Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 2 Tahun 2001 > 
KERUGMA YANG MEMUDAR: PANDANGAN RUDOLF KARL BULTMANN TERHADAP TEOLOGI LUKAS - KISAH PARA RASUL 
Penulis: Nindyo Sasongko
 PENDAHULUAN

W. C. van Unnik menyatakan, "Sejak tahun 1950 Lukas dan Kisah Para Rasul (selanjutnya disingkat: Kisah) menjadi salah satu fokus studi para sarjana PB."1742 Jika pada masa sebelumnya penulis Lukas dipandang hanya sebagai seorang sejarawan, maka mulai masa itu suatu "pandangan baru" terhadap tulisan Lukas tercetus; bahwa Lukas juga seorang teolog. Akibatnya, Lukas tidak hanya dipandang sebagai sesosok pribadi yang misterius, yang mengumpulkan serpihan-serpihan informasi yang berserakan mengenai kehidupan Yesus dan kehidupan gereja, tetapi sebagai seorang teolog yang dengan sangat hati-hati dan teliti merencanakan dan menuangkan karyanya.1743

Buah penyelidikan ini tidak mungkin mengabaikan dua sarjana PB ternama, yaitu Martin Dibelius dengan penerbitan kumpulan esai-esainya pada tahun 1951, Aufsatze zur Apostelgeschichte (Studi terhadap Kisah Para Rasul) dan Rudolf Karl Bultmann dalam magnum opus-nya, yaitu Theologie des Neuen Testaments (1948-1953). Dibelius menggunakan metode style criticism - Lukas menyusun tulisannya tanpa terikat dengan sumber-sumber, tetapi dari sudut padang gaya sastra - sedangkan Bultmann memfokuskan penyelidikannya pada aspek-aspek eklesiastis, doktrinal, dan etis dari kerugma Kristianitas mula-mula. Kedua sarjana PB ini menjadi motor terhadap cara pandang baru dalam dunia kesarjanaan PB, terutama penyelidikan Lukas - Kisah.1744

Dalam artikel ini, penulis hanya akan membahas teori mantan profesor PB di Universitas Marburg, Rudolf Karl Bultmann (1884-1976) mengenai Lukas - Kisah. Penulis mengakui, dalam artikel ini para pembaca tidak akan berjumpa dengan Bultmann sebagai teolog modern yang dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme, tetapi sarjana sebagai PB yang mencurahkan perhatian pada Sitz im Leben der Gemeinde (situasi kehidupan gereja [mula-mula]).

Penulis juga mengakui bahwa teori Bultmann mengenai Lukas Kisah bukanlah fokus utama penyelidikannya, karena Bultmann hanya memberi ruang pembahasan yang amat sempit di dalam maha karyanya itu. Tetapi, mau tidak mau harus diakui bahwa penyelidikan Lukas - Kisah masa kini berhutang banyak kepadanya. Itu sebabnya, penulis tertarik untuk mengupas dan menganalisis teori Bultmann terhadap tulisan Lukas. Tetapi, oleh karena rentang waktu yang panjang antara masa Bultmann menelurkan teorinya dengan penyelidikan Lukas - Kisah masa kini, maka teori Bultmann tersebut akan ditanggapi oleh sarjana-sarjana PB modern yang melakukan riset yang lebih mutakhir.

Memang, adalah mustahil untuk meninjau seluruh aspek teologi Lukas - Kisah. Oleh karena itu, artikel ini hanya akan meninjau dari sudut pandangan Bultmann terhadap kerugma dalam Lukas - Kisah. Sehingga, pembahasan akan dimulai dengan pengertian dia mengenai istilah kgrygma (Inggris: kerygma). Baginya, kerugma gereja mula-mulalah yang menjadi pijakan Kristianitas dalam membangun kredo dan imannya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan kupasan terhadap teori Bultmann atas literatur Lukas - Kisah. Bagian selanjutnya ialah tanggapan dari sarjana-sarjana PB, dan pada bagian terakhir ialah kesimpulan penulis.

Penulis mengakui keterbatasannya untuk dapat mengerti sepenuh pemikiran sang teolog, serta kemampuannya dalam mengumpulkan bahan-bahan yang representatif. Sehingga, di sana sini pembaca akan banyak melihat kekurangan dari makalah ini. Namun penulis berharap, tulisan sederhana ini akan menumbuhkan kecintaan para sarjana, khususnya di Indonesia, terhadap karya literatur Kristiani yang juga adalah firman Allah yang berotoritas dan memicu penyelidikan lebih lanjut mengenai tesis Bultmann atas Lukas - Kisah.

 KERUGMA GEREJA MULA-MULA MENURUT BULTMANN

Kata yang paling banyak digunakan dalam PB untuk "berkhotbah" ialah kcrussin (sekitar 60 kali), yang berarti memproklamasikan berita (sebagai seorang pembawa kabar). Proklamasi gereja (kgrygma) adalah proklamasi publik tentang "Kabar Baik" (yaitu Injil) kepada dunia non Kristen.1745 Makna di balik pengertian tersebut bisa tindakan proklamasi atau isi proklamasi tersebut.1746

Sampai saat ini terdapat dua teori tentang kerugma yang mewarnai dunia kesarjanaan PB, yaitu teori yang dicetuskan oleh C. H. Dodd dan R. Bultmann. Dodd memfokuskan perhatian kepada isi dari proklamasi,1747 sedangkan Bultmann lebih menyoroti tindakan proklamasi. Dalam pandangan Bultmann, "pemikiran teologis" (theological thinking) PB atau teologi PB dimulai dengan kerugma gereja mula-mula dan bukan sebelumnya -- pada masa Yesus hidup di dunia. Bagi gereja mula-mula, kerugma sebagai tindakan pemberitaan berarti kerugma itu memproklamasikan Yesus Kristus - yaitu Yesus Kristus yang tersalib dan bangkit - sebagai tindakan penyelamatan Allah yang eskatologis. Kristus yang seperti inilah yang pertama-tama diberitakan dalam kerugma gereja paling dini, bukan dalam pemberitaan dari Yesus historis.1748

Yesus historis, sebagaimana terungkap dalam Injil Sinoptik adalah seorang guru dan nabi yang mengabarkan "pemerintahan Allah" (the reign of God) yang eskatologis. Yesus menyampaikan warta ini, di kemudian hari gereja mula-mula meneruskan warta tersebut. Tetapi, Yesus lebih dari sekadar guru dan nabi bagi gereja mula-mula: Ia juga adalah Mesias, sehingga gereja memproklamasikan Dia. Pada masa hidup-Nya, Yesus dipandang sebagai sebagai Pembawa Berita keselamatan; pada masa setelah "kenaikan-Nya", Ia dipandang sebagai pokok pemberitaan. Bultmann menyatakan, "He who formerly had been the bearer of the message, was drown into it and became its essential content. The proclaimer became the proclaimed."1749 Tetapi, "in what sense?" Jawaban Bultmann jelas, sang pemberita menjadi inti berita dalam konteks pemberitaan gereja mula-mula.

Ketika gereja memproklamasikan Kristus sebagai Mesias, hal itu terkait erat dengan jabatan-Nya sebagai Mesias yang akan datang, yaitu sebagai Anak Manusia. Gereja mula-mula menantikan kedatangan-Nya sebagai Mesias, bukan kembaliNya sebagai Mesias.1750 Kedatangan Mesias ini, menurut Bultmann, menggenapi konsep eskatologi di atas. Maksudnya, Allah telah membangkitkan Yesus dari Nasaret - guru dan nabi itu yang mati karena disalibkan oleh pemerintah Romawi, dan menjadikan Dia Mesias, meninggikanNya menjadi Anak Manusia yang membawa keselamatan sebagai tanda pemerintahan Allah.1751 Hal ini berarti aktifitas Kristus di dunia pada masa lampau tidak dipandang sebagai berita mesianik.

Jadi, menurut Bultmann, kerugma dalam PB adalah tindakan proklamasi eskatologis yang telah dimulai oleh Yesus dengan pemberitaan tentang Anak Manusia dan diteruskan gereja mula-mula dengan memberitakan Yesus Kristus yang dibangkitkan sebagai penggenapan pengharapan tersebut. Semasa hidup-Nya, Yesus hanya pemberita pemerintahan Allah yang eskatologis. Tetapi bagi gereja mula-mula, kehadiran Yesus dan kisah hidup-Nya selanjutnya (kematian sampai kenaikan-Nya) dihayati sebagai kegenapan berita yang disampaikan Yesus. Di dalam Kristus, Anak Manusia itu, pemerintahan Allah dinyatakan. Konsep inilah yang sering disebut sebagai "peristiwa Kristus" (Christ event).

 KERUGMA DALAM LITERATUR LUKAS - KISAH MENURUT BULTMANN

Telah penulis singgung di atas, pandangan Bultmann tentang teologi Lukas - Kisah hanya mendapatkan porsi yang sedikit dalam maha karyanya, Theology of the New Testament, yaitu pada bab "The Development toward the Ancient Church." Namun, sesingkat apa pun tesisnya, hal itu tetap dipandang amat penting bagi perkembangan penyelidikan Lukas-Kisah di masa-masa kemudian.

Menurut Bultmann, gereja mula-mula sedang berada dalam pencarian jati dirinya. Semula gereja menyadari dirinya sebagai umat eskatologis: jemaat yang terdiri atas orang-orang kudus, yang dipanggil keluar dari dunia dan tercerai dari dunia itu. Sebagai umat eskatologis, gereja menantikan penggenapan kedatangan Sang Mesias (parousia) sebagai kepenuhan sejarah keselamatan. Kesadaran ini membuat gereja bersifat eksklusif dan menganggap diri sebagai "orang-orang asing" di dunia.1752 Bultmann menyebutnya sebagai sifat yang transenden dari gereja.

Namun, ternyata parousia tak kunjung tiba. Hal ini berdampak besar kepada kehidupan dan pemahaman gereja. Gereja harus mengadakan "transformasi terhadap pemahaman mengenai jati dirinya." Gereja yang semula merupakan umat eskatologis yang sifatnya transenden tersebut sedikit demi sedikit bergeser kepada kesadaran sebagai institusi yang merenungkan kuasa-kuasa transenden pada masanya. Tuturnya:

In consequence of the delay of the expected parousia the trancendent character of the Church gradually comes to be seen not so much in its reference to the future as in the present possession of institutions which are already mediating trancendent powers in the present: a sacramental cultus and finally a priestly office.1753

Era inilah yang disebut oleh Ernst Troeltsch sebagai Fruhkatholizismus (Inggris: early Catholicism) atau "Katolisisme dini".1754 Dalam kerangka katolisisme dini inilah karya Lukas hadir. Bultmann mengakui bahwa penulis kedua kitab ini juga seorang sejarawan, tetapi berbeda dengan dua Injil Sinoptik lain, Matius dan Markus.1755 Kedua Injil tersebut lebih mempunyai sifat kerugmatis Injil, artinya mereka menuangkan tulisan mereka dalam bentuk penuturan historis tentang "kehidupan Yesus"; bahwa cuplikan-cuplikan tunggal dari tradisi kuno disatukan menjadi deretan kronologis geografis.1756

Namun, menurut Bultmann, masalah yang harus diingat ialah bahwa gereja mula-mula bukan semata-mata jemaat yang membutuhkan catatan historis tentang Kristus dan karya-Nya. Tetapi, jemaat mula-mula juga mempunyai sifat eskatologis, dipanggil keluar dari dalam dunia sebagai bagian dari aeon1757 yang akan datang. Wahyu Allah yang memanggil gereja. diterimanya bukan dari luar atau hal-hal yang misterius, melalui penglihatan maupun melalui mitos-mitos yang tidak dapat dibuktikan, tetapi melalui sesosok figur historis, Yesus. Di dalam Yesuslah gereja mendengar firman Allah yang memanggilnya. Sehingga, tradisi mengenai Yesus amatlah penting: tradisi tersebut secara bersamaan berbicara mengenai perihal eskatologis maupun historis.1758

Masalah ini coba dipecahkan oleh buah karya penulis Lukas - Kisah. Jemaat penerima Injil Lukas dan Kisah adalah jemaat yang telah memasuki era "Katolisisme dini." Ketika penulis menulis dua buku ini (Lukas - Kisah), konsepsi gereja etas dirinya sendiri ialah bahwa Kristianitas merupakan esensi dari sejarah dunia (Christianity as an entity of world history)." Oleh sebab itu, Bultmann berpendapat, penulis hendak menyelesaikan paradoks melalui kaca mata "teologi sejarah" (theology of history), yang hanya mengenal sejarah keselamatan dinyatakan sebagai sejarah dunia. Dengan demikian, tulisan Lukas mengalihkan acuan kerugma menjadi historis.1759 Hal ini jelas dalam proemium Injilnya (Luk 1:1-4), dan penuturan Lukas selanjutnya tentang kehidupan Yesus hingga kebangkitan-Nya; kejadian-kejadian dinarasikan dalam hubungan kronologis dengan sejarah dunia tempat Yesus hidup.

Demikian juga dalam Kisah, yang merupakan kelanjutan dari Injil, Lukas hendak mengisahkan tentang sejarah gereja mula-mula dan permulaan pekerjaan misi, sampai dengan misi Paulus yang menyentuh kota raja Roma, sebagai gambaran ujung bumi. Hal ini menandakan, bahwa di dalam Kristus sejarah penyelamatan telah sampai kepada kegenapannya dan, dalam kaca mata Kisah, kini masih berlanjut terus. Namun, dalam Kisah tidak ditemukan pengharapan mengenai parousia, yang merupakan karakteristik gereja yang paling dini. Hal ini membuat Bultmann menganggap bahwa penulis Kisah tidak lagi memandang penting konsep jemaat eskatologis, bahkan penulis kitab ini telah kehilangan pemahaman kerugmatis gereja mula-mula. Ia mengatakan:

The very fact that he writes an account of the origin and earliest history of the Christian Church-in which the eschatological Congregation, of course, would have no interest-shows how far removed he is from its own way of thinking. The fact that he wrote Acts as sequel to his Gospel completes the confirmation that he has surrendered the original kerugmatic sense of the Jesus-tradition and has historized it.1760

Jadi, menurut Bultmann, pada kedua tulisan (Lukas - Kisah) kerugma yang berisi tradisi Yesus sebenarnya telah pudar. Mengapa? Oleh sebab Kristianitas pada masa Lukas - Kisah ditulis telah kehilangan jati dirinya sebagai jemaat eskatologis yang menantikan kedatangan Mesias, dan masuk kepada era Fruhkatholizismus. Situasi tersebut membuat gereja harus mengubah haluan dan cara pandangnya dan memahami dirinya sebagai esensi (entitas) dari sejarah dunia kontemporer. Maka, sifat kerugma dari Injil sine qua non telah menjadi tunduk kepada teologi sejarah (theology of history). Ketika kerugma telah tunduk kepada teologi sejarah berarti kerugma itu tunduk juga pada "historisasi" (penyejarahan). Dengan perkataan lain, dengan menuliskan sejarah hidup Yesus dan sejarah gereja mula-mula ke dalam Injil dan Kisah, maka kerugma Kristiani telah memudar.1761

 KERUGMA DALAM LUKAS - KISAH MENURUT KESARJANAAN PB MASA KINI

Apa pendapat para sarjana masa kini terhadap tesis Bultmann di atas? Dua sarjana PB yang menjadi acuan utama penulis pada bagian ini ialah tafsiran Lukas dari Joseph A. Fitzmyer dan studi mengenai Lukas sebagai sejarawan dan teolog dari Ian Howard Marshall, juga beberapa artikel dan buku-buku yang relevan.

Seperti telah dinyatakan dalam perikop "Kerugma dalam Literatur Lukas - Kisah", Bultmann memulai prasuposisinya terhadap Lukas - Kisah dengan menyatakan bahwa gereja pada masa itu telah menjadi esensi sejarah dunia; akibatnya kerugma dari tradisi Yesus dihistorisasi dalam kedua karya Lukas. Dalam kesarjanaan PB selanjutnya, pendapat ini diteruskan oleh Ernst Kasemann. Philipp Vielhauer; Hans Conzelmann, dan Ernst Haenchen. Dua sarjana pertama mengembangkan pandangan Bultmann di atas. sedangkan dua nama terakhir menekankan studi kesastraan yang juga dipakai sebagai metode yang dipakai Dibelius dan Buitmann.1762

Bagi Kasemann, Lukas - Kisah merupakan tulisan pada zaman Kristianitas mula-mula yang merefleksikan hilangnya pemahaman Injil atas kerugma mula-mula. Lukas mengganti eskatologi Kristen menjadi sejarah penyelamatan (Heilgeschichte). Injil Lukas adalah catatan kehidupan Yesus. Ketika Kisah ditambahkan, para rasul menjadi penjamin tradisi Injil. Sedangkan Conzelmann, dengan metode kritik bentuk, menyatakan bahwa kerangka kerja Injil ketiga bukanlah bagian dari tradisi Yesus yang primer, tetapi sekunder. Conzelmann melihat kerangka kerja ini dalam karya Lukas yang telah lengkap dan mempertanyakan bagaimana struktur Lukas dan makna yang hakiki dari struktur itu. Namun berbeda dengan Bultmann, Conzelmann banyak mencurahkan perhatian kepada kerugma Injil Sinoptik.1763 Tentang Heilgeschichte, ia berpendapat bahwa Lukas mengikuti jejak perkembangan sejarah penyelamatan yang terus berlanjut.1764 Dengan demikian, posisi Lukas harus diletakkan pada konteks perkembangan gereja. Tendensi tulisan-tulisan Lukas harus dihubungkan dengan waktu penulisan karyanya.1765

Sama halnya dengan kedua teolog, Ernst Haenchen juga menyatakan, pandangan gereja mula-mula terhadap sejarah juga berubah. Pengharapan terhadap akhir zaman tidak segera digenapi, dan dunia ini terus berjalan. Oleh karenanya, banyak orang Kristen pada waktu itu menganggap bahwa pengharapan akhir zaman yang segera datang itu adalah salah.1766

Dalam posisi yang berseberangan dengan para teolog yang melanjutkan tesis Bultmann di atas, Joseph A. Fitzmyer menegaskan, bila seseorang mengamati proklamasi yang terdapat di Lukas dan Kisah, ia akan menemukan bahwa proklamasi itu ditujukan kepada Teofilus (dan para pembaca lain yang seperti dia). Inilah cara Lukas mengabarkan bahwa Yesus adalah Kristus dan Agen utama Allah untuk menggenapi keselamatan eskatologis bagi semua orang. Fitzmyer berpendapat, tesis yang bernada pejoratif mengenai kerugma yang memudar bukan didapatkan dari PB sendiri, tetapi dari pengertian terhadap kerugma yang lahir dari filsafat eksistensialis dan teologi dialektik.1767

Baginya, Lukas telah memainkan kerugma tersebut dengan Cara yang lain. Ia memproklamasikan warta Kristiani kepada gereja di zamannya, dan menjamin bahwa warta yang diproklamasikan tidak berbeda dengan yang telah diproklamasikan sebelumnya. Sebagaimana terlihat, Lukas menyatakan Injilnya sebagai pemberitaan atau pengajaran dari Yesus, dan di Kisah pemberitaan mengenai Yesus atau peristiwa Kristus [Heilgeschichte, sejarah penyelamatan]. Dengan demikian, sebenarnya tulisan-tulisan Lukas tidak kehilangan sifat proklamatoris, meskipun ditulis secara lebih formal dan memakai sastra yang baik. Kedua tulisan tersebut masih mengkhotbahkan peristiwa Kristus dan Kerajaan Allah dan meminta respons dari para pendengar, seperti tulisan Markus dan Paulus walaupun dalam cara yang berbeda.1768

Dari lain pihak, menjawab tuduhan "penyejarahan" kerugma, Howard Marshall membuktikan bahwa kerugma itu sama dengan ciri-ciri Injil Lukas. Alasan Lukas menulis Kisah, menurut Marshall, ialah bahwa catatan pelayanan Yesus harus ditambah dengan sejarah berdirinya gereja. Tujuan kedua tulisannya itu yaitu agar orang-orang Kristen seperti Teofilus mengenal bahwa iman Kristen bukan iman spekulatif tanpa dasar, tetapi iman yang mereka percaya dapat dibandingkan dengan bukti dari para saksi mata dan para pelayan Injil yang disusun Lukas dalam narasi yang rapi.1769 Jadi. kedua buku tersebut memiliki sifat historis.

Dengan jalan demikian ia hendak membuktikan ketidakbenaran tuduhan penyejarahan itu. Jika benar bahwa penulisan Injil memakai bahan dari Injil atau bahan-bahan lain, maka penyejarahan itu pastilah terjadi jauh sebelum Lukas menuliskan kitabnya; maka seharusnya telah terjadi sebelum Markus menuangkan tulisannya. Ia menyimpulkan, tradisi Injil bukanlah ciptaan gereja, tetapi diteruskan oleh gereja. Dalam penerusan itu terdapat kebebasan, tetapi yang terpenting ialah ada sesuatu yang harus diteruskan.1770

Mengamati kenyataan yang ada, dalam dunia kesarjanaan PB pasca-Bultmann ternyata, tidak dicapai kesepakatan dalam memahami karakteristik tulisan Lukas. Meskipun tesis Bultmann dilanjutkan oleh sebagian teolog, namun tetap saja terdapat sesuatu yang berbeda dengan tesis dasarnya (misalnya Conzelmann). Seperti telah penulis paparkan di atas, keakuratan tesis Bultmann perlu dipertanyakan. Sebab, pendapat tersebut dikontrol oleh prasuposisi bahwa gereja telah kehilangan pemahaman jati dirinya sebagai jemaat eskatologis. Gereja harus mengubah pandangannya atas sejarah, sehingga esensi Kristianitas (kerugma dari tradisi Yesus) dihistorisasi dan menjadi kabur. Namun di tengah-tengah perdebatan yang sengit, para ahli sepakat bahwa peristiwa Kristus (Christ-event) yang terjadi di dalam waktu adalah elemen yang esensial dalam tulisan Lukas. Yesus yang dikenal sebagai Hamba Allah itu telah mengalami penderitaan dan telah dimuliakan supaya Ia meneruskan karya-Nya dalam menawarkan keselamatan kepada manusia.1771

 PENUTUP

Akhirnya, sebagai sarjana yang mendedikasikan diri demi menemukan esensi pengajaran Perjanjian Baru melalui penyelidikan Sitz im Leben der Gemeinde, maka Bultmann memandang bahwa kedua tulisan Lukas harus diletakkan pada sekitar pertengahan abad ke-2 M. Ia tidak mungkin memungkiri prasuposisi teologis ini menjadi lebih dominan. Namun, Bultmann telah memberikan sumbangsih yang benar bagi kemajuan penyelidikan Lukas - Kisah. Tesisnya tentang pudarnya kerugma dalam Lukas - Kisah layaklah untuk diragukan, sebab motif penulis Lukas ialah melanjutkan warta proklamatoris yang telah dimulai oleh Kristus. Di dalam Injil, Lukas memberitakan kerugma dari Yesus. Sedangkan di Kisah, Lukas membuka kerugma mengenai Yesus. Tujuannya ialah supaya para pembaca mengenal iman mereka sebagai iman yang benar, tanpa spekulasi. Tetapi di pihak lain, pendapatnya tentang Christ-event sebagai tanda pemerintahan Allah patut diterima.

Menutup diskusi ini, ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai buah karya Lukas. Pertama, Lukas mempunyai cara tersendiri untuk menuangkan tulisannya tentang sejarah kehidupan Kristus dan sejarah gereja mula-mula dibanding kedua Injil Sinoptik lainnya. Dalam menuangkan tulisannya sebagai catatan sejarah, ia mengikuti pandangan teologisnya, bahwa catatannya juga merupakan tindakan penyelamatan Allah.

Kedua, meskipun sejarah yang dihasilkan dari tangan Lukas dikendalikan oleh teologinya - dengan demikian harus diterima oleh iman - namun sejarah tersebut tetap benar. Sebab, bila catatannya tidak benar, maka catatannya itu tidak dapat ditafsirkan. Dalam hal ini, amatlah riskan untuk menerima tesis Bultmann, sebab menurutnya Lukas telah melakukan historisasi terhadap kerugma. Jadi, data itu memang harus historis, tetapi keputusan-keputusan tertinggi tetaplah menjadi urusan iman. Sebab, hanya imanlah yang dapat mempercayai bahwa kebangkitan Kristus adalah tindakan Allah.

Ketiga, berlawanan dengan pendapat klasik yang menyatakan bahwa motif-motif lain Lukas mengikuti motif utamanya sebagai sejarawan, Lukas justru menulis sejarah karena ia adalah seorang penginjil. Sebagai penginjil tentu saja ia juga adalah teolog yang melakukan interpretasi terhadap data-data yang diterimanya. Ia menyadari bahwa iman yang ia beritakan dapat tetap tegak berdiri atau jatuh bersama dengan sejarah mengenai kehidupan Yesus dan gereja mula-mula.



TIP #31: Tutup popup dengan arahkan mouse keluar dari popup. Tutup sticky dengan menekan ikon . [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA