Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 > 
SINKRETISME DALAM PANDANGAN ALKITAB 
Penulis: Bambang Ruseno Utomo
 I. PENDAHULUAN

Bagi kita gereja-gereja yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa, adat istiadat, kepercayaan, agama dan budaya ini, betapa masalah sinkretisme merupakan salah satu masalah yang tidak boleh begitu saja diabaikan oleh gereja; Lebih-lebih bagi gereja yang berlatar belakang Jawa, di mana salah satu sikap orang Jawa yang menonjol dikatakan sinkretistis.

Namun betapa sering pula bahwa yang dimaksud dengan sinkretisme itu berbeda antara seorang dengan lainnya dan bahkan kabur. Tidak jarang pula secara gampangan dikatakan bahwa segala macam perpaduan antara "Kekristenan" dengan yang "non Kristen" adalah sinkretisme. Yang dimaksud dengan "kekristenan" di sini tidak hanya berhenti pada masalah iman dan ajaran Kristen saja melainkan juga hal-hal yang dipandang berkaitan dengan tradisi dan budaya "Kristen" lebih sempit lagi adalah tradisi dan budaya Barat. Demikian pula yang dimaksud dengan "non Kristen" juga bukan hanya berhenti pada masalah agama atau kepercayaan di luar Kristen saja, melainkan segala hal yang berhubungan dengan adat istiadat dan budaya setempat.

Jelas pandangan tersebut di atas adalah menyesatkan, oleh karena itu sungguh suatu kesempatan yang baik jikalau dalam kesempatan ini sekali lagi kita bicarakan masalah sinkretisme.

 II. PENGERTIAN DAN PENGGUNAAN ISTILAH SINKRETISME

Kata sinkretisme yang telah menjadi kata kita sehari-hari ini adalah kata asing, yang bisa dilacak dari kata Yunani."Sunistanto, Sunkretamos" artinya "kesatuan"; dan kata "synkerannumi" yang berarti "mencampur aduk".

Istilah tersebut mula-mula adalah istilah Politik, yang digunakan oleh Plutarch untuk menggambarkan kesatuan orang-orang dari pulau Kreta yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut adalah sebagai sinkretismos.

Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian.

Misalnya di dalam bidang filsafat, pada abad 15 Kardinal Bessarion menggunakan istilah tersebut dalam ungkapannya untuk mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato dan Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad 17 Calextus seorang pengikut Luther disebut sebagai seorang sinkretist, sebab dia berusaha mendamaikan dan menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada. Dengan demikian, di sini terkandung arti pula unsur-unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya sehingga semuanya menjadi satu.

Gunkel, Harnadc dan Bultmann menggunakan istilah sinkretisme secara luas untuk menggambarkan Kekristenan sebagai suatu agama Synkretistic, karena mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik. Sedangkan Russell Chandran berargumentasi bahwa segala formulasi dari theologia Kristen adalah dipaksa dan diharuskan bersifat synkretistic.

Pandangan beberapa theolog tersebut di atas bisa mengaburkan pengertian tentang sinkretisme yang sesungguhnya. Jikalau yang dimaksud sinkretisme adalah sebagaimana yang dinyatakan seperti tersebut di atas, maka semua agama, tidak terkecuali agama Kristen adalah bersifat sinkretistis. Sebab manakala suatu agama, tidak terkecuali agama Kristen berusaha keluar dari lingkungannya untuk mencapai lingkungan di luarnya, maka mau tidak mau mesti bersifat sinkretistik. Hal ini jelas, sebab lingkungan yang dihadapi dan di mana agama Kristen tersebut ada adalah bukan lingkungan yang steril dan vakum. Di dalam pertemuan tersebut tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang hidup dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi) dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup. Namun pertanyaannya, apakah fase-fase seperti penerjemahan (translation), peralihan (transition), pengubahan (transformation) dan penyerapan (absorption) semacam itu boleh disebut sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya?

"Translation", "transition" dan "transformation" adalah bukan sinkretisme yang sesungguhnya, selama semuanya itu dilakukan dengan maksud untuk melaluinya dan mengisinya dengan berita yang asli dengan sejelas mungkin, tanpa modifikasi yang lebih besar daripada isi yang asli. Demikian pula Absorption adalah juga bukan sinkretisme yang sesungguhnya, selama hal itu diambil dengan pengertian dan pembedaan yang jelas. Ketika Upacara dan konsep-konsep dari lingkungan asal yang berbeda dan dari kadar yang berbeda telah disesuaikan ke dalam jiwa baru yang menguasai sebegitu rupa sehingga mereka menjadi asli dan merupakan bagian yang diterima dalam agama ini.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, Prof. Dr. Hendrik Kraemer membedakan antara sinkretisme sebagai "phenomenological", maksudnya dipandang dari apa yang nampak, apa yang kita lihat sebagai mana fungsi-fungsi nyata di dalam agama-agama dan budaya, dengan sinkretisme sebagai "theological problem" dipandang dari sudut kemutlakan "Kristus sebagai jalan satu-satunya keselamatan manusia". "Theological problem" ini misalnya pandangan orang Jawa bahwa semua agama itu sama saja (sadaya agami sami mawon). Agama di sini digambarkan seperti jalan-jalan yang menuju ke satu tujuan puncak gunung atau seperti aliran sungai yang sama-sama menuju ke Samudra luas. Semuanya mempunyai tujuan yang sama yakni Tuhan Yang Esa. Oleh karena itu pada hakekatnya antara satu dengan lainnya tidak berbeda. Atau suatu pandangan bahwa Kristus saja belum cukup sebagai jalan untuk keselamatan seseorang oleh karena itu perlu ditambah hal-hal lain seperti sesajen, percaya kepada kuasa-kuasa lain, dllnya.

Pandangan sinkretistik modern misalnya, seperti yang dinyatakan oleh John Hick (lahir 1923), seorang profesor filsafat agama dari Universitas Bermingham. Melalui tulisannya "God and the Universe of Faiths", dan artikel-artikel lainnya dia terkenal dengan teori "Copernicon revolution"nya. Bahwa dahulu orang berpandangan bumi adalah pusat alam semesta. Tetapi sejak ditemukan oleh Copernicus maka bukan bumi, tetapi mataharilah pusat alam semesta. Demikian pula sekarang ini bukan Kekristenan atau agama-agama lain lagi yang menjadi pusat keagamaan, melainkan Tuhan sendirilah sebagai matahari satu-satunya yang dikelilingi oleh planet-planet atau agama-agama.

Semua agama pada hakekatnya sama saja dan dalam posisi yang sama pula serta agama seseorang hanya ditentukan oleh tempat dan budaya di mana dia dilahirkan.

 III. SINKRETISME DALAM PANDANGAN ALKITAB

Di dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat kita lihat betapa Alkitab selalu menolak sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya itu. Oleh karena itu di sepanjang sejarah umat Allah di dalam Alkitab tersebut, penuh dengan pergumulan melawan sinkretisme. Penolakan Alkitab terhadap sinkretisme itu jelas dari protes nabi-nabi Allah terhadap praktek ibadah kepada Baal, upacara/ibadat Babylonia, Assyria dan serangan penulis-penulis Perjanjian Baru terhadap ibadah Hellenistik dan ibadah Gnostik di Antiokhia, Efesus, Korintus, Kolose, Roma, dstnya.

Pergumulan terhadap sinkretisme tersebut, pertama-tama nampak di dalam pertemuan orang-orang Israel dengan orang-orang atau bangsa-bangsa di tanah Kanaan yang menyembah Baal, misalnya orang Sikhem menyembah Baal Berit (Hak. 8:33; 9:46), orang Moab menyembah Baal Peor (Bil. 25:3; Ul. 4:3; Hos. 9:10), orang Filistin menyembah Baal Zebub (II Raja 1:2), dllnya.

Di dalam pertemuan mereka dengan suku-suku penyembah Baal tersebut banyak dari antara orang Israel yang terpengaruh dan ikut menyembah dewa mereka Baal, disamping penyembahan mereka kepada YHWH. Bagi mereka JHWH saja dirasa belum cukup memenuhi keselamatan mereka, sehingga perlu ditambah lagi dengan penyembahan kepada Baal. Baalisme di Israel ini mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan raja Omri, Ahab dan anak-anak Ahab dari Israel Utara yang meresmikan agama Baal sebagai agama nasional.

Dalam situasi demikian tampillah nabi-nabi Allah yang menentang praktek ibadat Baal tersebut, misalnya seperti nabi Elia, Elisa dan Hosea. Penyembahan mereka kepada JHWH disamping kepada Baal dan berhala-berhala lainnya itu secara mengharukan digambarkan dalam kitab Hosea seperti perkawinan Nabi Hosea dengan Gomer isterinya, yang menjadi pelacur. Isteri nabi Hosea itu terus menerus melakukan perzinahan dengan laki-laki lain, sampai rusak badannya dan menjadi budak belian, sehingga mengakibatkan kesedihan dan penderitaan nabi Hosea yang tetap setia. Demikian itulah yang dilakukan bangsa Israel yang melakukan perzinahan rohani antara JHWH dan Baal serta berhala-berhala lainnya sehingga menimbulkan kemarahan dan kesedihan Tuhan.

Kedua, gelombang sinkretisme yang lebih tinggi dan rumit lagi sifatnya melanda Israel kira-kira seabad sebelum pembuangan yaitu yang mengambil bentuk dalam cara-cara ibadat, adat istiadat dan budaya Babil dan Assur.

Saat itu ibadah asing diperkenalkan di Bait Suci Yerusalem, berarti walaupun JHWH disembah, tetapi Dia bukan lagi satu-satunya Tuhan yang menentukan nasib dan masa depan keselamatan Israel. Dia kini menjadi bagian dari Pantheon/kuil dan salah satu dari illah yang banyak jumlahnya itu.

Misalnya ibadah kepada Matahari atau Shamas, orang-orang Babil dengan kereta matahari (II Raja 23:11), gambar Asherah yang diidentifikasikan dengan Astarte (II Raja 21:3) Ratu Surga, ibu Tuhan Sang pemberi hidup alam (Yer. 7:18; 44:17), dstnya.

Sinkretisme tersebut ditentang dengan keras oleh nabi-nabi, seperti nabi Yeremia (Yer. 2:18; 2:21; 2:23; 2:25-27). Sebagai hasil dari tegoran Yeremia itu Raja Yosia mengadakan suatu reformasi secara menyeluruh dengan memusatkan kebaktian di Bait Suci Yerusalem pada tahun 622 yang terkenal dengan reformasi Deuteronomist.

Ketiga, di dalam Perjanjian Baru, ketika Injil keluar dari Israel, dari lingkungan Yahudi dan mulai menjangkau Yunani, lingkungan Hellenistis dan Gnostik di situ bertemu pula Injil dengan penyembahan dewa-dewa asing seperti penyembahan Isis dan Sarapis dari Mesir, Cybele dan Attis dari Syria, Mithra dari Persia dan aliran-aliran filsafat seperti Stoiki, Epicuri dan Gnostik.

Menghadapi Sinkretisme yang lebih tinggi dan ruwet ini, sikap para rasul di dalam Perjanjian Baru tidak hanya begitu saja langsung menolak dan menyerang seperti dalam Perjanjian Lama, melainkan juga berkembang lebih hati-hati, bijaksana dan kreatif. Bagi mereka perhatian yang utama adalah bagaimana membawa dan mengkomunikasikan Injil kepada orang-orang Yunani itu. Oleh karena itu sikap mereka ini juga tak terpisahkan dengan metode mereka tentang Pekabaran Injil.

1. Di Samaria, Simon Magus seorang tukang sihir yang dibaptiskan oleh Filipus berpikir bahwa kuasa Roh Kudus yang ada pada para rasul itu tidak beda dengan kekuatan yang dimilikinya. Oleh karena itu ia meminta kuasa semacam itu dari Rasul Petrus dan Yohanes. Tetapi dijawab Petrus bahwa Pikiran yang ada dalam benak Simon itu harus dibuang jauh-jauh.

Roh Kudus adalah karunia Tuhan, karunia yang diberikan kepada mereka yang bertobat dan harus digunakan dalam kehendak dan pelayanan kepada Tuhan. (Kisah Rasul 8:12.)

2. Di dalam kunjungan Rasul Paulus ke Efesus, orang-orang Efesus yang percaya kepada Dewi Artemis digerakkan oleh Demetrius, menolak kedatangan Rasul Paulus. Karena Rasul Paulus mengajarkan bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Pengajarannya ini bisa merugikan usaha Demetrius sebagai tukang membuat kuil-kuilan Dewi Artemis dari Perak. (Kisah Rasul 19:26.)

3. Di Athena, ketika menghadapi orang-orang yang menyembah berhala di mana di salah satu mezbahnya bertuliskan: "Kepada Allah Yang tidak dikenal" Paulus justru menggunakannya sebagai titik tolak untuk pekabaran Injilnya. Paulus mengerti, dan bisa menghargai Hellenisme serta memahami pikiran dan kebudayaan mereka. Di sini Paulus tidak mau dituduh membawa dewa-dewa asing kepada orang-orang Athena, melainkan mengabarkan, Injil ke dalam pikiran serta hati mereka dengan bertitik tolak dari apa yang ada pada mereka dan menggunakan cara-cara pengungkapan yang mereka pahami. Paulus mengatakan bahwa Allah yang tidak mereka kenal itulah yang saat ini diberikan kepada mereka. Ia menghormati kepercayaan orang-orang Athena oleh karena itu ia tidak mulai dengan kecaman dan konflik, melainkan menggunakannya untuk menerangkan pesan yang ingin disampaikan.

4. Di dalam suratnya kepada Jemaat Kolose yang digerogoti oleh pencampuradukan Iman Kristen dengan tahyul, "gugontuwon" kepercayaan dan ajaran sesat, sehingga bagi banyak orang Kolose dirasakan Kristus saja belum cukup untuk menyelamatkan mereka; Rasul Paulus mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan KeAllahan dan kita telah dipenuhi di dalam Dia. Oleh karena itu tetaplah hidup di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia (Kolose 2:6-7). Dengan ungkapan "hidup di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia" tampaknya Rasul Paulus memaksudkan bahwa: Gereja Tuhan itu seperti benih tanaman yang disebar untuk tumbuh dan berbuah di tempatnya masing-masing di mana Kristus juga sudah ada di sana.

Bukan sekedar cangkokan atau tanaman pot-potan yang terputus dan asing dari lingkungannya. Untuk bisa tumbuh dalam lingkungannya dengan baik haruslah berakar dan makan minum dari Kristus sendiri sebagai dasar Gereja yang ada di sana itu.

 IV. PENUTUP

1. Dari uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sinkretisme adalah suatu gejala umum (universal). Sebab manakala suatu agama, termasuk agama Kristen, keluar dari lingkungannya sendiri dan menjangkau lingkungan-lingkungan di luarnya, mau tidak mau mesti bersifat sinkretistis. Di mana di dalam pertemuan tersebut tidak akan mungkin dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang hidup di dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi), bahasa dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup.

Lebih-lebih jikalau agama Kristen ingin tumbuh, hidup dan berakar di dalam lingkungan yang baru tersebut dan bukan sekedar cangkokan yang asing dengan alam lingkungannya. Agama Kristen haruslah memberikan kemerdekaan secara bertanggung jawab kepada orang-orang dalam lingkungan baru tersebut untuk mengerti, meresapi, menghayati dan mengungkapkan (mengekspresikan) imannya kepada Kristus yang universal dan transenden itu sesuai dengan pribadinya, budayanya dan lingkungannya. Hal ini adalah sah dan memang telah terjadi di sepanjang perjalanan sejarah agama Kristen. Misalnya, ketika kekristenan dari Israel dengan latar belakang budaya Yudaistic dan Semitic memasuki dunia Yunani dengan budaya Hellenisticnya. Begitu pula dengan ke Eropa. Oleh karena itu sekarang ini kekristenan yang datang dari benua Eropapun juga bukan merupakan kekristenan yang steril dari latar belakang budaya Eropa, dan lingkungan di Indonesia juga bukan lingkungan yang kosong (vakum), melainkan lingkungan budaya dan dunia yang telah terbentuk selama berabad-abad dan kaya dengan beraneka ragam budaya, adat-istiadat, kepercayaan, suku dan bahasa.

Oleh karena itu sinkretisme yang sesungguhnya adalah bukan yang "phenomenological" itu, melainkan yang menyangkut "theological problem". Yaitu masalah adakah Kristus tetap diakui sebagai satu-satunya jalan dan itu telah cukup? ataukah masih perlu ditambah ini dan itu. Jikalau jawabannya negatif, memang di situlah gereja harus awas karena adanya gelombang sinkretisme yang serius.

2. Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja-gereja yang berada di dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seperti prosesnya terang yang sedang menerangi dan garam yang sedang menggarami, yang tidak boleh terpisahkan dan terasing dari dunia lingkungannya. Hal ini berarti gereja berada di dalam proses penyebaran, penerjemahan (translation), peralihan (transition), pengubahan (transformation), penyerapan (absorption) dan pengakaran. Yaitu penyebaran ide-ide, konsep-konsep yang bersumber dari keyakinannya tentang Tuhan, dunia, manusia dan seterusnya, ke sekelilingnya. Penerjemahan konsep-konsep dan ide-ide dari keyakinannya tersebut ke dalam pengungkapan - atau bahasa yang dimengerti oleh lingkungannya yang baru. Adanya ide-ide dan keyakinan baru tersebut mengakibatkan peralihan atau pengubahan dari tata hidup yang lama ke dalam tata hidup yang baru yang dijiwai dan dinafasi oleh isi yang baru tersebut. Sifatnya bisa mendasar, tetapi bisa pula hanya cabang kecil-kecil atau kulit-kulitnya saja; pertemuan, pengubahan dan pembaharuan isi dan jiwa yang lama dari adat budaya setempat ke dalam jiwa dan isi yang baru dari Injil. Hal ini bisa melalui inkulturasi, yaitu isi Injil yang dimasukkan ke dalam wadah dari budaya yang ada, bisa modifikasi dari wadah budaya yang ada, dan bisa pula memang sekaligus pengubahan dan pembaharuan isi dan wadah budaya yang ada. Penyerapan unsur-unsur dari konteks budaya dan adat setempat, seperti unsur-unsur yang sesuai dengan Injil, yang tidak bertentangan dengan Injil, yang bisa mempersiapkan penerimaan Injil, dan unsur-unsur yang bisa mengkayakan Injil. Sehingga Injil lebih bisa dimengerti dan diungkapkan sesuai dengan konteks setempat. Dan akhirnya supaya Injil tersebut makin berakar di bumi dan di dalam jiwa orang-orang yang berlatar belakang berbeda tersebut. Sehingga Injil bukan lagi dipandang sesuatu yang asing, lebih-lebih selalu diidentikkan dengan Belanda, penjajah (atau budaya barat), yang baunya aneh, warnanya aneh, penampakannya aneh dan tak pernah menjadi miliknya sendiri.

3. Di dalam situasi yang di dalam proses yang terus menerus tersebut, dalam menanggapi masalah "phenomenological Synkretisme" itu, gereja haruslah bersikap bijaksana. Lebih-lebih jikalau dihubungkan dengan metode dan strategi penginjilannya. Gereja hendaknya tidak selalu gampang bersikap negatif "asal larang terhadap segala unsur adat dan budaya setempat", sebaliknya juga tidak serampangan "asal terima" begitu saja, melainkan lebih dituntut untuk bersikap peka, positif, selektif dan kreatif. Secara positif selektif dan kreatif gereja bisa memulai, menggunakan dan memanfaatkan dari apa yang ada atau juga bisa mengikis, kalau mungkin melenyapkan apa yang ada yang dipandang membahayakan atau mengingkari iman Kristen, khususnya yang berhubungan dengan "Theological Problem" tersebut.

 DAFTAR BACAAN

1. Encyclopaedia of Religion and Ethics, ed: James Hasting, Vol. 12, Charles Scribner's Sons, New York 1955; Art: Synkretisme.

2. Baker's Dictionary of Christian Ethics, ed: Carl F. H. Henry, Baker Book Hause, Grand Rapid, Michigan, 1973; Art: Synkretisme.

3. Hendrik Kraemer, Religion and Christian Faith, Lutterworth Press, London, 1956, Hal. 385 - 418.

4. W.A. Visser 't Hooft, No Other Name, SCM Press, 1963.

5. Dr. J. Verkuyl, Samakah semua agama, BPK,.Jakarta, 1961.

6. John Hick, God and The Universe of Faiths,

7. Truth and,Dialogue,

8. Christianity and Other Religion,

9. M. Supriadi Sastrosupono, Sinkretisme dan orang Kristen Jawa, Peninjau Th. VIII, No. 1, 2.

10. I Wayan Mastra, Kontekstualisasi Gereja: Jawaban Gereja Protestan di Bali terhadap Injil, Peninjau Th. VI, No. 3 - 4, 1978, hal. 197 - 222.

11. E.G. Singgih, Dari Israel Ke Asia, BPK, Jakarta, 1982.



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA