Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 6 No. 1 Tahun 1991 > 
TEOLOGIA KEBERHASILAN DAN KEMAKMURAN 
Penulis: Andi Halim148

Perkembangan teologia memang tidak pernah berhenti sepanjang manusia masih hidup di dunia ini. Ada perkembangan yang dianggap positif dan ada pula perkembangan yang dianggap negatif. Ada yang menganggap teologia sangat penting dan bahkan lebih penting dari firman Allah; ada pula yang menganggapnya sama sekali tidak penting dan bahkan bersikap anti terhadap teologia. Ada yang menganggap teologia hanya merupakan hasil ciptaan manusia yang mengandalkan rasionya. Bagaimana rasio yang berdosa dan terbatas dapat menganalisa dan menghakimi firman Allah? Bahkan, ada yang beranggapan bahwa teologia sama dengan hasil pekerjaan Iblis.

Memang tidak dapat disangkal bahwa ada teologia yang berkembang ke arah negatif dan bahkan isinya menentang kebenaran firman Allah sendiri, namun kasus tersebut tidak dapat menjadi patokan untuk menilai bahwa semua teologia pasti negatif. Misalnya, jika kita pernah mencicipi buah mangga yang kecut, itu tidak berarti semua mangga adalah kecut, sehingga kita tidak mau makan mangga lagi seumur hidup. Jika dikatakan bahwa teologia adalah ciptaan manusia, memang ada benarnya, namun perlu dicatat, tidak semua "ciptaan" manusia merupakan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Allah.

Teologia yang benar bertujuan agar kebenaran firman Allah (Alkitab) dapat disusun secara sistematis, disarikan dan membentuk suatu kerangka ajaran yang kuat dan teguh. Jadi, teologia mempunyai tujuan untuk menuntun setiap umat agar dapat lebih mengenal kebenaran firman Allah, dengan suatu kerangka pemikiran yang jelas, sesuai dengan maksud firman Allah itu sendiri.

Dengan keterangan di atas kita mengetahui bahwa seharusnya teologia itu tunduk di bawah otoritas firman Allah. Teologia bukan mengatur, merubah atau menghakimi Alkitab, tetapi teologia adalah hamba dari Alkitab. Teologia bertugas untuk menyaksikan apa yang telah diajarkan di dalam Alkitab tanpa mengadakan koreksi, mengurangi atau menambahi ajaran Alkitab. Jika ada teologia yang memberitakan apa yang Alkitab tidak ajarkan, menambahi atau mengurangi berita dan ajaran dari Alkitab, maka teologia itu sudah menyalahi fungsi, tugas dan tanggung jawabnya.

Teologia sebagai basil analisa (studi) manusia terhadap firman Allah (Alkitab) memang mempunyai dua kemungkinan sumber dasar. Di satu pihak ada yang bersumber pada kemampuan intelektual manusia (rasionalisme), pada perasaan manusia (romantisisme) dan pada pengalaman manusia (empirisisme). Semua sikap seperti ini jelas adalah sikap yang mau berdiri lebih tinggi dari Alkitab dan hanya berpusatkan pada kemampuan manusia (antroposentris). Sedang di lain pihak, ada yang bersumber pada firman Allah sendiri, sumber segala kebenaran, yang berotoritas, dan kekal.

Pengakuan iman bahwa Alkitab adalah firman Allah, menuntut konsekuensi penyerahan mutlak seluruh pikiran dan perasaan kita di bawah otoritas dan kedaulatan firman Allah. Faham seperti ini disebut teosentris, yaitu faham yang berlandaskan pada pengakuan bahwa Allah adalah pusat segala sesuatu dan bahwa Allah telah memberikan firmanNya agar menjadi landasan bagi setiap umatNya untuk mengenal jalan kebenaran dan mewujudkannya dalam kehidupan. Bila kita mau jujur mengakui keadaan yang sebenarnya, maka kita tidak dapat menyangkal, bahwa semua orang pasti memiliki pemikiran teologia, apapun profesi dan kedudukannya (bukan hanya pendeta saja yang berteologia). Bagaimana konsep seseorang tentang Allah, kasih Allah, hukuman Allah, pemeliharaan Allah, tentang doa, hidup suci dan sebagainya, semua itu adalah bentuk pemikiran teologia. Seorang anak kecil yang menganggap bahwa Allah itu begitu jauh, sehingga jika berdoa harus dengan suara yang sangat keras, maka anak ini pun sudah berteologia. Jadi, semua orang pasti berteologia, termasuk mereka yang anti teologia maupun yang mendewakannya, karena itu seharusnyalah semua orang sadar dan mau mengantisipasi bagaimana ia dapat berteologia yang benar.

Kebanyakan orang yang menilai negatif tentang hal-hal yang berhubungan dengan teologia mempunyai penilaian yang negatif pula terhadap setiap tindakan yang menggunakan akal budi manusia, khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Akal budi atau pikiran manusia dianggap hanya menghasilkan hal-hal yang melawan Allah, karena itu dalam beribadah mereka lebih condong mengandalkan perasaan hati ketimbang akal budi (pikiran) manusia, seakan-akan mengandalkan perasaan lebih rohani daripada menggunakan pikiran.

Memang tidak dapat disangkali bahwa pada kenyataannya rasio condong untuk memikirkan hal-hal yang negatif dan merusak, hal-hal yang bertentangan dengan firman Allah, namun demikian, bukan berarti manusia dilarang untuk menggunakan akal budinya, termasuk dalam beribadah dan mengenal kebenaran firman Allah. Alkitab tidak pernah mengajarkan supaya kita bersikap anti akal budi khususnya dalam beribadah kepada Tuhan. Akal budi justru adalah karunia Allah bagi kita agar kita dapat mengenal kebenaran dan kehendakNya (Roma 12:2; Matius 22:37). Yang Alkitab tegaskan adalah bukan supaya kita tidak menggunakan akal budi atau pikiran, tetapi supaya kita jangan mendewakan (bersandar, mengandalkan) pikiran kita yang serba terbatas dan penuh kekurangan ini (Amsal 3:5). Yang benar adalah pikiran dan perasaan kita perlu tunduk dibawah pimpinan Roh Kudus agar terus menerus diperbaharui oleh firmanNya yang hidup (Filipi 2:5; Kolose 3:2; Filipi 4:8; Efesus 4:23).

Allah adalah Allah yang menciptakan rasio manusia, dan tentunya Allah sendiri menghargai apa yang diciptakanNya. Yang dibenci Allah bukanlah rasio manusia, tetapi dosa yang mewarnai kerja rasio. Karena itu kita mengerti mengapa firman Tuhan menegaskan bahwa pikiran kita perlu diperbaharui saat demi saat.

 AJARAN-AJARAN TEOLOGIA SUKSES DAN KEMAKMURAN

Pada akhir abad ini sadar atau tanpa sadar mulai terlihat pengaruh yang tidak dapat diabaikan dari suatu gerakan di kalangan umat Kristen sendiri. Gerakan ini memiliki pandangan dan strategi yang jitu untuk meyakinkan sebagian umat Kristen bahwa menjadi orang Kristen berarti harus sukses dalam segala hal, makmur, kaya raya, tanpa penyakit, tanpa masalah hidup dan sebagainya. Ada yang membedakan antara sukses dan makmur. Dikatakan bahwa sukses berarti keberhasilan usaha, kerja, prestasi, dalam tujuan apapun; sedang makmur bersangkut paut dengan kekayaan, kesehatan, kebahagiaan, tanpa penderitaan, tantangan, kesulitan hidup, dan seterusnya. Namun dua hal tersebut sangat berkaitan erat sehingga kami akan membahasnya dalam satu kesatuan.

Pengajaran tentang Teologia Sukses dan Kemakmuran tumbuh dengan sangat pesat dan subur setelah bangkitnya gerakan kebangunan rohani (abad 18-20). Mereka menganggap bahwa pada zaman akhir ini pekerjaan Allah telah dicurahkan dengan lebih nyata, terbukti dengan dicurahkannya karunia Roh secara berkelimpahan, mujizat kesembuhan, penglihatan-penglihatan dan lain-lain. Pencurahan Roh Kudus dan karuniaNya merupakan tanda atau bukti bahwa Allah telah membuka kesempatan bagi setiap orang percaya untuk mengalami segala kesuksesan dan kemakmuran dalam seluruh aspek kehidupannya.

Dengan munculnya ajaran teologia yang bermacam-macam dari kalangan umat Kristen sendiri, sering orang bertanya mengapa bila Alkitabnya sama, ajarannya bisa saling berbeda dan bahkan bertentangan? Bila kita mau meneliti apa yang menjadi sebab timbulnya perbedaan-perbedaan dalam perkembangan teologia, bahkan sampai timbul pertentangan dan perpecahan dalam gereja, salah satu sumber utamanya adalah cara menafsirkan Alkitab. Tetapi, kebanyakan penganut Teologia Sukses berpendapat bahwa penafsiran tidak ada gunanya, yang penting adalah apa yang Alkitab katakan. Namun, mereka tidak sadar bahwa pada waktu kita membaca bagian apapun dari Alkitab mau tidak mau pasti kita melakukan penafsiran.

Menurut penganut Teologia Kemakmuran, Roh. Kudus adalah penafsir Alkitab yang bebas, tanpa batas. Apapun yang Roh Kudus katakan dalam hati kita (melalui ayat maupun "suara" langsung) adalah kebenaran, meskipun kebenaran tersebut sama sekali lain artinya dari konteks ayat yang sedang dibaca. Mereka beranggapan bahwa kebenaran Allah tidak dibatasi hanya "sebesar" kata-kata dalam Alkitab saja.

Dengan perkataan lain, dalam penafsiran mereka tidak menyelidiki secara konsisten. Mereka condong melakukan penafsiran yang subjektif, tidak memperhatikan latar belakang penulisan kitab yang sedang dibaca, maksud atau tujuan penulis menulis kitab tersebut, arti sebenarnya dari kata-kata dalam ayat yang ditafsirkan (tekstual), hubungan ayat sebelum dan sesudahnya (kontekstual), dan pengertian ayat tersebut dalam kesatuan seluruh ajaran Alkitab (kontekstual). Mereka mempunyai kecondongan yang kuat untuk menafsirkan ayat berdasarkan pada konsep-konsep yang sudah terbentuk dalam pikirannya, atau berdasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadinya atau kelompok favoritnya. Kebenaran Alkitab hanya ditekankan pada bagian-bagian tertentu saja, yaitu yang menunjang pendapat, perasaan atau pengalamannya. Di luar itu selalu dihindari, bahkan ada kecondongan untuk ingin memutarbalikkan ayat-ayat dalam firman Tuhan demi membela keyakinannya sendiri. Akibatnya, mereka hanya mau menerima segala yang cocok dan logis menurut analisa pikiran, perasaan dan pengalamannya sendiri, atau menerima segala konsep secara membabi buta dari pimpinan atau tokoh mereka. Dengan perkataan lain, sikap yang timbul adalah selalu memejamkan mata (menutup diri) terhadap segala pendapat atau pengalaman orang yang berbeda dengan dirinya atau di luar kelompoknya; orang yang di luar pendapat dan kelompoknya pasti dianggap kurang rohani, sesat atau bahkan dari setan!

Pada umumnya, penganut Teologia Kemakmuran berpegang pada doktrin Allah dengan atributNya yang tertentu saja. Pertama, yang mereka tekankan adalah bahwa Allah itu adalah Allah yang Mahakasih. Allah yang Mahakasih adalah Allah yang selalu merindukan anak-anakNya berbahagia. Allah tidak ingin melihat anakNya sengsara dan miskin. Tuhan yang Mahabaik dan penuh kasih pasti memberikan apapun yang diminta atau diharapkan oleh anak-anakNya. Jika anak-anakNya tidak mengalami berkat-berkat Allah, maka yang bersalah bukanlah Allah yang tidak mengasihi, tetapi manusia yang tidak mat meminta dan menerima berkat yang datang dari Allah. Menurut mereka, sukses atau tidak sukses, kaya atau miskin, sakit atau sembuh, bukan lagi ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh keputusan dan usaha manusia itu sendiri. Menurut versi mereka, Alkitab mengajarkan bahwa Allah menghendaki anak-anakNya meminta, pasti Allah akan memberinya (Matius 7:7). Permintaan itu harus dengan iman atau keyakinan yang kuat, barulah ada hasilnya (Yakobus 5: 16b). Bila doa itu tidak berhasil, maka kesimpulannya adalah iman orang yang berdoa itu kurang kuat (Yakobus 1:7-8), atau juga masih banyak dosa yang disimpan yang harus diakui saat itu (Yesaya 59:1-2), atau juga masih harus dilepaskan dari ikatan-ikatan dosa tertentu melalui doa pelepasan (Lukas 13:16; II Timotius 2:26).

Selain itu, Teologia Sukses mengajarkan bahwa Allah yang kita sembah bukanlah sekedar Allah yang kasih adanya, yang sama sekali tidak berkuasa menolong kita, tetapi Allah adalah Mahakuasa, apapun dapat dikerjakan dengan kekuatanNya. Allah yang berkuasa juga menghendaki anak-anakNya memiliki kuasa ilahi yang luar biasa seperti kuasaNya. Keberhasilan dalam segala bidang adalah kunci kesuksesan pelayanan pekabaran Injil. Tanpa kekayaan materi, tanpa kesembuhan, tanpa perbuatan supranatural, tanpa kesuksesan dan hidup yang makmur, tidak mungkin terjadi kemenangan dalam pemberitaan Injil. Karena itu, menurut anggapan mereka, setiap orang Kristen yang mau menjadi saksi yang sukses, harus mengalami kuasa Allah, baik di bidang rohani maupun sekuler; ia harus kaya raya, sehat walafiat, berkedudukan tinggi dalam perusahaannya, berhasil dalam dunia bisnis, studi dan sebagainya. Sekarang tinggal kepercayaan orang-orang beriman, apakah mereka mau sungguh-sungguh mengalami kemahakuasaan Allah yang mampu mengubah segalanya, apakah ia mau menjadi saluran kuasa ilahi yang akan diekspresikan dalam setiap peristiwa.

Selanjutnya, Allah yang kita sembah bukanlah sekedar Allah yang kasih, tetapi Allah yang Mahakaya. Jadi tentunya setiap anak Tuhan yang beriman (sebagai ahli warisNya) akan menerima kelimpahan dan kekayaan Allah yang tak terhingga. Kekayaan diartikan bukan hanya dalam lingkup rohani saja, namun termasuk juga dalam kekayaan materi. Karena, menurut mereka, bagaimana kita dapat menjadi saksi, bila kita hanya bisa berteriak-teriak bahwa kita adalah anak Allah yang kaya raya, penuh dengan kelimpahan berkat sorgawi, namun dalam kenyataannya kita miskin secara materi? Allah sama sekali tidak menghendaki kita miskin dalam hal apapun, termasuk dalam materi. Allah tidak ingin anak-anakNya dipermainkan karena kemiskinannya, karena dengan demikian akan mempermalukan Allah sendiri. Menurut mereka, firman Allah banyak menjanjikan kelimpahan dan kekayaan material bagi orang-orang yang mengasihiNya. Justru melalui kekayaan kita dapat menjadi saksi bagi orang yang belum percaya akan kuasa pemeliharaan Allah.

Menurut teologia ini, segala penyakit, kemiskinan dan kesengsaraan berasal dari Iblis. Allah yang baik adalah Allah yang tidak menghendaki anak-anakNya menderita sengsara karena berbagai macam penyakit, problema kehidupan, kecelakaan dan yang lain. Karena itu setiap penyakit, kesusahan dan musibah yang timbul selalu dihubungkan dengan adanya dosa-dosa dari penderita. Menurut mereka, orang yang dekat dengan Allah akan dijauhkan, dibebaskan dari segala bencana dalam hidupnya. Orang yang murtad dari Allah akan menerima hukuman dan kutukan dari Allah.

Buktinya adalah Allah memang memberkati orang-orang yang setia kepadaNya seperti misalnya Abraham dan Salomo yang kaya raya. Kehidupan Abraham dan Salomo yang sukses dalam segala usahanya menjadi asar ajaran bahwa orang yang sungguh-sungguh taat kepada Tuhan adalah orang yang pasti mengalami berkat-berkat materi yang berkelimpahan. Makin ia dekat dengan Tuhan, makin besar berkat materi itu. Abraham disebut bapa orang beriman, sedang Salomo sebagai orang yang paling berhikmat, maka sewajarnyalah berkat materi yang berkelimpahan jatuh pada mereka. Demikian pula halnya dengan Yusuf. Kehidupan Yusuf yang taat kepada Tuhan mengakibatkan ia selalu mengalami keberhasilan, sehingga menduduki tempat yang sangat tinggi dalam pemerintahan di Mesir. Kesuksesan Yusuf ini menjadi landasan ajaran bahwa setiap anak Tuhan yang taat kepada Tuhan akan selalu sukses dalam segala usahanya.

Selain itu, Teologia Sukses juga memberikan contoh dari Elia. Pengalaman Elia (Yakobus 5:16-18) menunjukkan bahwa dengan iman kita dapat melakukan apa saja yang kita inginkan. Hal yang tidak mungkin menjadi kenyataan, hal yang impossible menjadi possible. Segala sesuatu tergantung dengan iman kita. Bila iman kita mengatakan "ya", maka terjadilah. Bila iman kita mengatakan "tidak", maka tidak terjadi juga. Belum lagi apabila kita melihat pada pengalaman Daniel dan teman-temannya, rasul Paulus dan Petrus, serta Tuhan Yesus.

 TANGGAPAN

Meskipun Roh Kudus adalah Allah yang bebas, namun Ia adalah Allah yang tertib. Tidak mungkin Roh Kudus memberi kita penjelasan yang keliru atau bertentangan dengan maksud firman Allah sendiri (Yohanes 14:26). Kebebasan yang sejati adalah kebebasan tanpa batas yang tetap memiliki batasan. Maksudnya, kebebasan yang sejati bukanlah kebebasan tanpa batas yang tidak memiliki norma-norma, garis-garis aturan, prinsip-prinsip dan sebagainya. Kebebasan yang sama sekali tidak memiliki batasan justru adalah kebebasan yang dikuasai kekacauan. Dengan demikian, kebebasan seperti itu bukanlah kebebasan yang sejati lagi.

Maka, apabila kita sebagai umatNya hendak mengenal Allah melalui Alkitab saja, hal itu sama sekali bukanlah bertujuan untuk membatasi Allah dan firmanNya sebesar Alkitab saja. Memang kebenaran Allah tidak mungkin dapat kita batasi hanya sebesar Alkitab saja, namun Allah justru mau dan perlu menyatakan diriNya sendiri sebatas penyataan Alkitab; dengan tujuan supaya manusia dalam keterbatasannya dapat mengenal Allah sesuai dengan batasan yang Allah sendiri kehendaki (Ulangan 29:29). Semuanya ini diperbuat Allah justru karena Ia mengingat keterbatasan manusia. Bila Allah mempertahankan ketidakterbatasanNya dan manusia diwajibkan untuk mengenal Dia dan kehendakNya, maka pastilah tidak ada seorangpun yang sanggup melakukannya.

Selanjutnya, berkenaan dengan konsep tentang "kesuksesan" dan "kegagalan", banyak orang beranggapan bahwa yang disebut berkat adalah segala hal yang "positif", yang "menyenangkan" hidup manusia, yang serba "sukses" dan "lancar". Sedangkan lawan dari berkat adalah hal-hal yang tidak menyenangkan kita, yang menghambat, yang menyakitkan, berupa kegagalan, kepahitan dan sebagainya, pokoknya segala yang "negatif. Namun apabila kita meneliti Alkitab, terlihatlah bahwa konsep kesuksesan menyangkut pengertian yang begitu luas dan kompleks. Memang benar Alkitab sendiri menyaksikan tentang berkat-berkat materi dan keberhasilan bagi orang yang mengasihi Allah. Tetapi, berkat itu tidak dapat ditafsirkan harus berupa hal-hal yang menyenangkan hati kita, atau berupa materi, atau keberhasilan dalam mencapai tujuan atau harapan yang kita inginkan. Alkitab juga mengajarkan bahwa berkat dapat juga berupa hajaran, kesengsaraan, bahkan yang lebih ekstrim dari itu, yaitu berupa "kegagalan". Alkitab mengajarkan bahwa tidak setiap "kegagalan" adalah benar-benar gagal, dan tidak setiap "kesuksesan" adalah benar-benar sukses. Alkitab pernah menyaksikan bagaimana orang beriman justru mengalami to malapetaka", sedang yang tidak beriman mengalami "sukses" (Mazmur 49:6-7; 73:3-5). Memang Tuhan Yesus beberapa kali menjanjikan berkat bagi orang-orang yang mengasihi Dia, yang mempersembahkan hidupnya untuk Allah (Matius 19:29). Namun, berkat sebenarnya yang dimaksud oleh Tuhan Yesus bukanlah sekedar berkat yang menurut ukuran duniawi, jasmaniah atau selera manusia.

Selain itu, di kalangan Teologia Sukses terdapat semboyan yang mengatakan bahwa orang Kristen adalah anak Raja yang Mahakaya. Jadi, dengan sendirinya setiap anak Tuhan yang sungguh-sungguh beriman harus menjadi orang yang kaya raya. Kemiskinan dianggap sebagai suatu kegagalan iman atau "kutukan" yang datang dari Allah. Dalam hal ini, Alkitab justru banyak memberikan peringatan bagi orang-orang kaya dan yang "ingin" kaya (band. Matius 19:23; I Timotius 6:9-10; Yakobus 1:9-10; Amsal 15:16). Sukses menurut ukuran dunia berarti harus makin kaya, makin makmur, makin berhasil dalam segala usaha, di luar hal itu adalah sama dengan kegagalan. Namun, Tuhan Yesus pernah berkata "Apakah gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?" (Matius 16:26). Jelas pernyataan Tuhan Yesus ini menunjukkan bahwa ukuran dunia tentang hal sukses tidak sama dengan ukuran Allah. Tentunya bukan berarti orang Kristen dalam segala hal harus kebalikan dari ukuran dunia, bukan berarti orang Kristen harus miskin semua, tidak sukses dalam segala usaha, selalu kena musibah dan sebagainya. Tetapi sukses bagi iman Kristen jauh lebih dalam artinya dari sekedar kaya, berhasil dalam usaha, selamat dari musibah kecelakaan, penyakit dan sebagainya.

Di pihak lain Alkitab menyaksikan bahwa Allah memperhatikan orang-orang yang miskin hidupnya (Keluaran 23:6; Imamat 14:21; Ulangan 15:11). Dalam Yakobus 2:5; Galatia 2:10; Kisah 6:1-6; Roma 15:26-27, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kemiskinan tidak harus merupakan hukuman akibat dosa-dosa manusia. Memang di satu sisi Alkitab menyaksikan adanya hukuman bagi seseorang yang melawan kehendak Allah. Hukuman itu dapat berupa penyakit, kecelakaan, kemiskinan atau juga kegagalan, namun tidak setiap penyakit, kecelakaan, kegagalan atau kemiskinan selalu merupakan hukuman Allah. Kemiskinan bukanlah identik dengan kutuk, dan kekayaan bukanlah identik dengan berkat. Rasul Paulus mengatakan bahwa asal kita dapat makan dan minum cukuplah demikian (I Timotius 6:8). Namun, bukan berarti orang Kristen menjadi orang yang pesimis, tidak ada perjuangan, menyerah pada keadaan. Alkitab menentang orang-orang yang malas dan tidak tertib kehidupannya (II Tesalonika 3:10-11).

Alkitab tidak melarang orang Kristen jadi kaya, berprestasi dan makin berkembang, namun keserakahan manusia itulah yang menjerumuskan seseorang kepada lumpur dosa yang mengikat (I Timotius 6:9-10). Orang Kristen yang sukses memang bisa kaya, tetapi di pihak lain ada orang Kristen tidak kaya tetapi "sukses". Kita bisa gagal menurut ukuran dunia, namun kita dapat tetap sukses di mata Allah. Rasul Paulus menyaksikan adanya jemaat yang mengalami kekurangan dalam keuangan, namun mereka dinilai "kaya" (II Korintus 8:1-5). Ada jemaat jemaat lain yang perlu dibantu karena sangat kekurangan (Roma 15:26), namun rasul Paulus sama sekali tidak pernah menilai, bahwa kemiskinan itu disebabkan karena mereka terdiri dari orang yang kurang imannya atau banyak dosanya.

Sedangkan, mengenai penyakit dan kesembuhan, Alkitab mengajarkan dua hal pada kita: pertama, tidak setiap penyakit disebabkan karena kita telah berdosa atau bersalah di hadapan Tuhan. Kedua, tidak setiap penyakit pasti disembuhkan oleh Tuhan, meskipun kita telah sungguh-sungguh beriman dan tanpa dosa. Rasul Paulus pernah meminta dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan agar penyakitnya ("duri dalam daging") dilepaskan dari diriNya; ternyata tidak dikabulkan oleh Tuhan. Apakah itu berarti rasul Paulus gagal di hadapan Allah (II Korintus 12:7-10)? Timotius yang terkena penyakit kronis pada pencernaannya dan tidak dapat sembuh-sembuh, apakah itu juga berarti bahwa Timotius gagal memperoleh berkat dari pada Tuhan? Berkenaan dengan penyakit Timotius ini, ternyata rasul Paulus sendiri menganjurkan agar Timotius minum "obat" (anggur). Bila rasul Paulus mempunyai konsep bahwa penyakit itu merupakan hukuman Allah karena dosa manusia, {**}mengapa rasul Paulus tidak menganjurkan Timotius untuk mengaku segala dosanya, serta berdoa saja mengharapkan pengampunan dan mujizat dari Tuhan? Apakah iman rasul Paulus saat itu sudah semakin luntur (I Timotius 5:23)?

Tentang orang yang buta sejak lahirnya, Tuhan Yesus menyatakan bahwa yang salah bukan dia sendiri atau orang tuanya, bukan karena dosa-dosanya, tetapi karena pekerjaan Allah yang mau dinyatakan (Yohanes 9:2-3). Ayub, orang yang tidak bersalah sama sekali, juga terkena musibah hebat dalam keluarga dan tubuhnya sendiri (Ayub 1:6-22). Yang harus diingat adalah bahwa kuasa Allah untuk menyembuhkan orang memang tidak terbatas. Kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apapun Allah sanggup untuk menyembuhkan segala penyakit. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah apakah memang Allah menghendaki kita disembuhkan? Apakah saat itu? Apakah dua tahun yang akan datang? Apakah tidak sama sekali?

Ada dua pertanyaan yang diajukan: bukankah Tuhan Yesus datang ke dunia ini untuk melenyapkan segala penyakit, penderitaan, kesusahan, kemiskinan, kebutaan, kelumpuhan, kegagalan dan lain-lain yang berbau negatif? Bukankah mujizat Tuhan Yesus masih dapat berlangsung sampai hari ini? Dalam hal ini kita harus jelas apa arti dan tujuan dari misi Tuhan Yesus datang ke dunia ini. "Merestorasi" dunia? Melenyapkan segala penyakit? Penderitaan? Kematian?

Tujuan Tuhan Yesus melakukan mujizat harus dilihat dalam konteks sejarah dan maksud Allah mengutus AnakNya yang tunggal. Tuhan Yesus adalah Mesias yang berulang kali dinubuatkan dalam PL. Mesias yang akan diutus oleh Allah itu adalah Mesias yang disertai tanda-tanda yang luar biasa. Karena itu mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus pada masa itu mempunyai tujuan. tertentu. Catatan khusus mengenainya antara lain: Pertama, sebagai tanda Mesias yang sejati yang diutus oleh Allah Bapa sendiri. Kedua, sebagai penggenapan nubuat PL yang telah dinyatakan jauh sebelum terjadi. Ketiga, sebagai pelengkap tugas dan misi Tuhan Yesus pada masa di dunia. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Allah mengobral kuasaNya sedemikian rupa dan otomatis sehingga dapat dipakai menurut keinginan atau kehendak kita setiap saat, dan semuanya tergantung pada kemauan kita, persis seperti orang mau memijat tombol mainan.

Seringkali yang kita baca di dalam Alkitab justru adalah kisah kegagalan tokoh-tokoh Alkitab tertentu. Kejadian dalam Kisah Rasul 7:54 dst. mengisahkan tentang Stefanus yang dilempari batu sampai mati. Tentunya dari sudut pandangan secara lahiriah, Stefanus adalah orang yang gagal, namun apakah ia gagal di mata Allah? Rasul Yakobus akhirnya tertangkap oleh Herodes dan dibunuh dengan keji. Apakah itu juga berarti ia gagal di hadapan Allah (Kisah 12:1-2)? Yohanes Pembaptis ditangkap oleh Herodes dan akhirnya kepalanya dipenggal. Bukankah hal ini menunjukkan kegagalan menurut ukuran dunia? Namun, apakah Yohanes sendiri gagal di mata Allah? Mengapa Tuhan Yesus sendiri yang tahu bahwa Yohanes dipenjarakan tidak mengambil inisiatif untuk menolong orang yang "jasa"nya cukup besar ini (Matius 14:10-12)? Dari sudut pandang mana kita dapat menyebut kasus di atas gagal atau tidak? Jawab yang benar jelas dari perspektif Allah. Apapun itu, bila memang adalah kehendak Allah, maka itulah artinya kesuksesan yang besar, meskipun hasilnya bertentangan dengan yang kita harapkan. Sampai hari ini masih banyak orang Kristen yang menderita di seluruh dunia ini. Banyak orang Kristen yang terlibat dalam gerakan Gereja di bawah tanah, yang akhirnya dibantai habis-habisan. Banyak pahlawan tanpa nama di pedalaman-pedalaman yang dipenggal kepalanya. Dari semua kegagalan itu apakah mereka juga gagal,di mata Allah? Mereka mati karena dihukum Allah atau karena mengikuti jalan Allah? Hanya Tuhan yang mengetahui jawabnya.

Tuhan Yesus pernah berkata kepada orang-orang yang mau mengikutNya bahwa burung mempunyai sarang, serigala mempunyai liang, sedangkan Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya (Lukas 9:58). Dengan ini Ia seakan-akan menggambarkan suatu penderitaan yang akan dialami oleh orang-orang yang akan mengikut Dia. Kalau kita mau melihat kehidupan Tuhan Yesus saat Ia masih berada di dunia, secara lahiriah sedikit sekali yang dapat disebut "sukses". Sebagai contoh, murid-murid yang dididik selama 31/2 tahun semuanya Tari bersembunyi pada saat Tuhan Yesus menderita ditawan oleh Mahkamah Agama; bahkan, setelah Tuhan Yesus bangkit pun mental mereka sama sekali tidak dapat diandalkan. Apakah hal ini menunjukkan kegagalan dari sistem pembinaan Tuhan Yesus, Guru yang Agung itu? Tuhan Yesus sebagai Anak Allah ternyata tidak dapat menunjukkan kehebatanNya secara lahiriah pada saat tergantung di kayu salib. Ia tidak mampu melepaskan diriNya dalam keadaan seperti itu. Secara kasat mata, Tuhan Yesus juga tidak mampu menunjukkan kebolehanNya dalam mengubah batu menjadi roti ketika menerima tantangan dari Iblis (Matius 4:3).

Para rasul juga mengajarkan bagaimana penderitaan akan dialami oleh orang yang telah percaya kepadaNya (Filipi 1:29; I Petrus 2:19-21; 4:12-16). Di dalam kitab Yakobus diajarkan bahwa pada saat kita menghadapi pencobaan kita menerimanya sebagai suatu kebahagiaan (Yakobus 1:2, dst.). Firman Tuhan berkata bahwa penderitaan yang kita alami saat ini tidak ada artinya apa-apa dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita kelak (Roma 8:18). Rasul Paulus di tengah-tengah penderitaannya di penjara sanggup menghibur jemaat Filipi dan menganjurkan agar mereka selalu bersukacita dalam segala hal (Filipi 4:4).

 KESIMPULAN

Penafsiran akan kehendak Allah dari dasar pemikiran Teologia Sukses adalah sama dengan penolakan terhadap keutuhan kebenaran firman Allah. Prinsip berpikir yang demikian adalah merupakan penyalahgunaan firman Allah. Alkitab dengan tegas menyatakan kesalahan dari dasar pemikiran teologia tersebut. Kuasa Allah bukanlah barang murahan yang dibuang-buang dan dapat dipakai dengan semau-mau kita, kapan saja dan di mana saja. Allah yang kita sembah bukanlah ilah yang dapat kita perintah atau peralat agar memenuhi seluruh keinginan dan selera kita. Allah bukanlah alat untuk memuaskan segala hawa nafsu dan keinginan kita. Allah yang kita sembah adalah Allah yang berdaulat, mempunyai kehendak yang sempurna, mutlak dan kekal.

Meskipun Matius 7:7; Yohanes 15:7b; Yakobus 5:16b serta Markus 11:24 menjanjikan akan doa yang pasti dikabulkan, namun kita tidak boleh melupakan integritas ajaran Kitab Suci. Ternyata I Yohanes 5:14 serta Yohanes 15:7a memberikan ajaran yang sangat penting tentang syarat doa yang berhasil. Doa kita sebenarnya tidak pernah dapat mengubah rencana Allah. Yang benar adalah justru mengubah kehendak kita sendiri sehingga makin searah dengan kehendak Tuhan. Kata-kata yang keliru yang seringkali diucapkan terhadap Tuhan adalah "ikut campur". Dari kata "ikut campur" ini membuat kesan seolah-olah yang punya urusan tentang segala di dunia ini hanyalah manusia, sedang Allah hanyalah ikut-ikutan saja di dalamnya. Padahal, bila kita melihat kesatuan ajaran Alkitab, disebutkan bahwa justru Allahlah yang berperan di dunia ini, dan Allah ternyata mau memakai (mengikutsertakan, memberi kesempatan) manusia untuk bersama-sama mencapai targetnya. Jadi, yang benar adalah bukan Allah yang ikut serta dalam pekerjaan kita, namun kitalah yang diikutsertakan dalam pekerjaan Allah di dunia ini. Betapa mulianya hak yang diberikan Allah kepada kita!



TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA