Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 > 
MANUSIA DAN KEMATIAN124 
Penulis: Yongky Karman125

Setiap hari kita mendengar bahkan mungkin melihat langsung kematian dalam pelbagai cara. Mulai dari kematian hewan sampai pada kematian manusia. Mulai dari kematian orang yang tak dikenal sampai pada kematian orang yang dikenal. Lebih jauh lagi, kita sendiri pada suatu kali malah harus mengalami kematian. Pokoknya, manusia tidak merasa asing dengan peristiwa kematian.

Dengan demikian kita bisa menerima bahwa setiap makhluk hidup akan mengalami kematian. Yang menjadi soal sekarang ialah samakah makna kematian manusia dengan kematian hewan. Seekor ayam memiliki nilai kegunaan misalnya untuk dimakan atau juga diambil telurnya. Jika ayam itu mati, selesailah ceritanya. Paling banter pemiliknya merasa kehilangan atau rugi. Tetapi tidak akan pernah ditanyakan apakah makna kematian ayam itu.

Dengan manusia rupanya persoalan kematian tidak sesederhana itu. Sebab manusia itu makhluk berakal budi. Ia mau mempertanyakan apa saja termasuk tentang kehidupan ini. Oleh karena itu soal kematian, yang mengakhiri hidup, juga tidak luput dari perhatiannya. Ia mau mempertanyakan perihal kematian orang lain dan juga kematiannya sendiri sebelum saat kematian itu dialaminya.

Tetapi apa itu sebenarnya kematian? Secara gampang itu bila dijelaskan sebagai berhentinya keberadaan suatu makhluk. Kendatipun begitu filsafat tidak pernah puas atas keterangan sederhana itu. Kalau cuma sekedar terhentinya suatu keberadaan, untuk apa kematian manusia dipersoalkan? Lebih jauh lagi, apakah kematian itu sendiri masih termasuk bagian dari hidup manusia yang berarti dan oleh karenanya kematian juga memiliki artinya? Ataukah kematian itu datang dari luar kehidupan dan oleh karenanya meniadakan hidup yang berarti itu?

 KEUNIKAN MANUSIA

Di atas telah disinggung hal keunikan makhluk manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya khususnya hewan. Maka bisa dikatakan bahwa kematian manusia tidak pernah sama bobotnya dengan kematian hewan mana pun. Ini mudah dimengerti. Yang lebih sulit lagi yaitu dalam memahami kematian manusia, kita tidak bisa mengabaikan suatu fakta bahwa setiap orang itu unik pada dirinya sendiri. Kematian Si Polan bukan cuma perkara kematian manusia sebagai contoh species yang bisa diganti dengan contoh species manusia lainnya. Manusia bukan sekadar contoh species seperti halnya pada hewan. Manusia itu unik pada dirinya sendiri. Keberadaan setiap manusia itu unik. Di manakah letak keunikan itu?

Pertama, setiap manusia itu unik dalam individualitasnya. Memang seseorang itu tidak pernah berdiri sendiri terlepas dari lingkungannya. Ia menjadi anggota suatu negara, anggota masyarakat tertentu, dan anggota keluarga. Sebagai anggota masyarakat tertentu ia sama dengan anggota lain. Sebagai anggota keluarga ia sama dengan anggota yang lain. Tetapi ia tidak pernah sama dengan orang lain dalam memandang dunia. Sebab orang merupakan titik pusatnya sendiri yang dari situ ia memandang dunianya. Dengan demikian segenap aspek kehidupan dihubungkan kepada seseorang secara khusus dan unik. Boleh dikatakan bahwa setiap orang memiliki dan tinggal di dalam dunianya sendiri. Setiap tindakan dan pengalamannya dihayati secara pribadi dan unik. Orang lain bisa bertindak dan mengalami hal yang sama, tetapi penghayatannya tidak akan pernah bisa persis sama. Setiap orang betul-betul memiliki historisitasnya masing-masing berkat individualitasnya itu. Dari keunikan ini bisa dimengerti bahwa peristiwa kematian yang seseorang alami menjadi pengalaman yang khusus dan unik, walaupun mungkin cara kematiannya bisa sama dengan orang lain.

Kedua, keunikan manusia lebih jauh lagi berakar pada kualitasnya sebagai pribadi. Kenyataan manusia sebagai pribadi itulah yang mendasari individualitasnya. Tanpa dimensi pribadi ini hilanglah juga sifat individualitas manusia. Maka kematian Si Anu tidak identik dengan manusia mati. Memang si Anu itu seorang manusia, tetapi ia sekali lagi bukan sebuah contoh species manusia yang dengan begitu kedudukannya bisa diganti dengan Si Anu yang lain.

Sebagai pribadi, manusia memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri. Ia seakan-akan sedang mengemban suatu tugas penting yang sukses atau gagalnya tergantung pada penentuan dirinya itu. Dan keputusan itu unik, karena berada di dalam konteks waktu yang linear. Maka garis waktu kehidupan manusia tidak pernah bisa dibalik. Penentuan diri yang diambilnya pada suatu saat tidak akan pernah terulang dan terganti dengan kualitas yang sama pada waktu yang lain. Di sinilah terdapat sifat temporalitas dari kodrat manusia sebagai pribadi. Dalam pengertian inilah kematian seseorang tidak pernah bisa terulang dan tergantikan dengan kematian orang lain.

Dari keunikan manusia ini jelaslah sudah bahwasanya antara kematian manusia yang satu dengan yang lainnya ada perbedaan kualitatif. Setiap kematian unik artinya bagi yang bersangkutan. Maka kematian manusia sungguh patut dipermasalahkan.

 KEMATIAN DAN KEHIDUPAN

Kehidupan yang dijalani manusia pasti berakhir. Titik akhir ini sampai bila kematian datang. Lebih jelasnya lagi, kematian merupakan batas terakhir kehidupan. Manusia mati dan itu berarti ia sudah sampai di akhir hidupnya.

Kalau begitu, kematian bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar kehidupan. Sebaliknya, kematian merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, yang datang paling akhir, namun toh tetap merupakan bagian kehidupan. Seperti misalnya, perbatasan suatu negara tentu menjadi milik negara itu. Demikian juga kematian bukan sesuatu yang datang dari luar kehidupan seperti suatu serangan mendadak. Kehidupan membawa kematian. Kematian sudah membayang-bayangi kehidupan. Ke mana pun manusia pergi, sepanjang ia masih hidup, kematian terus menguntitnya. Bahkan kematian itu mengkondisikan setiap momen hidupnya. Manusia merupakan "ada yang terarah kepada kematian" demikian kata Heidegger.

Maka menjadi jelaslah bahwa kematian merupakan potensi manusia, yang wujudnya nyata ketika terjadi peristiwa kecelakaan, pembunuhan, umur tua, dan segala peristiwa yang menyebabkan terjadinya kematian. Demikianlah kematian sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Yang menjadi soal adalah apakah kalau begitu kematian itu mempunyai maknanya juga.

 KEMATIAN DAN MAKNA HIDUP

Kalau diakui bahwa hidup itu ada artinya, maka kematian sebagai bagian integral kehidupan pasti juga mempunyai arti. Mengingat kaitan yang begitu erat antara kematian dan kehidupan, maka setiap pertanyaan mengenai makna kematian mau tidak mau menyangkut makna kehidupan. Jawab atas makna kematian bisa ditelusuri dari jawab atas makna hidup. Tetapi kita harus mulai dari makna hidup dulu. Alasannya sederhana yaitu karena kematian belum kita alami secara pribadi, sedangkan kehidupan sudah dan sedang dijalani. Dengan demikian makna hidup lebih mudah dicari.

Pertanyaan mengenai apa itu makna hidup tidak bisa dijawab dengan menyebutkan satu per satu kegiatan hidup, seperti: lahir, menjadi dewasa, belajar, bekerja, berkeluarga, menjadi tua, dan mati. Memang orang biasanya melewati tahap-tahap kehidupan itu dan hal itu sudah dimengerti. Tetapi semua kegiatan hidup itu justru telah mendorongnya untuk bertanya "Apa itu hidup?", "Apa tujuan semua itu?" Jadi, makna hidup yang ditanyakan itu terletak jauh di balik semua pengalaman empiris dari kehidupan. Maka hidup bukan sekedar soal apa yang dijalani setiap hari, melainkan soal apa yang mendasari semua pengalaman hidup empiris itu.

Pertanyaan mengenai makna hidup paling tidak muncul dalam dua masa. Pertama, yaitu pada masa puber seorang remaja. Pada masa itu seorang remaja mulai berdiri sendiri dan ia sanggup memandang dirinya sebagai orang lain. Ketika Yosi kecil ditanya "Siapakah kamu?" Ia segera menjawab: "Yosi!" Tetapi ketika Yosi sudah remaja, setelah ia menjawab "Aku Yosi", ia masih meneruskan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri "Tetapi siapakah aku ini?" Demikianlah remaja mengalami krisis identitas. Secara tiba-tiba ia mulai melihat dirinya secara menyeluruh dari luar. Ia mulai sadar kalau hidupnya tidak melulu untuk makan, minum, bermain, sekolah, tetapi ada sesuatu yang lebih agung. Ia mulai bertanya: "Apa makna hidupku?"

Kedua, makna hidup mulai dipertanyakan ketika orang sudah sampai pada titik jenuh dari rutinisme hidup sehari-hari. Pada saat itulah orang tidak lagi memandang dirinya sebagai seorang karyawan yang harus bangun pagi, makan, bekerja, merokok, tetapi ia merasa dalam hidupnya mesti ada suatu tujuan yang mau dituju. Hidupnya secara pasti mengarah ke satu tujuan. Namun ke mana? Untuk apa ia hidup?

Begitulah kedua momen eksistensiil yang mendorong orang menanyakan makna hidupnya. Setelah pertanyaan itu muncul, datanglah pelbagai tawaran jawaban atas makna hidup itu.

 PERJALANAN MENCARI MAKNA

Hidup manusia terarah kepada kematian. Maka manusia menyadari kalau hidupnya bukan saja terbatas tetapi juga dibatasi. Ia tidak bisa begitu saja memakai dan melewati hidupnya. Kematian seolah-olah memaksa manusia untuk memikirkan makna hidupnya. Mulailah manusia melakukan perjalanan mencari makna.

Untuk apa manusia hidup? Biasanya dengan mudah orang akan mengacu pada nilai-nilai yang ada di dalam dunia, seperti: keluarga, bangsa, karir, ilmu pengetahuan, mengabdi kepada sesama. Untuk sementara makna hidup sudah terjawab, demikian juga dengan kematian. Kematian tidak lagi meniadakan semua perolehan dan jerih payahnya sehingga menjadi sia-sia. Karena segala hasil itu mengacu kepada sesuatu yang mengatasi kematiannya, sesuatu yang transenden. Dengan demikian nilai yang ada di dunia bisa diangkat ke tatanan transenden demi menjadi makna dan tujuan hidup.

Tetapi faktanya, perjalanan mencari makna itu tidak berhenti sampai di situ. Orang masih belum puas. Artinya, orang masih mencari 14 dasar nilai dari realitas dunia yang sudah ditransendenkan itu. Kalau rakyat hidup untuk negara, lalu negara ada untuk siapa? Mustahil untuk rakyat lagi. Minimal negara ada untuk dirinya sendiri. Di sinilah orang mulai menanyakan lebih jauh makna yang lebih dalam.

Sebenarnya masalah ini bila dimengerti. Realitas yang ditransendenkan itu sebenarnya bukan realitas transenden yang sejati. Realitas transenden semu itu tidak mampu memadamkan gejolak hasrat mencari makna hidup. Paling banyak gejolak itu diredakan untuk sementara waktu, dan kemudian akan muncul kembali. Memang yang namanya realitas dunia, ya tetap dunia. Mustahil ia menjadi realitas metadunia yang transenden. Jika realitas yang fana dijadikan pemuas dahaga jiwa yang abadi, hasilnya adalah usaha pencaharian makna hidup yang tiada henti-hentinya. Dalam ungkapan Kitab Suci usaha itu digambarkan sebagai usaha menggali kolam namun kolam itu bocor (Yeremia 2:13).

Untuk mengakhiri usaha mencari makna tanpa akhir itu, orang menempuh dua macam cara. Pertama, absolutisasi sebuah nilai partikular. Dengan sengaja nilai-nilai dan realitas-realitas lain tidak dipersoalkan apakah mereka melebihi nilai yang dimutlakkan itu. Jadi, soal baik dan buruk secara mutlak ditentukan dari nilai absolut itu. Misalnya, cinta romantis dimutlakkan. Apa yang membuat cinta r omantis itu tumbuh, itulah yang baik. Segala sesuatu yang mengganggu keberlangsungannya, harus dipandang sebagai jelek. Nilai kedewasaan dan nilai tanggung jawab, kalau tidak menunjang cinta romantis, disilakan menepi. Demikianlah jadinya apabila nilai cinta romantis dijadikan absolut. Sebenarnya, cinta romantis cuma merupakan sebagian dari realitas kehidupan. Tetapi realitas bagian itu jadinya menentukan keseluruhan dalam cara yang pertama ini.

Cara kedua yaitu realitas keseluruhan menentukan realitas bagian. Di sini orang mengerti bahwa realitas hidup merupakan deret tak terhingga. Setiap realitas terbatas dipandang sebagai satuan dari totalitas kehidupan. Totalitas ini berada di balik deretan realitas terbatas, tetapi ia hadir secara simbolis untuk memberi makna kepada deretan realitas terbatas itu. Jadi, orang tidak boleh dan juga tidak pernah bisa berhenti pada satu gol yang dimutlakkan. Orang harus mengembara dari satu realitas terbatas ke realitas terbatas lainnya, dari satu realitas makna ke realitas makna lainnya, dalam suatu perjalanan tanpa akhir. Orang harus berjuang dengan tidak mengenal lelah, agar totalitas kehidupan mengungkapkan dirinya.

Kedua cara di atas memperlihatkan bahwa hidup manusia yang fana itu diserap ke dalam suatu konfigurasi makna yang lebih tinggi. Perbedaannya, yang pertama bersifat statis dan yang kedua bersifat dinamis. Dengan cara apa pun manusia hendak memperlihatkan bahwa kematian bukan lagi sesuatu yang asing, kontradiktif, dan membingungkan. Sebagai pengakhir kehidupan, kematian kehilangan gigitannya dan menjadi masalah yang kecil. Manusia boleh dikatakan tidak lagi sama sekali mati. Ia tetap utuh, ia cuma beralih ke perwujudan hidup yang asli. Karena kematiannya sudah diserap ke dalam wujud yang lebih tinggi.

Maka tugas utama manusia adalah berjuang demi sebuah alasan untuk hidup, yang mampu mengatasi kefanaan hidup. Manusia dengan begitu tidak lagi cuma merupakan bagian dari siklus lahir - dewasa - mati. Kefanaannya diatasi karena ia bergabung ke dalam alasan yang demikian ia mati. Ia berhasil melintasi kefanaan dan masuk ke dalam kekekalan. Tujuan hidupnya tercapai.

 PARADOKS KEMATIAN

Secara teoritis dan filosofis kematian jelas merupakan bagian integral dari kehidupan, dan untuk itu telah diusahakan makna baginya. Kematian dengan demikian diterima sebagai sesuatu yang natural. Kendatipun demikian manusia ternyata masih merasa cemas dan takut terhadap kematian. Kematian, yang datang dengan tiba-tiba itu, merenggut ketenangan hidup yang sedang dijalani, perjalanan hidup terputus, seperti tontonan televisi yang mengasyikkan tiba-tiba terhenti karena listrik padam. Menjengkelkan, tetapi sekaligus menakutkan.

Maka orang menghayati kehidupan dan kematian dengan berbeda sekali, walaupun pada dasarnya kematian merupakan bagian dari kehidupan juga. Tampaknya kehidupan merasa asing dengan kematian. Di sinilah tampak paradoks antara kehidupan dan kematian. Sebenarnya keduanya tidak berkontradiksi, tetapi tampak seperti kontradiksi. Alami tetapi juga kelihatan tidak wajar. Akibat ketidaksesuaian antara pengetahuan teoritis dan pengalaman aktual tentang kematian itu, maka timbullah kegelisahan menghadapi kematian yang pasti datang itu.

Manusia yang diperhadapkan dengan kematian merasa tidak mempunyai pegangan pasti. Nilai-nilai absolut yang menjadi alasan hidupnya selama ini dirasa kurang mencukupi pada dirinya sendiri. Belum ada penjelasan yang mampu meredakan rasa cemas ini. Sebagian orang beragama pun tidak luput dari kecemasan eksistensiil ini. Memang kematian sebagai fakta tetap merupakan fakta, dan itu dialami oleh orang hidup. Hanya iman yang hidup mampu meneduhkan kecemasan akan kematian itu. Tetapi dalam konteks filosofis soal iman tidak mendapat tempat, dan oleh karenanya kaum saleh yang menghadapi kematian tidak dibahas secara khusus. Yang mau disoroti yaitu manusia pada umumnya merasa bingung dan gelap ketika diperhadapkan dengan kematian.

 MAKNA KEMATIAN

Tetapi apa makna kematian itu sebenarnya? Ada orang yang berpendapat bahwa kematian itu tidak berbeda jauh dari penderitaan. Di dalam penderitaan manusia menjadi jauh lebih dekat kepada rahasia kehidupan ketimbang kalau ia sedang gembira. Kegembiraan berlangsung sekejap dan orang "ditempati" oleh sesuatu yang telah membuatnya gembira. Berlainan sekali dengan orang yang sedang menderita, ia di hantar kepada batas-batas dari pelbagai kemungkinan hidupnya. Di dalam penderitaan itulah seseorang diperhadapkan dengan dirinya sendiri. Dengan demikian pengalaman penderitaan lebih menyentuh pusat kedirian seseorang dari pada pengalaman gembiranya. Tidak heran kalau sewaktu senang manusia mudah melupakan Allah, tetapi di dalam penderitaan itu dapat meragukan Allah "Di manakah Allahku sekarang?"

Berhadapan dengan kematian manusia semakin dekat dengan misteri kehidupan.

Seyogyanya manusia memburu kematian dengan bergairah. Tetapi sebagaimana kecondongannya untuk menolak penderitaan, demikianlah juga manusia sebisa mungkin menghindari diri dari kematian. Maka masih terbuka satu pertanyaan hakiki, yaitu apakah hanya di dalam kematian manusia baru mengerti dirinya secara utuh.

 RANGKUMAN

Sampai di sini kiranya kita perlu berhenti dulu dari perjalanan mencari makna kematian. Bagi kita jelas bahwasanya di antara segala sesuatu yang dapat mati dan hancur, manusia mengerti kematiannya sebagai sesuatu yang unik. Kematiannya secara kualitatif berbeda dari kematian hewan.

Bukan itu saja. Kematian di antara manusia pun memiliki keunikannya, sebab setiap manusia itu unik pada dirinya sendiri. Arti kematian seseorang tergantung pada arti hidupnya, dan arti hidup itu dihayati secara berbeda oleh setiap orang. Maka pembahasan mengenai makna kematian menjadi tidak mudah.

Walaupun begitu kematian itu pasti datang, sehingga hidup manusia di dalam dunia menjadi terbatas sekali. Nah, hidup yang terbatas ini sungguh tidak mau disia-siakan. Harus ada alasan untuk hidup, bahkan alasan untuk mati. Begitulah akhirnya kita dapat lihat suatu usaha perjalanan mencari makna. Manusia ingin menguak kewajaran kematian untuk sampai kepada makna yang terdalam dari kematiannya itu.

Dalam hal ini jawaban tidak bisa diperoleh dengan usaha spekulatif. Makna itu mau dicari dari dunia pengalaman empiris. Namun rupa-rupanya jawaban ini pun tidak memuaskan semua orang. Dibutuhkan suatu jawaban alternatif (metaempiris?). Di titik inilah mau tidak mau manusia berpaling kepada Pengasal hidup itu sendiri, kalau keberadaanNya diakui.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA