Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 > 
BILA ANGGOTA GEREJA MENINGGAL DUNIA 
Penulis: I. Made Mastra{*}

Di antara upacara gerejawi yang ada, Salah satu upacara yang paling pelik yang harus ditangani seorang hamba Tuhan adalah upacara kematian dan penguburan. Bukan cuma masalah teknis, tetapi sebenarnya hamba Tuhan terlibat juga dalam masalah teologis antropologis, eskatologis, bahkan sosiologis. Bila kita ingin mengenal konsep seorang hamba Tuhan dalam aspek-aspek teologis tertentu, hadirilah upacara kematian dan penguburan yang dipimpinnya. Dalam banyak hal seorang hamba Tuhan bisa dimaafkan, tetapi sulit apabila kegagalan dilakukan dalam pelayanan yang berkaitan dengan orang meninggal dunia. Apa yang kita perbuat bagi orang yang dirundung duka akan sangat dihargai dan dikenang.

Kematian seseorang biasanya menimbulkan beberapa hal yang umum terjadi, antara lain berkumpulnya orang banyak, khususnya keluarga dan sahabat dekat. Di sinilah terungkap kadar kehidupan sosial, kekeluargaan, bahkan kehidupan rumah tangga orang itu. Dalam keadaan seperti itu sering terungkap misalnya seorang laki-laki yang dipandang sebagai panutan banyak keluarga ternyata pada kematiannya ia diakui sebagai suami dari beberapa istri dan ayah dari anak-anak yang tidak seibu. Kegaduhan terjadi karena semua merasa berhak mengatur upacara. Apalagi di antara mereka terdapat aneka konsep tentang kematian itu sendiri.

Bagi seorang hamba Tuhan, kondisi sosial dan materi orang yang meninggal jangan sekali-kali mempengaruhi motivasi pelayanan upac ara kematian itu (juga semua bidang pelayanannya!). Dituntut konsistensi bahwa apapun yang kita lakukan harus berdampak positif bagi penginjilan (ke arah luar) dan pendewasaan (ke arah dalam). Dari motivasi dasar ini segala tindakan yang menyangkut upacara harus ditangani sebaik-baiknya; bukan sekedar memenuhi tugas jabatan, bukan juga kewajiban sosial untuk memberikan penghiburan kepada orang yang sedang membutuhkan, seperti yang juga dilakukan oleh hampir semua orang di luar Kristus. Bentuk acara, khotbah, serta isi nyanyian dan lain-lain dibangun di atas dasar itu.

 SEBELUM PENGUBURAN

Kematian seseorang bisa saja terjadi bagaikan sudah dipersiapkan sebelumnya. Sakit berkepanjangan dan usia sangat lanjut menyebabkan kepergian seseorang dianggap sebagai hal yang memang sudah waktunya. Kematian dianggap sebagai "penolong". Sebaliknya, tak jarang maut dianggap sebagai "perampok bengis yang kejam", mencegat tidak pada waktu dan tempat yang diharapkan. Bagaimanapun juga, rasa kehilangan muncul dan suasana kacau berkecamuk. Beberapa hal di bawah ini minimal dapat dilakukan:

1. Ketika mendengar peristiwa kematian seseorang, hamba Tuhan tidak perlu berkomentar ataupun menunjukkan rasa aneh, sebelum ia melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

2. Sedapat dan secepat mungkin hubungilah Majelis Jemaat yang mengurus soal-soal kematian agar hal-hal praktis bisa ditangani, seperti: peti mati, surat-surat, foto orang yang meninggal, perlengkapan, pemberitahuan kepada jemaat, dll.

3. Hamba Tuhan hadir segera setelah mendengar berita kematian tersebut. Kehadirannya itu sendiri sudah berarti banyak bagi orang yang berdukacita, setidaknya simpati. Apapun yang terjadi dalam kunjungan awal ini harus siap dihadapi. Bisa saja suasana histeris, shock, cara mati yang tak wajar, dan lain sebagainya. Dibutuhkan hikmat menghadapi segala hal itu namun tetap dengan mulut yang tidak banyak bicara. Apabila yang meninggal adalah orang Kristen, jika memungkinkan berdoa sejenak akan sangat berarti.

4. Susunlah jadwal acara dengan orang yang paling berwewenang dari anggota keluarga yang ditinggalkan, biasanya dengan anak yang paling tua (kalau yang meninggal adalah orang tua) atau dengan istri/suami yang ditinggalkan. Keputusan yang diambil dalam perundingan dengan orang yang tidak berwewenang akan menimbulkan kekacauan yang memalukan nama Tuhan. Dalam menyusun rencana acara jangan memaksakan keinginan diri. Jangan mengorbankan prinsip Alkitabiah serta efektivitas menjangkau sasaran melalui upacara tersebut. Perlu ditegaskan bahwa upacara tersebut dilakukan secara kristiani oleh Gereja.

 WAKTU PENGUBURAN

1. Adalah sangat berarti apabila hadirin diingatkan bahwa kebaktian itu diadakan bukan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Bagi kebanyakan hadirin justru hal itu mengundang perhatian, yang apabila dimanfaatkan bisa memasukkan pengertian baru bagi orang yang mendengar firman Tuhan.

2. Sulit dicari kesempatan yang lebih baik untuk PI dan pendewasaan iman kecuali momentum seperti ini. Bukannya tidak mungkin kacau banyak anggota keluarga Kristen justru belum pernah menerima Tuhan Yesus di dalam hidup pribadi mereka. Sebagai peristiwa yang mengumpulkan orang banyak, maka kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Kenyataan yang sedang ada dihadapan hadirin adalah bagian dari kebenaran firman Tuhan yang harus diungkapkan untuk diketahui lebih, banyak oleh pendengar. Isi berita iman kristiani harus jelas, dan tidak memberitakan pengharapan semu.

3. Hindari apapun yang sifatnya memberi kesan terburu-buru dalam pelaksanaan upacara. Dampak negatifnya pasti tidak sedikit. Kehadiran anggota Gereja dalam jumlah yang maksimal akan langsung memberi dampak khusus baik bagi keluarga yang ditinggalkan maupun bagi hadirin pada umumnya. Sebenarnya di sinilah "isi" Gereja itu dipaparkan di depan orang yang belum mengenal dan menerima Tuhan Yesus tanpa membawa mereka ke dalam gedung gereja. Hadirnya paduan suara atau kelompok di mana almarhum/almarhumah terlibat di dalam Gereja juga akan membawa arti positif tersendiri. Umpamanya, seseorang terlibat dalam vokal group di Gereja, maka kelompok vokal group itu sedapatnya hadir dan mengambil bagian dengan pujiannya.

4. Sambil percaya dengan yakin bahwa Roh Kudus berkarya di dalam hati semua pendengar berita firman, adalah bijaksana untuk menawarkan undangan menghadiri kebaktian di Gereja pada jam-jam yang diumumkan, serta kesediaan dan kerinduan berbicara secara pribadi tentang firman itu lebih lanjut. Follow-up aktif dari pihak Gereja sendiri akan membuat efektivitas pelayanan ini menjadi konkret. Mobilisasi kaum awam untuk perkunjungan kepada orang yang dikenalnya dalam upacara tersebut akan menghasilkan tuaian yang banyak.

 SETELAH UPACARA PENGUBURAN

1. Visitasi lanjutan sangat diperlukan. Selain suasana kehilangan yang masih memerlukan penghiburan, mungkin masih banyak hal-hal teknis yang belum terselesaikan.

2. Menganjurkan kebaktian diadakan pada suatu waktu setelah upacara penguburan berarti ada perhatian pastoral yang lebih jauh. Namun selalu harus diingat bahwa kebaktian itu tidak dilakukan untuk orang mati, tetapi karena orang mati. Sangat diperlukan hikmat untuk menghancurkan kesan mistis apabila kebaktian ini diadakan pada jumlah hari tertentu sebagaimana dilakukan oleh orang di luar Kristus, umpamanya, hari ketiga, ketujuh, ke-40, dan lain-lain. Menekankan bahwa ini adalah momentum untuk PI dan pendewasaan rasanya lebih penting daripada yang lainnya. Ada baiknya Gereja mengerahkan kaum ibu untuk menangani hal-hal yang menyangkut konsumsi dalam acara seperti ini, agar pihak keluarga yang berdukacita tidak merasakan kegiatan ini sebagai beban finansial tambahan.

3. Sangat efektif apabila kesempatan seusai kebaktian tidak dipakai hanya untuk makan minum atau ramai-ramai sedangkan tujuan semulanya adalah memberikan penghiburan. Tetapi pakailah untuk percakapan-percakapan pribadi yang pada hakekatnya adalah evangelisasi perorangan. Minimal dibangun persahabatan, yang menurut Dr. Luis Palau, pengembangannya melahirkan terminus friendship evangelism. Sekaligus upacara kematian bisa menjadi upacara kehidupan; upacara duka menjadi suka. Momentum ini jangan disia-siakan.



TIP #35: Beritahu teman untuk menjadi rekan pelayanan dengan gunakan Alkitab SABDA™ di situs Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA