Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 4 No. 1 Tahun 1989 > 
WAWANCARA DENGAN PDT. JAKUB SUSABDA 

Teologia itu Tidak Boleh Human Subjectivity Oriented

Pdt. Jakub Susabda

Di suatu siang yang cerah, di salah satu Ruang tamu SAAT, "Wartawan2" PZ Henny & Timotius diterima oleh Pdt. Jakub Susabda untuk serangkaian wawancara mengenai berbagai aspek dari PAK. Rangkuman dari wawancara tersebut, setelah disusun, disajikan dalam edisi PZ kali ini.

PZ: Menurut Bapak apakah teologia PAK itu?

JS: Sebenarnya teologia PAK itu tidak pernah independen dari teologia-teologia yang primer yaitu mengenai Alkitab, gereja dan sebagainya. Dan juga tidak pernah independen dari teologia praktika pada umumnya. Seperti teologia mengenai konseling, pemberitaan Injil dan lain sebagainya. Hanya PAK menjadi unik oleh karena seluruh kombinasi daripada semua teologia ini sekarang menjadi dasar, dan mengalasi pelayanan Kristen khususnya di dalam bidang pendidikan. Baik pendidikan di gereja maupun di luar gereja seperti di sekolah, Sekolah Alkitab Malam, dan sebagainya. Jadi PAK dalam konsep saya bukan hanya PAK dalam pengertian untuk pelayanan rutin dari gereja yang ada, melainkan pendidikan Kristen untuk setiap individu, baik yang terlibat langsung di dalam organisasi gereja dan aktivitas gereja maupun individu-individu yang tidak terlibat. Barangkali mereka terlibat dalam para church dan sebagainya, itu juga termasuk PAK.

Tujuannya yaitu tentu saja supaya kita makin bertumbuh, serupa dengan gambar Kristus dengan segala sangkut pautnya, yaitu kemenangan Kristus yang nyata dalam seluruh hidupnya termasuk dalam aspek hidup yang non religius. Jadi termasuk juga hal-hal yang menyangkut profesi masing-masing sampai kepada profesi yang non profesional, seperti misalnya menjadi ibu rumah tangga, semua ini mesti terjamah oleh pendidikan Kristen. Bagi saya teologia PAK adalah teologia dalam pengertian ilmu tentang kebenaran Allah dan karya penyelamatannya, yang menjadi dasar, alasan dan motivasi, yang menjadi penentu arah bahkan menjadi evaluator dari seluruh kegiatan pelayanan pendidikan Kristen. Jadi teologia PAK, demikian juga halnya kekristenan tidak dipecah-pecah dalam beberapa bagian, tanggung jawab teologia PAK mencakup pendidikan dalam gereja, ataupun di luar gereja, termasuk para church dan sekolah.

PZ: Apakah ada persamaan atau perbedaan antara teologia PAK dan filsafat PAK?

JS: Sebenarnya kalau kita berbicara tentang teologia, maka kita berorientasi pada Allah dalam Tuhan Yesus Kristus dengan karya keselamatannya secara menyeluruh seperti yang disaksikan oleh Alkitab. Oleh karena kita percaya bahwa kebenaran Alkitab mempunyai otoritas yang mutlak, maka teologia itu tidak boleh human subjectivity oriented (berorientasi pada subjektivitas manusia), itu tidak sehat. Hakekat teologia adalah mensistematisir atau menghadirkan ulang kebenaran Alkitab dalam bahasa yang dapat dimengerti dan di cerna. Kalau kita memakai kata filsafat itu berbeda. Filsafat sebenarnya cenderung untuk menomorsatukan kemampuan daya pikir manusia. Oleh sebab itu meskipun mungkin kedua hal ini sering kali dipakai dalam pengertian yang sama, tapi saya lebih setuju memakai istilah teologia PAK daripada filsafat PAK.

PZ: Dari penjelasan Bapak tadi apakah bisa diartikan bahwa filsafat (PAK) adalah hasil setelah teologianya di godok lalu membentuk suatu filsafat yang dirumuskan berdasarkan pemikiran orang itu sendiri.

JS: Sebetulnya filsafat PAK itu tidak semata-mata bergantung pada teologia atau pada pengetahuan mengenai Allah di dalam Alkitab. Karena filsafat itu mau tidak mau mengikutsertakan unsur-unsur yang lain seperti misalnya pengetahuan kita mengenai sosiologi, psikologi, dan sebagainya. Tidak salah kalau mengatakan teologia PAK itu hanya teologia PAK dan nanti di dalam penerapan praktisnya kita membutuhkan kontribusi daripada filsafat.

PZ: Apakah Tujuan PAK menurut Bapak?

JS: Tujuan PAK adalah pertumbuhan rohani dalam setiap individu Kristen secara menyeluruh (wholistic) untuk mencapai "wholenessnya." Dan ini bukan hanya pertumbuhan dalam pengetahuan kognitif, rasio, tetapi pembaharuan seluruh "life structure" daripada orang tersebut. Menuju arah semakin memberi peluang kepada Roh Kudus supaya bisa secara bebas beroperasi dalam hidupnya. Jadi misalnya saja ada orang yang sudah ikut PAK, katekisasi, PA, Sekolah Alkitab

"Hakekat teologia adalah mensistematisir atau menghadirkan ulang kebenaran Alkitab dalam bahan yang dapat dimengerti & di cerna."

Malam atau ikut kegiatan gereja sampai beberapa puluh tahun dan mempunyai pengetahuan kognitif tentang Alkitab, itu tidak secara langsung menjamin bahwa dia sudah bertumbuh secara rohani. Kalaupun dia itu mengaplikasikannya di dalam kegiatan gereja, makin aktif bahkan kalaupun dia bisa memimpin itu belum merupakan suatu pertumbuhan rohani kalau life structure-nya tidak diperbaharui, dan tidak memberi peluang supaya Roh Kudus bisa lebih bebas beroperasi dalam hidupnya.

Life structure = Pola hidup yang sudah mengakar, membentuk kebiasaan-kebiasaannya, pandangan hidupnya, nilai-nilai hidupnya dsb.

PZ: Bagaimana kita tahu?

JS: Sebenarnya untuk bisa melihat apakah life structure kita sudah berubah atau tidak, kita membutuhkan bantuan daripada ilmu-ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan yang lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Kita melihat sebenarnya manusia bertumbuh melalui tahapan (stages) yang berbeda, dan ternyata oleh karena ketidak beruntungan daripada kehidupan manusia yang tidak sempurna ini umumnya manusia tidak bisa mengatasi krisis dan konflik pada tiap tahapan secara baik, sehingga life structure-nya terbentuk secara tidak begitu sempurna. Bagaimana kita bisa mengenali hal itu, kita perlu melihat misalnya saja reaksi spontan yang timbul terhadap pressure. Orang akan menunjukkan bagaimana misalnya seseorang tiba-tiba di tabrak mobilnya oleh orang lain. Maka reaksi pertama tanpa ia berpikir secara Kristen, yang muncul entah makian, entah kemarahan, mata melotot, keinginan membalas, semuanya itu menunjukkan levelnya di mana. Jadi life structure memberikan beberapa indikasi seperti misalnya bagaimana orang itu mengamati atau melihat realita hidup. Bagaimana emosi dari orang itu bereaksi terhadap dunia luar, itu juga tidak sama life structure-nya.

PZ: Kalau ditinjau dan segi psikologis apakah alam bawah sadar seseorang bisa termasuk perubahan life structure yang Bapak maksudkan?

JS: Ini lebih menjurus kepada soal personality, personality dari orang tersebut warnanya memang tidak akan berubah tetapi ekspresi keluarnya itulah yang harus berubah, (pemakaian kata personality dan temperamen itu sendiri menjadi masalah). Tetapi kalaupun kita memakai kata temperamen selalu ada dua aspek positif dan negatif, yaitu yang bisa diubah dan yang tidak perlu diubah oleh karena sudah baik. Misalnya saya ini seorang yang bertemperamen melankolik kenapa harus diubah, saya tidak akan jadi kolerik, asal jangan sampai kemelankolikan saya ini mengganggu pekerjaan Roh Kudus. Misalnya saja saya mudah tersinggung, saya menyimpan dendam, saya selalu menangkap emosi orang yang barangkali itu tidak tepat, jadi itu hal yang perlu kita perbaiki.

"Konseling itu jangan sampai menjadi problem oriented, atau problem solving oriented itu bukan konseling."

PZ: Apakah pandangan teologia atau aliran teologia seseorang itu bisa mempengaruhi di dalam dia menerapkan satu sistim pendidikan misalnya apakah itu pandangan liberal, karismatik, dan lain sebagainya. Dan pengertian yang demikian apa perlu kalau disebut teologia PAK yang injili?

JS: Pasti ada perbedaan yang jelas sekali karena teologia itu bukan hanya menunjukkan dasar, motivasi, tujuan, bahkan alat evaluasi, menentukan segala-galanya, jiwa daripada seluruh PAK itu didasarkan pada teologia. Jadi kalau teologia seseorang itu berbeda, tentu saja dengan sendirinya pelaksanaan dari pada PAK, bahkan tujuan yang akan dicapai, sarana yang dipakai itu pasti berbeda. Di Amerika, terlihat jelas pengalaman sejarah gereja-gereja, sebetulnya antara gereja-gereja presbiterial (mainline - denominasi) asalnya satu. Tetapi oleh karena ada pengaruh dari liberalisme yang masuk, penyusun daripada kurikulum mereka kemudian mulai memasukkan unsur-unsur yang liberal sekali. Dan akibatnya terjadi perpecahan karena pelajaran-pelajaran Sekolah Minggu dari anak-anak sampai dewasa warnanya sudah berubah sama sekali. Yang diberitakan adalah soal sosial dan penyesuaian diri bagaimana berfungsi di dalam masyarakat, menjadi berkat di dalam pengertian umum sama seperti agama-agama lain tetapi kurang sekali penekanan soal keselamatan jiwa. Karenanya sangat ditentukan oleh teologia daripada gereja yang bersangkutan. Sehingga saya cenderung untuk mengatakan bahwa kita ini justru perlu mengembangkan secara lebih sistematis dan lengkap contoh teologia injili sebagai dasar dari PAK, sampai sekarang ini belum ada. Selama ini kita hanya mengikuti pemimpin-pemimpin yang lebih dahulu tetapi belum mempunyai suatu konsep yang lengkap mengenai teologia injili. Sehingga orang pasti mencampuradukkan antara kita dengan orang fundamentalis, padahal kita tidak sama dengan orang fundamentalis yang menafsirkan Alkitab secara harafiah.

PZ: Kalau di aliran karismatik yang pernah saya tahu misalnya anak-anak diajar cara memuji Tuhan dengan berbahasa lidah, apakah ini merupakan salah satu contoh yang berhubungan.

JS: Kalau berbicara mengenai karismatik, saya simpati kira-kira 30% dalam pengertian oleh karena saya melihat kehausan dan kelaparan dari kebanyakan orang Kristen ternyata tidak mendapatkan makanan dari gereja. Motivasi mereka yaitu mencari sesuatu untuk mengisi akan kehausan dan kelaparan itu. Saya tidak simpati karena mereka memberikannya secara keliru. Sekarang kalau saya mengatakan bagaimana dengan anak-anak, kasihan sekali. Mulai dari kecil anak-anak diajar melakukan suatu katarsis dengan cara glosolalia. Glosolalia itu bisa dialami dan dilakukan oleh siapa saja melalui suatu kelepasan daripada kerja otak. Kalau kita biasa membuat otak itu menjadi pasif dan tidak bekerja, kita bisa sampai kepada fase di mana kita bisa bicara sesuatu dengan mengikuti akan orang lain, kita bisa mengulangi dan akhirnya menjadi suatu yang berglosolalia dan itu bukan sesuatu yang menguntungkan dilihat dari segi iman Kristen, ini berbahaya sekali karena anak-anak itu nanti akan merasa puas pada dirinya sendiri. Memang ada damai tetapi tidak diajar untuk menghadapi chalenge of life, menghadapi akan kesulitan hidup, kegagalan hidup, padahal ini penting sekali untuk kehidupan mereka.

PZ: Kebanyakan klas katekisasi dan ceramah-ceramah pembinaan yang disampaikan di gereja itu hanya merupakan pengajaran yang bersifat informatif bukan suatu pengajaran yang merubah hidup. Bagaimana tanggapan Bapak.

JS: Ini berhubungan dengan yang saya katakan tadi, sebetulnya kita masih menjadi pelayan dari tradisi meskipun ini bentuknya khotbah, ketekisasi, Sekolah Minggu, PA, tetap masih merupakan sesuatu yang sekedar rutin dari hari ke hari. Tanpa ada alat evaluasi misalnya saja dievaluir tentang kehidupan mereka. Kalau mau dievaluir dari segi kognitifpun bisa, apakah sudah berhasil atau tidak. Saya akan beri salah satu contoh; ada seorang bernama Benyamin Bloom, dia membuat toxonomi/klasifikasi mengenai pertumbuhan daripada kognitif yang sehat. Dia melihat bahwa kalau kita mau mengecek pendidikan kita berhasil atau tidak, bisa dilihat dari segi kognitif:

Level I, Knowledge: yaitu apabila seseorang sudah mendengar pengajaran, dan bisa mengulangi, bisa menjawab pertanyaan. Misalnya saja Musa itu anaknya siapa, jumlah kitab dalam Alkitab itu berapa, Tuhan Yesus dilahirkan oleh siapa, jadi baru pada tahap bisa menjawab data.

Level II, Comprehension: pada tahap ini sudah bisa membuktikan seseorang itu mengerti sehingga dapat compare dengan data yang lain, dapat dibandingkan, jadi melihatnya secara luas. Misalnya Tuhan Yesus itu anaknya siapa dan bedanya apa dengan Yohanes pembaptis - ada pengertian.

Level III, Aplication: berarti orang itu sekarang sudah bisa menerapkan kebenaran yang dia pelajari di dalam suasana yang sama sekali baru. Orang ini bisa memakai kata-katanya sendiri, bahasanya sendiri untuk menerangkan apa yang dia pelajari. Kalau kita melihat orang itu mungkin sudah puluhan tahun ikut PA dan bisa memimpin, itu mungkin baru level yang ketiga.

Level IV, Analysis: yaitu sampai kepada pengertian akan misalnya saja motivasi di belakang penulisan, kenapa Yohanes itu memakai kata tertentu. Jadi suatu langkah lebih jauh dari isi pelajaran, sudah bisa menganalisa maksud, tujuan, dan motivasi. Kalau orang itu sudah sampai tahap ini, dia sendiri nanti akan bisa mengembangkan pemikiran yang genuine/murni dari dirinya sendiri, bisa mengembangkan suatu ide yang baru sama sekali.

Level V, Sintesis: sekarang dia bisa mensintesiskan hal-hal yang sama sekali bertentangan, yaitu melihat unsur-unsur persamaannya, mengambil suatu konklusi yang baru. Kalau yang tadi itu muncul oleh karena sumbangan dari orang lain di dalam analisa tersebut. Dia mulai mengenali, dia sensitif, dia mengambil unsur sumbangan dari orang lain kemudian dihadirkan secara baru tetapi masih tergantung pada sumbangan itu. Sedangkan level ke 5 ini sudah sampai kemampuan intergrated, jadi mengintegrasikan 2 unsur yang sama sekali berbeda sehingga dia bisa membuat hipotesis. Kalau saya mengajarkan seperti ini dalam waktu 1 bulan, saya bisa berhipotesis, kira-kira murid A, B, C, D, itu akan bagaimana, pikiran nya bagaimana. Ini berarti sudah sampai bisa mengambil unsur-unsur dari disiplin ilmu yang lain dan bisa melihat sumbangan-sumbangan ini menjadi sesuatu yang utuh.

Level VI, Evaluated (level yang tertinggi): sekarang dia bisa mengembangkan suatu spesifikasi berdasarkan kriterianya sendiri untuk menilai orang lain secara lebih tepat.

Jadi Bloom mengatakan bahwa kalau Anda mau mengecek apakah hasil dari pendidikan itu berhasil atau tidak lihat saja sampai level mana orang tersebut. Kalau baru sampai level yang ketiga itu belum begitu berhasil. Suatu perubahan itu terjadi mulai level yang kelima. Sampai betul-betul dipelajari, mendarat, mengubah, menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru, tidak tergantung lagi daripada pemikiran orang lain. Kalau sudah bisa mensintesiskan hal-hal yang sama sekali berbeda maka kita bisa menjadi orang yang tidak fanatik, yang bisa menghargai dan mengasihi akan orang lain yang sama sekali berbeda, sama seperti Galatia 5:13 dikatakan: Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Coba perhatikan Filipi 2 Paulus mengatakan: Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

PZ: Secara metode konkritnya bagaimana untuk mencapai hal tersebut?

JS: Suatu pertanyaan yang praktis tetapi sulit karena ini baru bernada teori, yang jadi masalah saya tidak memegang jemaat. Saudara-saudara yang memegang jemaat tentu mengalami chalenge yang jauh lebih besar dari saya, hanya saya bisa memberikan beberapa unsur. Yang saya tekankan ialah sebagai pemimpin gereja itu harus bisa mengenali, belajar daripada sumbangan ilmu pengetahuan yang lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan yang lain supaya kita bisa mengenali konsep-konsep, hambatan-hambatan manusia pada umumnya untuk berkembang, hambatan-hambatan apa itu?

Kalau kita bisa mengenali itu misalnya saja mengenai perkembangan dari pada iman (stages of faith). Ada beberapa hal yang perlu saya terangkan, dari tahap yang paling rendah yaitu:

I. Intuitive Projective Faith: Seorang Kristen yang masih berdasarkan senses, perasaan saja, jadi rasa itu yang paling penting.

II. Mythical Literal Faith: Sudah mencapai sesuatu yang lebih tinggi sedikit. Level iman ini masih payah oleh karena dia bisa menjadi orang dengan iman diabolic yaitu iman yang sebetulnya percaya akan kebenaran, tahu tetapi tingkah lakunya masih ditentukan pada untung ruginya. Sehingga misalnya kepada rekan sekerja sekalipun bisa kejam, oleh karena dia masih terikat unsur-unsur untung rugi.

III. Synthetic Conventional Faith: yaitu apa yang benar yang diajarkan oleh Alkitab diterapkan, melayani itu mensintentikkan apa-apa yang orang lain berikan tetapi ini belum mempunyai konsep tentang teologia, pengenalan akan keselamatan yang lengkap.

IV. Individuative Reflective Faith: Dia sudah memikirkan konsep yang sesungguhnya apa yang saya percaya.

V. Conjunctive Faith: Kenal Tuhan secara pribadi. Kalau kita perhatikan dalam Efesus 1, Paulus mengatakan: Imanmu, kasihmu, aku sudah saksikan tetapi siang malam aku berdoa untukmu supaya mata rohanimu tercelik. Jadi pengenalan secara pribadi ini bukan pengalaman mistik seperti orang karismatik, di mana dia ingin kenal Tuhan secara pribadi itu terjadi melalui pengalaman mistik. Jadi pengalaman mistik itu hanya pengalaman jiwa saja bukan pengalaman rohani. Tetapi kalau pengalaman rohani seperti Tuhan Yesus katakan meskipun mata jasmanimu tidak melihat, kamu percaya oleh karena kehadiran Kristus itu ada sehingga orang ini tidak akan takut menghadapi tantangan dan bahaya.

VI. Universalizing Faith: Akan sampai kepada bentuk toleran seperti Tuhan Yesus, dihina, dimaki masih berdoa: Tuhan, ampuni karena mereka tidak tahu. Jadi sampai kepada suatu understanding dan sampai kepada keberanian mati untuk Kristus.

Kalau kita bisa menghilangkan hambatan-hambatan misalnya saja menolong orang untuk menyadari. bahwa kamu sebetulnya masih pada level ini, oleh karena misalnya pengalaman masa lampau, dengan belajar psikologi sedikit kita akan tahu. Konsep mengenai Allah misalnya, kalau ada orang tua/seorang anak lahir dari orang tua yang tidak konsisten, kadang-kadang memukul dengan keras kalau anak itu bersalah, kadang-kadang bersalah tidak dipukul. Anak seperti ini dibesarkan orang tua, dia tidak pernah mengenal akan kebenaran karena dia tidak tahu mana yang betul. Kalau sudah dewasa, kebenaran Allah pun dia tidak pernah bisa yakin 100%. Belum mencoba dia sudah takluk karena tidak bisa menerima bahwa kebenaran Allah itu betul-betul benar, ini disebabkan karena orang tuanya tidak konsisten. Atau misalnya saja orang tuanya sering kali memukul dengan kebencian, seorang anak nakal langsung dipukul tetapi tidak dengan hati mendidik atau hati kasih melainkan sekedar menghukum, matanya kelihatan, mukanya, mulutnya, kata-katanya dengan kebencian. Anak itu kalau sudah dewasa ia tidak akan bisa menerima bahwa Tuhan mendisiplin dia karena kasih. Tuhan memberi saya penyakit, pasti Tuhan membenci saya karena sejak dari kecil dia tahu kalau saya dipukul karena orang tua saya benci. Pukulan dan reaksi orang tua menjadi satu. Saya sudah dewasa, sekarang saya ujian tidak lulus karena Tuhan marah kepada saya. Jadi tidak bisa melihat bahwa itu tangan kasih Tuhan yang sedang membimbing kita. Kalau kita tidak menolong anggota jemaat untuk bisa mengatasinya, untuk dapat mencapai level iman yang lebih tinggi akan sangat sulit sekali bahkan barangkali impossible meskipun kita memberikan makanan-makanan rohani, hanya menjadi konsumen konsumsi daripada otak saja tidak sampai dihayati.

Saya akan memberikan beberapa gambaran tipe orang dalam menerima pengajaran Firman Tuhan sebagai berikut:

- berbentuk bumbung kecil; meskipun mendengar banyak firman Tuhan tetapi isinya hanya sedikit karena selalu terbuang.

- berbentuk baskom; semua firman Tuhan didengar dan ditampung tetapi begitu hidup ini mengalami kegoncangan tumpah semua.

- berbentuk poci; mulutnya kecil tetapi isinya disimpan sendiri dan hanya dibagikan kepada orang lain sedikit sekali.

Jadi macam-macam orang seperti ini, kalau hambatan-hambatan seperti ini kita tidak tolong mereka untuk bertumbuh, maka kalau kita mau cek kembali, mengevaluer hasil pelayanan kita, kita akan kecewa karena sedikit sekali. yang bertumbuh. Sebab itu saga menganjurkan adakan waktu untuk juga belajar psikologi, sosiologi. Lalu adakan spesial waktu paling tidak 1 minggu sekali untuk berbicara/konseling, anggota jemaat harus ditolong. Konseling itu jangan sampai menjadi problem oriented, atau problem solving oriented itu bukan konseling. Jangan seperti misalnya ada persoalan antara suami istri/majelis satu dengan yang lain karena salah pengertian kemudian didamaikan dan selesai sampai di situ. Yang kita lihat itu masalah di dalamnya kenapa dia sampai begitu, mengapa dia selalu menyimpan kemarahan, mengapa di dalam hal-hal seperti ini dia tidak tahan. Waktu perkunjungan kita gunakan untuk itu, jadi jangan problem oriented tetapi personal oriented yaitu dialog. Suami istri pun sering kali begitu kalau tidak ada persoalan tidak bicara. Padahal yang perlu adalah personal oriented, kalau personal oriented itu kita akan bertumbuh tetapi kalau problem oriented meskipun kenal 10 tahun tetap tidak kenal pribadi. Yang dibicarakan gereja, kalau sudah menikah yang dibicarakan anak, kesehatan, masa depan, study, tetapi tidak pernah bicara You and Me, I and Thou, apa yang engkau rasakan, feelingku seperti ini. Kalau kita tidak pernah berbicara masalah kita sendiri, apalagi dengan jemaat, inilah yang sering kali menjadi penghambat dari pekerjaan Tuhan.

PZ: Apakah orang tersebut (hamba Tuhan) harus sungguh self secure (memiliki rasa aman pada dirinya).

JS: Setiap pendeta, bahkan setiap konselor mesti bersedia menjadi pelayan bagi orang lain. Antara kita sendiri sebetulnya mesti ada group misalnya persekutuan alumni. Kita mencoba menjadi orang yang berjiwa besar, saling sharing tentang pengalaman. Kalau kita sendiri tidak bisa menjaga konfidensial daripada percakapan ini barangkali anggota jemaat kita juga tidak akan percaya kepada kita.

PZ: Bagaimana pengamatan Bapak terhadap pelaksanaan PAK pada gereja-gereja di Indonesia dan sekaligus pengharapan-pengharapan untuk gereja-gereja di Indonesia?

JS: Sebetulnya gereja-gereja apalagi di Asia, sungkanisme itu menjadi besar sekali, sehingga kecenderungan sekolah Alkitab mempersiapkan diri hanya mensuplay "pegawai-pegawai" yang nanti menjadi pelayan tradisi gereja. Jadi kalau gereja membutuhkan "tukang" khotbah, "tukang besuk", "tukang" pemimpin katekisasi, "tukang" memberkati pernikahan, kemudian kita hanya mengisi akan kekosongan daripada lowongan kerja, di gereja, itu yang payah. Sehingga dalam pelaksanaan PAKpun, orang-orang yang sudah dilatih begitu lama di sekolah theologia akhirnya menjadi korban dari suatu sistim yang sudah bertahun-tahun, untuk keluar dari situ tidak bisa. Padahal pelaksanaan PAK di gereja itu mulai dari Sekolah Minggu, kegiatan-kegiatan PA, Katekisasi, dan sebagainya itu merupakan suatu elementer di dalam bidang pendidikan. Bagaimana semestinya, bagi saya itu skandal oleh karena maksud daripada Tuhan Yesus yaitu gereja dianggap sebagai tubuh Kristus pasti bukan mengumpulkan orang-orang Kristen supaya kita ini ramai-ramai hari minggu kebaktian, ada PA, ada koor, pasti bukan itu. Arti dari tebusan Kristus itu menyeluruh, sehingga PAK seharusnya arahnya ke sana.

Yang saya maksudkan bukan soal keberanian untuk merombak tetapi keberanian untuk mulai memikirkan, barangkali sistim kehidupan gereja yang ada sekarang ini mesti dirubah, tidak lagi merupakan kumpulan aktivitas seperti ini. Bukan gedungnya tetapi yang utama adalah kehidupan di dalam gedung itu yang perlu diubah.

Nama: Pdt. Jakub Susabda.

Alumni dari:

- STT Jakarta - 1971

- Union Theological Seminary, Richmond, VA, 1975

- Reformed Theological Seminary, Jackson, MS. 1977 (MCE).

- Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, il. 1979. (M.Th in Counseling)

- Biola University - 1988 (Ed. D. in Education)

Ditahbiskan sebagai pendeta di 1 st resbyterian, Church Jackson, MS 1978.



TIP #30: Klik ikon pada popup untuk memperkecil ukuran huruf, ikon pada popup untuk memperbesar ukuran huruf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA