Di antara upacara gerejawi yang ada, Salah satu upacara yang paling pelik yang harus ditangani seorang hamba Tuhan adalah upacara kematian dan penguburan. Bukan cuma masalah teknis, tetapi sebenarnya hamba Tuhan terlibat juga dalam masalah teologis antropologis, eskatologis, bahkan sosiologis. Bila kita ingin mengenal konsep seorang hamba Tuhan dalam aspek-aspek teologis tertentu, hadirilah upacara kematian dan penguburan yang dipimpinnya. Dalam banyak hal seorang hamba Tuhan bisa dimaafkan, tetapi sulit apabila kegagalan dilakukan dalam pelayanan yang berkaitan dengan orang meninggal dunia. Apa yang kita perbuat bagi orang yang dirundung duka akan sangat dihargai dan dikenang.
Kematian seseorang biasanya menimbulkan beberapa hal yang umum terjadi, antara lain berkumpulnya orang banyak, khususnya keluarga dan sahabat dekat. Di sinilah terungkap kadar kehidupan sosial, kekeluargaan, bahkan kehidupan rumah tangga orang itu. Dalam keadaan seperti itu sering terungkap misalnya seorang laki-laki yang dipandang sebagai panutan banyak keluarga ternyata pada kematiannya ia diakui sebagai suami dari beberapa istri dan ayah dari anak-anak yang tidak seibu. Kegaduhan terjadi karena semua merasa berhak mengatur upacara. Apalagi di antara mereka terdapat aneka konsep tentang kematian itu sendiri.
Bagi seorang hamba Tuhan, kondisi sosial dan materi orang yang meninggal jangan sekali-kali mempengaruhi motivasi pelayanan upac ara kematian itu (juga semua bidang pelayanannya!). Dituntut konsistensi bahwa apapun yang kita lakukan harus berdampak positif bagi penginjilan (ke arah luar) dan pendewasaan (ke arah dalam). Dari motivasi dasar ini segala tindakan yang menyangkut upacara harus ditangani sebaik-baiknya; bukan sekedar memenuhi tugas jabatan, bukan juga kewajiban sosial untuk memberikan penghiburan kepada orang yang sedang membutuhkan, seperti yang juga dilakukan oleh hampir semua orang di luar Kristus. Bentuk acara, khotbah, serta isi nyanyian dan lain-lain dibangun di atas dasar itu.