Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 > 
OIKUMENE DAN PEMAHAMANNYA MENURUT ALKITAB 
Penulis: Joppy A. Saerang

Aku berdoa: "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21).

Perkataan di atas merupakan satu doa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus untuk gereja dan ini dijadikan landasan dari gerakan Oikumene untuk mewujudkan satu gereja Kristen yang Esa di Indonesia.

Telah bertahun-tahun gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam P.G.I. (dahulunya DGI), berusaha mewujudkan apa yang telah menjadi tujuan dasar PGI yakni pembentukan satu gereja Kristen yang esa di Indonesia. Tujuan ini telah dicanangkan 35 tahun yang lalu. Dari segi waktu memang sudah dalam waktu yang cukup panjang, namun tujuan yang dirindukan untuk terwujud sampai sekarang belum kunjung tiba. Apa yang telah berhasil diperbincangkan dan dirumuskan dalam satu anggaran dasar, ternyata tidak mudah untuk diwujudkan dalam realitas. Mengapa? Jika ditelusuri, maka ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan. Di samping masih terdapat perbedaan pendapat mengenai Oikumene di antara gereja-gereja, juga ada keengganan dan keraguan terhadap motivasi dari gerakan ini. Oleh sebab itu mungkin perlu dikaji kembali akan tujuan yang sudah dicanangkan itu, apakah itu masih relevan, terlebih lagi apakah itu sesuai dengan Alkitab. Tulisan ini selanjutnya akan memaparkan sekelumit mengenai gerakan Oikumene dan kemudian mencoba memahaminya dari kaca mata Alkitab, yang diharapkan nantinya akar, membantu gereja sehingga mempunyai pandangan yang utuh dan dapat menentukan sikap dengan tepat.

 1. APA ITU OIKUMENE?

Usaha-usaha oikumenis telah dijajaki oleh gereja-gereja anggota PGI untuk terwujudnya gereja Kristen yang esa di Indonesia. Dan nampaknya istilah Oikumene bukan lagi suatu hal yang asing, bahkan menjadi satu mode dalam suatu kegiatan di antara beberapa gereja. Jiwa Oikumenis sering diungkapkan dengan mengadakan suatu perayaan hari besar Kristen, seperti: Paskah dan Natal bersama, dsbnya; sehingga ada sebagian orang mengidentikkan kegiatan secara bersama-sama itulah Oikumene. Segala usaha berupa pertemuan, konsultasi, rapat dan mengadakan proyek secara bersama-sama itu sudah menyatakan kesadaran Oikumenis. Di sini jelas kesadaran Oikumenis hanya dilihat secara lahiriah berupa kegiatan-kegiatan.

Ada sebagian orang melihat Gerakan Oikumene sebagai suatu usaha untuk menyatukan seluruh gereja, dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu kuasa administratif. Pendek kata, menjadikan satu semuanya (uniformitas). Hal ini berarti seluruh gereja, dengan berbagai latar belakang, berlainan suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi dileburkan menjadi satu. Akibatnya satu pihak, orang kecewa karena sampai begitu jauh dan lama tidak ada tanda-tanda peleburan jadi satu gereja Kristen yang esa di Indonesia. Pada pihak lain, ada orang yang kuatir dan menjadi takut jika seluruh gereja harus meleburkan diri menjadi satu gereja. Hal ini akan berarti setiap gereja akan kehilangan identitasnya. Maka ada, sebagian gereja mengambil jarak dalam mengikuti gerakan Oikumene. Selama keputusan bersama menguntungkan, maka akan ditaati. Jika tidak sesuai dengan selera dan pendapat, maka akan saling berjalan sendiri-sendiri.

Sebenarnya gerakan Oikumene bukanlah soal menguntungkan atau merugikan; bukan pula suatu target tertentu, di mana gereja-gereja hanya bersikap memenuhi porsi kewajiban masing-masing untuk memenuhi target itu. Tetapi Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama.9 Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja. Dengan kesadaran ini mendorong gereja-gereja berjalan bersama-sama pada satu jalan, menampakkan kesatuan gereja Yesus Kristus di dunia ini. Pemahaman ini masih bersifat umum, untuk itu selanjutnya perlu penelahan lebih khusus dari perspektif Alkitab.

 2. AWAL MULANYA OIKUMENE

Seperti halnya dengan kekristenan di Indonesia yang merupakan "barang impor" dari Eropa, demikian juga dengan Oikumene. Oikumene merupakan warisan dari gereja-gereja di Eropa yang kemudian mendarat di bumi Indonesia. Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai?

Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya.10 Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Nanti pada konperensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa.11 Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda.

Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order. Dewan ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia.

DGD (Dewan gereja-gereja sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene, memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konperensi persiapan pembentukan DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI11 (setelah SR X th. 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan Oikumene. Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di Indonesia.

 3. KEPELBAGAIAN ARTI KEESAAN GEREJA

Berbicara perihal Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja. Sebab Oikumene dan Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari gerakan Oikumene adalah perwujudan Keesaan Gereja.

Dalam sejarah perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia yang memakan waktu yang panjang, maka di dalamnya juga pengertian 'keesaan' mengalami berbagai perkembangan. Hal ini dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan rapat BPL PGI yang sudah diadakan.

Wujud keesaan yang dirindukan dan yang berhasil ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja dengan mempunyai wadah bersama di tingkat lokal, wilayah dan nasional yang dapat berunding, mengambil keputusan bersama; dengan mempunyai satu pengakuan iman dan tata gereja yang berlaku bagi semua; serta setiap gereja saling menerima, saling mengakui sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja Tuhan yang kudus dan am. Namun rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih menekankan organisasi daripada kesatuan dalam paham atau ajaran.12 Oleh sebab itu ada beberapa gereja yang menolak pandangan ini, sehingga paling tidak masih ada dua pandangan lain yang berbeda mengenai keesaan gereja, yakni:

3.1. Keesaan Gereja itu secara rohani

Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan arti gereja yaitu adanya gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam Kristus. Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani.

3.2. Keesaan gereja terletak dalam berkata dan berbuat

Seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain, kesatuan dalam karya/tugas sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang beriman atau kesatuan gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh Kristus di dalam doaNya, maka itu terletak di dalam berkata-kata dan berbuat seperti apa yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.13

Pandangan mengenai keesaan gereja ada bermacam-macam. Maka Lukas Vischer seorang tokoh Oikumene Internasional dalam tulisannya mengungkapkan masih ada berbagai pandangan yang berbeda mengenai keesaan gereja (Lukas Vischer, Drawn and Held Together by Recorciling Power of Christ-Faith and Order, Paper 69, hal. 13-14).

 4. APA KATA ALKITAB

Ada segudang pandangan mengenai Oikumene. Jadi mana yang benar? Tak mudah untuk segera mendapat jawaban tetapi yang pasti dalam memahami Oikumene dengan benar maka Alkitablah harus menjadi satu-satunya tolok ukur. Maka sampailah pada pembicaraan yang seharusnya menjadi fokus dalam tulisan ini yakni bagaimana Oikumene dipahami dalam perspektif Alkitab. Namun dalam mengungkapkan secara menyeluruh kekayaan Alkitab dan pernahaman teologis mengenai Oikumene adalah terlalu luas untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu pembahasan selanjutnya akan dibatasi dengan hanya melihat penggunaan istilah Oikumene dan meneliti beberapa bagian Alkitab yang membicarakannya serta implikasinya bagi gereja.

4.1. Istilah Oikumene

Oikumene sebenarnya sebuah istilah dalam bahasa Yunani, 'oikos' yang berarti: rumah, tempat tinggal; sedangkan 'menein' berarti: tinggal atau berdiam. Pada dasarnya kata Oikumene sama sekali tidak ada hubungan atau bersangkut paut dengan gereja. Karena yang dimaksud dengan kata Yunani ini adalah dunia yang didiami dalam pengertian politis. Jadi istilah Oikumene sebenarnya berasal dari suasana politik, lalu dipindahkan ke dalam situasi gereja.

Dr. W.H. Visser't Hufft mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di dalam sejarah, yaitu Oikumene adalah seluruh dunia yang didiami; seluruh kekaisaran Roma; gereja seluruhnya; gereja yang sah; hubungan-hubungan beberapa gereja atau orang Kristen yang pengakuannya berbeda-beda; usaha dan keinginan untuk mendapatkan keesaan Kristen.14

Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan beberapa kali. Dalam septuaginta, kata Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadang-kadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1, bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan P.B. itu sendiri. Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara teologis penuh, yaitu seluruh dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh dunia/oikumene (Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17, band. Lukas 21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas 4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5; Wahyu 3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas.15 Jadi sebenarnya secara harfiah arti istilah Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda dengan yang diartikan oleh Gerakan Oikumene dewasa ini.

4.2. Keesaan menurut Yohanes 17:20-26

Tujuan utama Gerakan Oikumene yakni terwujudnya keesaan gereja. Dan sebagai landasan Alkitabnya sering menggunakan Yohanes 17:21. Tetapi apakah memang Keesaan Gereja yang telah dirumuskan itu sesuai dengan Yoh. 17:21?

Ada beberapa bagian Alkitab yang ada sangkut pautnya membicarakan mengenai keesaan gereja. Salah satu di antaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20-26. Bagian ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang percaya/gereja yang universal. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan kemuliaan Ilahi.16

Tetapi apa yang dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya dibandingkan dengan kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a). Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan merupakan suatu analogi. Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak. Namun selanjutnya kesatuan yang dimaksud dalam doa Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan dalam dua cara; yaitu:

1. Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan Anak ada dalam kekekalan. Keduanya ini jelas sifat dasar kesatuan antara Bapa dan Anak yang rohani dapat bersatu menghadapi dunia ini. Ketika orang percaya bersatu dalam iman mereka ini, maka mereka mempunyai kuasa dan pengaruh dalam menghadapi dunia.17

2. Kesatuan yang diutarakan oleh Berkouwer, yaitu yang dimaksud dalam bagian ini (Yoh. 17:21), bukan 'kesatuan yang mistik' atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi kesatuan kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak, yang dapat dilihat oleh tiap-tiap orang.18

Kedua cara/pandangan di atas mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan di antara orang percaya dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih dahulu ada kesatuan kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang percaya perlu suatu perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal keyakinan pada dasarnya adalah rohani; dan kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah rohani (I Kor. 1:2,9; 12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan/perwujudan dalam kehidupan (band. Efesus 4:1-6).

Tuhan Yesus dalam doaNya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada dasarnya adalah rohani, namun hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh tiap-tiap orang. Pembahasan lebih lanjut akan menelaah mengenai kesatuan (kesatuan diartikan sama dengan keesaan, hal ini diterima oleh kebanyakan tokoh gereja hingga saat ini) di antara orang percaya.

Kesatuan di antara orang percaya hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus (Yoh. 17:20). Kesatuan di antara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan (ay. 17-19), kemuliaan (ay. 22,24) dan kasih (ay. 23,26), semuanya untuk dapat dilihat orang (ay. 21,24).

Bapa dan Anak secara zat/esensi adalah satu (Yoh. 10:30), sehingga apa yang Bapa miliki juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15). Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada manusia, maka itu tidak akan berarti dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus yang mulia harus datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14; band. Yoh. 17:24). Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di atas kayu salib (Yoh. 3:14-17; band. Fil. 2:8). Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada manusia (Yoh. 14:9-10). Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Allah Bapa, dan sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu diwujudkan melalui perbuatan-perbuatanNya (Yoh. 14:11). Segala sesuatu yang Kristus lakukan dan katakan semuanya sesuai dengan kehendak Allah Bapa (Yoh. 8:28; 14:24).

Jikalau kesatuan orang percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21), maka kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan Firman Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan Allah. Kesatuan di antara orang percaya/gereja akan terwujud jikalau orang percaya/gereja melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru Selamat (ay. 21,23). Berhubungan dengan kemuliaan, jika orang-orang percaya menyatakan kemuliaan Kristus, maka ini akan menghasilkan kesatuan asasi.

Pemahaman tentang kesatuan di antara orang percaya/gereja di atas, hampir sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu, adalah terletak dalam berkata dan berbuat seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak: Perkataan dan perbuatan mereka harus mendemonstrasikan Firman dan karya Kristus dan Bapa. Di situlah mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua itu terjadi, maka dunia akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus Kristus untuk menyelamatkan dunia ini. Berdasarkan hal ini, maka tidak benar untuk menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yoh. 17:20, 21, sebagai amanat untuk mendirikan satu gereja yang esa.19

4.3. Keesaan menuju Kedewasaan Iman

Orang Kristen dipanggil untuk mendemonstrasikan perbuatan yang sesuai seperti difirmankan Tuhan sehingga tercipta kesatuan asasi. Namun bagaimana itu dapat terwujud dan apakah itu menjadi tujuan akhir?

Dalam meneropong hal ini, Firman Tuhan akan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di mana bagian ini juga sering dipergunakan para ahli/tokoh Oikumene dalam membahas mengenai Keesaan Gereja.

Keesaan (=kesatuan) gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus (ay. 2-3, band. I Kor. 12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata, terlihat melalui persekutuan di antara orang percaya.20 Dalam mencapai keesaan di antara orang percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah kerendahan hati (ay. 2). Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang untuk lemah lembut dan sabar; selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena kasih itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang lain (I Kor. 13:4-7).

Kesatuan di antara orang percaya/gereja bukan merupakan tujuan akhir, melainkan kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh Kristus. Jadi keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12). Kesatuan dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dalam perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus, supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan dalam kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan iman (Ef 4:13-16).

 5. BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP GEREJA?

Di dunia Internasional dan secara khusus di Amerika Serikat, gereja menjadi anjang pergulatan pengaruh antara golongan Oikumene dan golongan Injili. Dan ini dampaknya juga dirasakan dan terjadi jadi di antara gereja-gereja di Indonesia.

Pihak golongan Oikumene melihat golongan Injili terlalu eksklusif dan pistis. Sebaliknya golongan Injili menilai golongan Oikumene adalah liberal dan telah terseret serta menyimpang dari panggilan gereja yang sebenarnya. Jadi bagaimanakah seharusnya sikap gereja? Oikumene atau Injili?

Golongan Injili mulai menjauhi gerakan Oikumene dan membuat organisasi/kubu sendiri (di Indonesia menyebut diri PII), karena menyadari gerakan Oikumene telah menyimpang dan menganggap tujuan Gerakan Oikumene itu utopis dan tidak realistis. Sebaliknya golongan Oikumene lebih luwes sikapnya (khususnya di Indonesia) dan mencoba mendekati bahkan jika dapat merangkul golongan Injili untuk bekerja sama dalam pelayanan.

Dalam perkembangan Gerakan Oikumene di dunia Internasional memang terjadi pergeseran dalam tujuan dan cara kerjanya. Namun jika menyimak melalui sejarah, perintis Gerakan Oikumene adalah John R. Mott yang merupakan pendiri Badan Misi Dunia. Dan bahkan William Carey 'Bapak Misi Modern' merindukan adanya kesatuan di antara para pemimpin Kristen dan semua denominasi di dunia.21 Jadi Gerakan Oikumene sebenarnya dirintis oleh tokoh Injili. Dan dapat dikatakan bahwa gerakan Oikumene lahir dalam misi. Jadi menjadi jelas bahwa Gerakan Oikumene dalam arti yang benar dan misinya semula mempunyai hubungan erat dengan golongan Injili.

Gerakan Oikumene di Indonesia agak berbeda perkembangannya dengan Gerakan Oikumene di dunia Internasional. Beberapa gereja yang ikut dalam Gerakan Oikumene juga ada dari golongan Injili. Namun tanda awas harus diberikan kepada Gerakan ini yaitu agar jangan sampai Gerakan Keesaan menelan seluruh perhatian gereja, sedangkan aspek lain (baca: penginjilan) diabaikan.

Penginjilan merupakan suatu ujian bagi gerakan Oikumene. Tugas gereja yang paling urgen adalah penginjilan. Maka gereja-gereja seharusnya bekerja sama, bersatu untuk penginjilan. Dalam proporsi yang benar, maka gereja itu seharusnya Injili dan juga Oikumene.

 KEPUSTAKAAN

Abineno, j. I. Ch, Gereja dan Keesaan Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta (t.t)

Darmaputera, Eka, Berbeda tapi bersatu, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1974.

Goodall, Norman, The Ecumenical Movement, Oxford University Press, London, 1966.

Guthrie, Donald (ed), Tafsiran Alkitab Masa Kini, BPK, Jakarta, 1981.

Hadiwijono, Harun, Supaya mereka semua menjadi satu, Berita Oikumene, Nopember 1981.

Harrison, Everett F, Baker's Dictionary of Theology, Baker Book House, Grand Rapids, Michigan, 1978.

Hendriksen, William, The Gospel of John, New Testament Commentary, The Banner of Truth Trust, London, 1973.

Hogg, William, Ecumenical Foundations, Happer & Brothers Publishers, New York, 1952.

Jones, D. Martyn Lloyd, Christian Unity, an Exposition of Ephesians 4:1-16, Baker Book House, Grand Rapids, Michigan, 1980.

Morris, Leon, The Gospel According to John, Eerdmands, Grand Rapids, Michigan, 1973.

Pilon, P.K, Ut Omnes Unum Sint, B.P.K, Jakarta, 1973.

Rouse, Ruth, Stephen Charles Neil, (ed), A History of the Ecumenical Movement, 1517-1948, The Westminster Press Philadelphia, 1967.

Ukur, f; F.L. Cooley, (ed), Jerih dan Juang, Lembaga Penelitian Studi DGI, BPK, Jakarta, 1979.



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA