari sudut pandang teologis, sosio antropologis, dan psikologis.

Karena meskipun semua agama, selain agama dari Kristus, adalah palsu pada inti (pengajaran)nya, tidak memperkenan Allah, dan tak mampu menyelamatkan, akan tetapi di dalam agama tersebut terdapat suatu pengakuan yang tak disadari tentang Allah. Beberapa di antara agama-agama tersebut mengangkat tingkat kesadaran moral manusia akan Realitas yang Tak terlihat itu.162

Dari sudut teologis, apabila teologia didefinisikan sebagai fungsi dari suatu komunitas religius agama (yang olehnya melayani kebutuhan komunitas itu), lalu bagaimana seharusnya agama non Kristen dievaluasi oleh sistem Kristiani, setelah Kekristenan menegakkan finalitasnya? Sebenarnya pekerjaan "menilai" adalah sama saja dengan terlibat dalam suatu proses memberi pertimbangan dalam analisis filosofis. Pada saat evaluasi filosofis didefinisikan sebagai suatu pendekatan kognitif terhadap realitas di mana realitas itu sendiri adalah objek, maka hal ini menjadikan evaluasi itu sendiri sebenarnya tidak ada (atau tidak berlangsung) serta tidak memiliki suatu objektivitas yang berdiri sendiri. Sebagaimana telah kita diskusikan dalam permulaan dari artikel ini bahwa netralitas adalah tak mungkin dalam pembahasan filosofis, maka yang disebut "objektivitas yang berdiri sendiri" adalah tidak ada. Namun kenyataannya kita melihat bahwa ikut sertanya subjek penilai terhadap objek adalah selamanya tidak dapat dihindarkan. Oleh sebab itulah nilai dari agama non Kristen tidak boleh ditetapkan melalui pernyataan finalitas Kekristenan tetapi melalui analisis pernyataan intensif dan motif dari agama tersebut. Sebenarnya agama-agama non Kristen mempunyai nilai tersendiri di dalam pernyataan mereka tentang kesadaran ilahi yang umum ada pada makhluk insani. Demikianlah, ketika kita mempelajari agama (non Kristen), agama itu akan membawa kita berhadapan dengan Realitas yang paling Akhir dan finalitas wahyu Allah, dan bukannya membawa kita tersesat dari Jalan yang sejati. Seperti yang disebutkan H. Stob:

Oleh karena itulah agama-agama non Kristen masih bernilai sejauh mereka ikut menyaksikan tentang kebodohan/ketidaktahuan manusia dan wahyu akhir dari Allah di dalam Kristus. Kadang-kadang kita bahkan boleh menggunakan istilah dari Paulus dalam melukiskan Taurat, yakni bahwa mereka adalah penuntun yang akan membawa kita kepada pengakuan akan kebodohan kita serta mempersiapkan kita untuk menerima finalitas Kristus.

Dari segi yang lain, kita melihat ada begitu banyak nilai-nilai sosio antropologis di dalam agama-agama non Kristen. Walaupun mereka berakar di dalam sikap manusiawi yang secara meluas telah berdosa pada Allah, namun manusia tak pernah ada dari diri mereka sendiri, seperti yang dikatakan Paulus, "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak dan kita ada!" Karena itu kita percaya dalam wahyu umum dan anugerah umum yang menyediakan suatu cara yang baik bagi kita untuk melihat nilai sosio antropologis dan spiritual dari agama-agama non Kristen. Merangkumkan pandangan Kraemer, C. F. Hallencruetz menyatakan:

Ketika mengkomunikasikan Injil Kristiani, orang Kristen dapat "melepas" fenomena religius dari kerangka kerja tradisional mereka, sehingga mereka mampu merefleksikan atau mengekspresikan apa yang terkait dalam berita Kristiani; dan dengan demikian memadukannya di dalam konteks agama yang sangat berbeda yang dibangun Injil Kristiani tatkala ia menjadi pola yang utama dalam situasi religius.163

Orang Kristen tak boleh mengidentikkan Kebudayaan Barat dengan pemikiran Kekristenan. Memang benar Kekristenan membentuk peradaban Barat di dalam totalitasnya. Namun di dalam proklamasi Injil, tak seorang pun harus memberlakukan kebudayaan Barat atau tradisi-tradisinya sepertinya hendak menyingkirkan kebudayaan dan tradisi yang lain. Misionaris juga tidak perlu mencabut kebudayaan Lama sebagai suatu syarat untuk menaburkan benih Injil. Sebaliknya, dengan mengenali aspek sosio antropologis dari agama non Kristen, kita harus menahan diri dalam pemberitaan Injil Yesus Kristus serta membiarkan pendamaianNya memainkan peranan dalam hati orang percaya. Inilah karyaNya di dalam hati umatNya. Bangsa-bangsa adalah ladang-ladangNya. Dengan cara inilah finalitas Kristus selaku penyingkapan diri Allah akan menggantikan praanggapan-praanggapan kafir.

Sikap berhati-hati harus menjadi pegangan sewaktu finalitas Kristus dinyatakan di antara orang-orang yang mempunyai ikatan psikologis yang kuat terhadap individu-individu, keluarga, suku, etnisitas, atau keluhuran hubungan (keluarga) tertentu. Tuduhan yang dibawa oleh agama-agama non Kristen melawan Kekristenan adalah tanpa dasar. Namun terdapat banyak contoh di mana orang Kristen tidak lagi peka terhadap praktek keluhuran hubungan dari agama etnik tertentu, khususnya yang primitif dan yang berprinsip moral tinggi. Injil Kristus menuntut adanya keterikatan sepenuh hati kepada Kristus, dan di dalam konteks itu, harus ada kasih dan keadilan sejati baik bagi Allah maupun bagi manusia. Tak perlu mempergunakan sikap menyerang terhadap fakta dekatnya para petobat baru secara psikologis pada praktek-praktek lama. Kenyataannya adalah justru perasaan keterasingan membuat mereka cenderung berlindung dalam kumpulan orang, keluarga, suku-suku, dan etnisitas. Pembauran dari individu menuju pada kelompok yang lebih besar membuat manusia secara pribadi merasa lebih aman dan responsif. Jika seseorang dibawa ke dalam pemahaman akan Kekristenan dan pendamaian dari Kristus dalam arti yang sebenarnya, di sanalah ia akan melihat persekutuan yang nyata itu. Kristus adalah manusia yang riil itu yang di dalamNya kita harus dibaurkan. Problema emosional dan problema kedekatan psikologis boleh diuraikan melalui proklamasi finalitas Kristus secara wajar. Kristus menjanjikan Roh Kudus yang berdiam di dalam para pengikutNya justru untuk maksud itu. Kedekatan emosional seseorang lebih merupakan sesuatu yang menolong daripada sesuatu yang menghalangi proses pertumbuhan Kristiani. Pernyataan finalitas Kristus jangan sampai membuat manusia berpaling dari atau meninggalkan Kristus. Pernyataan itu malah seharusnya membuat mereka menyadari bahwa Kristus adalah pemenuhan dari kehausan religius mereka. Dialah jawaban yang telah diutus Allah bagi mereka.

Maka jelaslah bahwa hasil dari analisis sekunder menunjukkan fakta bahwa keberatan-keberatan terhadap finalitas Kristus bukan terletak di dalam aspek filosofis, sosiologis, antropologis, dan psikologis dari keberadaan manusia. Ia terletak di dalam level teologis dari penalaran manusia, yaitu level iman atau sistem keyakinan, yang daripadanya semua kegiatan manusia berdasar. Ini adalah suatu penolakan terhadap Realitas yang paling Akhir dengan berjanji setia pada realitas yang palsu! Tugas dari para apologet (pembela) Kristen tidak hanya bersifat menyerang pernyataan yang salah, tetapi untuk membawa mereka sampai pada pengenalan akan fakta yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka telah terkondisi lebih dulu oleh komitmen-komitmen non Kristen. Dari sinilah kita harus membiarkan mereka diperhadapkan pada kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Lebih dari itu, kita harus membiarkan Realitas Terakhir itu, yaitu Allah yang kita imani dalam Yesus Kristus berbicara sendiri.



TIP #30: Klik ikon pada popup untuk memperkecil ukuran huruf, ikon pada popup untuk memperbesar ukuran huruf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA