"Di dalam pelayanan dan khotbah, saya cenderung tidak memakai otak saya, biar Roh Kudus yang bekerja sepenuhnya", "Kalau saya berdoa, akal saya ini saya buang, sebab kalau akal ini saya pakai, saya tidak akan berhasil untuk berdoa di dalam Roh..."
Pernahkah Anda mendengar seseorang - entah ia seorang awam atau seorang pengkhotbah - mengatakan kalimat yang nadanya persis atau mirip, dengan contoh kalimat di atas? Atau, Anda sendiri pernah mengatakannya baik kepada teman sesama anggota jemaat ataupun di persekutuan-persekutuan?
Syukur alhamdullilah, ternyata kebanyakan Anda, pembaca. Pelita Zaman, termasuk di dalam kelompok yang pernah mendengar (minimum, tentu saja, menurut praduga saya). Lalu, pertanyaannya adalah: apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan kalimat tersebut? Bagaimana Anda mengkajinya? Inilah yang akan kita simak bersama-sama.
Tentu saja ada beberapa alternatif kemungkinan maksud kalimat tersebut. Pertama, mungkin ia sebetulnya hendak mengatakan bahwa ia tidak berani memforsir penggunaan rasionya untuk urusan rohani, ia tidak berani mengandalkan rasio sebab rasio itu picik, korup, dibutakan Iblis, terbatas, serta berada di bawah kuasa dosa. Bukankah Calvin sendiri menganggap bahwa rasio senantiasa dipengaruhi oleh 'radix cordis', yakni akar hati kita yang bobrok? Bahkan, bukankah Luther menyebutnya dengan lebih tajam lagi: rasio itu bagaikan 'si pelacur tua' ('tua' di sini bukan umurnya, tapi pengalamannya), yakni yang selalu setia kepada serangkaian pacar, demikian pula rasio yang sebentar-bentar setia kepada Allah, kemudian beralih setia kepada ilah zaman ini?
Kedua, mungkin orang yang mengucapkan kata-kata tersebut belum bisa (atau belum mau) membedakan antara fungsi fakulti rasio dengan fakulti emosi, atau antara fungsi rasio yang korup dengan rasio yang sudah dipalingkan kepada Kristus. Ia memakai rasionya, tetapi tidak mengaku bahwa ia sedang memakainya. Dapat kita bayangkan betapa pusingnya seorang pendeta apabila seluruh anggota jemaatnya plus majelisnya secara koor mengatakan bahwa mulai sekarang mereka akan melayani secara full dan aktif, tetapi dengan tidak memakai otak.
Ketiga, kemungkinan orang itu mendengar perkataan seperti itu, lalu ia merasakan kalimat itu sangat mengena bagi dirinya dalam konteks zaman ini. Ini berarti orang itu menerima semacam 'oral tradition' dalam satu paket pengaruh filsafat zaman yang sudah meresap secara perlahan-lahan tetapi meyakinkan. Kami katakan demikian untuk mengingatkan agar kita tidak lupa bahwa sesungguhnya filsafat adalah suatu ilmu yang pengaruhnya sangat halus, licin serta tersembunyi (perh. peringatan Paulus dalam Kolose 2:8). Maka yang kerapkali terjadi adalah bukan tentang apa yang kita pikirkan, melainkan dengan apa yang kita pikirkan.
Untuk meyakinkan anda, cobalah anda buka kembali buku-buku Sejarah Gereja dan Sejarah Teologia yang pasti ada bagian tertentunya yang berkisah tentang tokoh-tokoh seperti Tertullian, Pascal atau Kierkegaard. Mereka, tentu saja, merupakan pendahulu-pendahulu kita yang memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia teologia. Tidak layak bagi saya mengeritik, apalagi mendiskreditkan mereka. Hanya satu saja catatan, bahwa merekalah mata rantai yang memisahkan atau menceraikan iman dan rasio. Ada dunianya iman, ada dunianya rasio. Tertullian bahkan mengatakan "I believe because it is absurd", saya percaya oleh karena hal itu tidak masuk akal. Inilah yang disebut Berkouwer sebagai "a blind submission to an 'exterior' revelation or an 'exterior' authority", suatu keyakinan sembarangan yang mengaitkan diri kepada objek penyataan atau otoritas yang ada 'di luar sana' (A Half Century of Theology, Eerdmans, 1979, h. 149). Oleh sebab itulah perkataan Tertullian ini - beserta dengan segenap keyakinannya yang mengacu begitu lekat dengan doktrin Roh Kudus - menarik perhatian kita. Dengan demikian, boleh dikata, Tertullianlah yang menjadi pelopor gerakan antirasionalitas atau gerakan transendentalisasi di dalam tubuh Kekristenan.