Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 >  GAGASAN PLURALISME AGAMA: TINJAUAN SEJARAH DARI INDONESIA MERDEKA SAMPAI KINI DAN TAWARAN DIALOG KEBENARAN AGAPHE > 
GAGASAN PLURALISME 

A. WB. Sidjabat

Bulan Mei 1950 merupakan tonggak penting dalam sejarah gerakan oikumene di Indonesia. Pada saat itu beberapa gereja di Indonesia secara sadar dan sengaja bersama-sama mencanangkan sebuah tekad untuk "pembentukan gereja yang esa di Indonesia". Tekad itu tidak sekedar mereka tulis di atas kertas, namun dituangkan melalui sebuah wadah usaha bersama yang diberi nama "Dewan Gereja-gereja di Indonesia" (DGI). Sejak lahirnya, DGI merupakan wadah dari gereja-gereja di Indonesia dan wadah milik gereja-gereja di Indonesia, dengan satu sasaran tujuan dan usaha yang gamblang: pembentukan gereja yang esa di Indonesia.1586 Lalu 20 Mei - 10 Juni 1955 DGI mengadakan konferensi mengenai "Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab" di Sukabumi. Merumuskan bagaimana menjadi warganegara yang baik jemaat Allah. Persoalannya masih interen dalam gereja.

Masa 1956-1967 merupakan masa kelahiran para teolog-teolog doktoral di Indonesia. Tapi, dari beberapa orang itu, yang tertarik memikirkan toleransi agama adalah Walter Bonar Sidjabat1587 yang menulis disertasi Toleransi Agama dan Iman Kristen pada Princeton Theological Seminary di tahun 1960. Kesimpulannya bahwa toleransi agama itu harus didekati baik dari sudut pandangan teologi maupun dari sudut pandangan sosio phenomenologi; bahwa ada dasar toleransi agama-agama di dalam kekristenan dan di dalam Islam dan bahwa meningkatnya perhatian teologi di antara orang Islam akan dapat menghasilkan beberapa penyesuaian struktur keagamaan Islam pada zaman modern.1588 Dengan latar belakang partikular Calvinis W.B. Sidjabat berpendapat:

Pancasila, memberikan ruang untuk adanya toleransi agama, dan hal ini dibuktikannya melalui tafsirannya terhadap sila pertama daripada Pancasila, yakni sila Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila mengandung unsur toleransi agama secara positif (pindah agama) dan kemerdekaan beragama. Namun toleransi ini terbatas karena tidak memberikan peluang bagi adanya politheisme, atheisme dan nihilisme.1589

Toleransi berarti endurance atau ketabahan, yang bukan hanya menunjuk pada sikap membiarkan orang lain hidup di sekitar kita tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini khususnya dalam bidang agama, menunjuk pada kerelaan dan kesediaan untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh hormat dalam suatu dialog yang seakrab mungkin. Dialog seperti ini, bukanlah monolog bilateral yang di dalamnya. salah satu pihak berbicara pada pihak lain tentang kebenaran agamanya, tanpa perlu dipengaruhi oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. Dialog yang sebenarnya adalah kesediaan untuk mendengar dari kedua belah pihak, namun tanpa jatuh ke dalam sinkretisme, skeptisisme dan relativisme.1590

Sidjabat menekankan istilah "Toleransi Positif" orang-orang Kristen tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain, karena sama seperti Yesus di Golgota. Dia pun harus bersaksi dalam kerendahan. Di sini tuntutan Allah kepada manusia seperti yang terdapat dalam Torat dan Injil. Injil tidak meniadakan Torat, tetapi memenuhinya dan dalam keduanya ada tuntutan Allah agar manusia taat kepada kasih setia-Nya yang nyata di Golgota bagi keselamatan semua manusia. Karena itu, "Toleransi Positif, yang di dalamnya kemerdekaan beragama tanpa batas diberikan pada semua agama dan pada semua ajaran.

Melihat Yesus Kristus dalam pluralisme, Sidjabat berpendapat:

Allah menjadikan manusia menimbulkan intoleransi pada orang lain hanyalah karena kesalahpahaman. Memang orang lain tidak mengerti bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia karena adalah batu sentuhan. Bukan hanya orang lain tapi cara berpikir orang Kristen pun tidak akan mengerti rahasia ini. Terkecuali kalau Allah sendiri menyatakan diri-Nya dalam hati, pikiran dan hidup kita semua sebagai manusia barulah kita mengerti rahasia itu dan intoleransi menjadi toleransi. Inilah kebenaran Allah, yang kita pun sebagai saksi tidak dapat mengklaim sebagai kepunyaan kita. Agar toleransi yang benar dapat terjadi hendaknya kita menghindari klaim bahwa kita mempunyai kebenaran. Ini berarti pula kita tidak bersaksi tentang superioritas agama Kristen terhadap agama-agama lain, tetapi bersaksi tentang Kristus yang telah mati dan bangkit bagi semua orang.1591

Orang awam maupun Pendeta bersama-sama hendaknya bersaksi tentang kematian dan kebangkitan Yesus Kristus di dalam hidup sehari-hari, di kantor, pelabuhan, kebun, lapangan, laboratorium, laut dan udara, ya bahkan di luar angkasa sekalipun.1592 Dasar bersaksi atau dialog bagi orang Kristen, yaitu:20) pertama, inti dari dialog adalah Injil Kristus. Kedua, yang diwujudkan sehari-hari iman Kristen adalah pemberian Allah. Ketiga, tindakan manusia sesuai dengan peraturan Roh Kudus sebagai kesatuan iman. Keempat, pengharapan akan akhir zaman. Kelima, hubungan antara orang-orang Kristen dan non Kristen dalam kasih dan saling mengampuni. Keenam, keselamatan hanya melalui kematian Yesus.

B. Dari Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia dan Akibat Peristiwa G 30 S PKI

Sementara dari Sidang Raya ke Sidang Raya. Gereja-gereja sedunia banyak menyinggungi "pluralisme", tetapi baru tahu 1961 dalam Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di India, topik ini dijadikan agenda pembicaraan. Sejak itulah Gereja-gereja semakin membuka wawasan, bahkan Gerakan Oikumene mencakup seantero kehidupan yang ada di dunia ini, tidak hanya sebatas hubungan antara denominasi gereja, tetapi juga menyangkut agama-agama lain.1593

Kemelut politik di dalam negeri sebagai akibat dan reaksi terhadap peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965 mempunyai masyarakat harus mempunyai agama. Dalam kondisi ini perkembangan Perkabaran Injil maju pesat. Pihak Islam menuding bahwa umat Kristen sedang melakukan kristenisasi secara besar-besaran di Indonesia. Dengan alat utama harta benda dan yang membantu suksesnya usaha itu adalah kemiskinan rakyat dan kebodohan bangsa Indonesia pada umumnya.1594 Tapi, baru 1967 merupakan titik kritis bagi gereja-gereja Indonesia untuk memahami secara teologis Alkitabiah hubungannya dengan golongan masyarakat yang menganut agama lain.

Menjelang Sidang Raya DGI 1967 telah terjadi serangkaian pembakaran dan pengrusakan terhadap bangunan Gereja di Sulawesi Selatan dan juga Jakarta. Dimulailah dialog antara umat beragama di Indonesia untuk menata hubungan serta menciptakan kerukunan demi keutuhan bangsa dan masa depan bersama sebagai masyarakat dan negara Indonesia yang bersatu.1595 DGI - yang berubah menjadi PGI - didirikan Mei 1950 tetapi mempunyai kesadaran akan pluralisme pada tahun 1967. Ketuanya waktu itu berurutan: Dr. Mulia, Dr. J. Leimena, Dr. A.M. Tambunan sedangkan Pendeta W.J. Rumambi dan Pendeta Simon Marantika menjabat sebagai sekretaris umum pertama dan kedua.

Sejak itu setiap tahun Balitbang PGI (Badan Penelitian dan Pengembangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) melakukan studi dan seminar perihal realitas agama-agama dan jawaban teologis yang tepat terhadap kenyataan pluralisme tersebut.

Di Manado misalnya, 25 Juli 1969 telah dibentuk Badan Kerja Sama Antar Umat beragama (BKSAUA) berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 91/KPTS/1969. Tujuannya adalah agar pelaksanaan kehidupan bersama dan penyebaran agama yang diakui oleh pemerintah berjalan sesuai dengan Pancasila tanpa menimbulkan ekses pertentangan agama yang dapat menganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban masyarakat. Dijelaskan juga dalam SK tersebut bahwa tugas pokok BKSAUA adalah mempertebal dan memantapkan tata hidup bertoleransi agama dan kerja sama antar umat beragama serta mensukseskan segala program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Kemudian, di Jakarta, sejak bulan Oktober 1979, sudah enam kali pertemuan dilaksanakan, yang kemudian bermuara dengan pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang secara formal dikukuhkan melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 25 tahun 1980 tanggal 30 Juni 1980.1596

Kemudian demi untuk menjaga stabilitas Nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, pada 1 Agustus 1978 dikeluarkan SK Menteri Agama RI H. Alamsyah Ratu Perwira negara tentang pedoman penyiaran Agama yang lebih dikenal dengan SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978. Bunyinya bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk: (a) Ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain. (b) Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian dan seterusnya. (c) Dilakukan dengan cara-cara penyebaran - pamflet, buletin. majalah dan seterusnya. (d) Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.

Beberapa hari kemudian, yaitu tanggal 15 Agustus 1978 dikeluarkan lagi SK Menteri Agama tentang bantuan Luar Negeri kepada lembaga Keagamaan di Indonesia, dikenal dengan SK Menteri Agama No. 77 tahun 1978. Tetapi, pihak Kristen dan Katolik tidak bisa menerima dan meminta SK itu untuk dicabut dan dikembalikan kepada semula dengan alasan: (a) Pembatasan kebebasan penyiaran agama kepada semua orang adalah bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD '45 dan dipertegas oleh Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. (b) Pengotakan daerah-daerah menurut agama adalah bertentangan dengan hakekat Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan wawasan nusantara yaitu satu tanah air. (c) Harus dijamin hubungan yang wajar antara negara Pancasila dengan lembaga keagamaan dalam masyarakat, termasuk gereja; yang selain berakar dalam masyarakat Indonesia, mempunyai dimensi Universal. (d) Kedua keputusan tersebut disangsikan dasar hukumnya.

Di sinilah terjadi tegang antara Kristen, Islam, dan pemerintah. Akhirnya pada 2 Januari 1979 dikeluarkan SK Menteri Agama bersama dengan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia yang dikenal dengan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979.

C. Victor I. Tanja

Victor Immanuel Tanja25 lahir 31 Mei 1936 di Sawu, NTT. S-1 STT Jakarta (1964), M.Th. Christian Theologycal Seminary, Indianapolis, Indiana, USA (1974), S-3 Ph.D. Hartford, Connecticut, USA (1979).

Dengan posisi yang tidak - apakah ia partikular. inklusif atau pluralis - Victor Tanja mempunyai beberapa pemikiran mengenai pluralisme yang cukup menonjol. Misalnya mengenai iman dan pluralisme, ia berpendapat bahwa iman atau kepercayaan berakar pada pengalaman sejarah, dan pluralitas agama menjadi dasar sejarah bagi terciptanya semangat dan dinamika dalam agama-agama untuk mampu menjawab isu-isu kontemporer.

Pluralitas berarti adanya saling hubungan dan ketergantungan di antara hal-hal yang berbeda. Pluralitas mengacu kepada adanya kebersamaan dan keutuhan. Pluralitas menuju terciptanya sebuah etika global.1597 Setidaknya ada tiga tugas dalam gerakan kerja sama antara umat beragama, yaitu: pertama, pertobatan dari sifat berseteru dan dengki yang jelas menganggu hubungan baik antara agama sejak berabad-abad. Kedua, para penganut agama seharusnya tidak takut menelanjangi penyalahgunaan agama. Ketiga, penelahan seharusnya diberikan kepada pencarian sebuah etika global.

Memberikan jawaban yang didambakan orang-orang yang pesimis dan optimis terhadap masa depannya menjadi mempunyai masa depan. Sikap hidup yang realistis, ditingkatkan, dan diperbaharui. Di sini, kita memerlukan ekspresi keagamaan yang baru, sekaligus ibadah keagamaan yang baru. Dengan demikian, akan terbentuk citra tentang manusia yang menganut berbagai tradisi agama. Manusia itu mendiamkan sebuah kota global yang terletak di atas bukit.1598

Lebih dalam lagi Victor berbicara dengan kemungkinan Alkitab sebagai pluralisme. Ia mengatakan:

Alkitab adalah sumber iman Kristiani itu dan nyata. Alkitab tersebut berbicara tentang Allah dalam hubungan-Nya dengan sejarah. Allah menciptakan langit dan bumi sekaligus juga berarti bukan hanya Allah sebagai pembuat sejarah, tetapi juga Allah mau dikenal dalam hubungan sejarah, dalam hubungan dengan ciptaan-Nya atau dalam hubungan hidup. Hubungan hidup berarti pula hubungan yang menghidupkan atau hubungan kasih. Dengan demikian, iman Kristiani itu sama sekali tidak berbicara tentang alam gaib dan menolaknya. Sedangkan keselamatan adalah keselamatan dalam sejarah bersama Allah karena sejarah adalah kepunyaan Allah. Dengan melaksanakan karya-karya yang menumpang hidup itulah maka tanda-tanda keselamatan itu dihayati dan disaksikan. Dalam hubungan ini maka kematian berarti masuki suatu proses kehidupan yang terus-menerus yang di dalamnya Allah berbuat hal-hal yang besar dan ajaib.1599

Jadi sini, iman Kristen tidak berbicara tentang kelestarian atau kekekalan jiwa dalam bentuk arwah dalam alam gaib, tetapi sebaliknya berbicara tentang kematian sebagai hubungan dalam tubuh rohani yang baru yakni suatu tubuh (organ) yang selalu hidup dalam persekutuan dengan Allah.

D. Eka Darmaputera

Eka Darmaputera1600 lahir 16 November 1942 di Mertoyudan, Magelang. Emiretus pendeta Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, dan mempunyai latar belakang Calvinis. S-1 di STT Jakarta (1966), Ia memperoleh gelar Doktor (1982), di Boston College and Andover Newton Theological School (AS) dengan disertasi Pancasila and The Search for Identity and Modernity in Indonesian Society. Menurut Eka Darmaputera:

Dialog tidaklah berarti menyembunyikan kebenaran. Tidak pula mengkompromikan kebenaran. Tetapi mencari kebenaran bersama. Bersama-sama mencari yang paling benar, paling baik dan paling tepat. Bersedia memberi, tanpa memaksa. Bersedia menerima, tanpa terpaksa. Bukankah ini sesuatu keadaan yang paling dapat dipertanggungjawabkan secara etis? Jadi, ada pandangan bahwa etika Kristen hanya berlaku untuk orang Kristen, atau Etika Islam hanya berlaku untuk orang Islam, secara fundamental harus kita tolak, oleh karena ia menjurus pada relativisme dan subyektivisme. Di mana masing-masing kelompok berjalan sendiri-sendiri menurut prinsip, norma dan aturan permainannya masing-masing.

Tapi, Eka lebih tajam dan jelas untuk kedetailan gerakan pluralisme yang berbicara mengenai Alkitab dan berteologia kontekstualisasi. Dia cukup tegas dalam bersikapnya sebagai seorang partikular Calvinis yang mendekati inklusif, sebagai berikut:

Saya percaya Alkitab adalah Firman Allah, sesungguhnya baru menyentuh sebagian saja dari seluruh kebenaran! Belum berbicara mengenal seluruh kebenaran! Belum berbicara mengenai seluruh kenyataan yang menyangkut Alkitab! Oleh karena itu, anjuran saya: jangan buru-buru menguras emosi dan energi hanya untuk mempertahankan kebenaran yang sepotong ini! Alkitab adalah firman Allah. itu sama sekali tidak berarti bahwa Alkitab adalah identik dengan firman Allah, atau bahwa firman Allah adalah identik dengan Alkitab! TIDAK!1601

Di sini Eka terpengaruh terhadap Karl Barth. Bahkan lebih jelas lagi ia mengingatkan bahwa Alkitab dan Firman Allah adalah dua pengertian yang berbeda. Tidak identik. Eka percaya dengan segenap hati bahwa Alkitab adalah firman Allah. namun itu tidak berarti bahwa ia percaya "firman Allah identik dengan Alkitab." Alkitab adalah firman Allah dalam pengertian bahwa Alkitab memberi kesaksian tentang FIRMAN ALLAH yang sesungguhnya, yaitu Logos, Yesus Kristus. Alkitab itu diwahyukan oleh Allah sendiri, maka Alkitab menjadi sumber legitimasi. Firman Allah secara teologis adalah Yesus Kristus, bukan Alkitab. Jadi, orang Kristen bukanlah menggumuli apa yang Alkitab katakan, tetapi menggumuli apa yang Allah mau katakan melalui Alkitab kepada kita, kini dan di sini. Ada firman di dalam firman. Ada kanon di dalam kanon. Seluruh Alkitab adalah firman Allah. namun tidak semua yang tertulis di dalam Alkitab adalah firman Allah yang mengikat semua orang percaya di sepanjang zaman.1602

Sedangkan untuk "Teologi Kontektualisasi", Eka berpendapat bahwa teologi kontekstualisasi adalah teologi itu sendiri. Artinya, teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontektual. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakekatnya, teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara "teks" dengan "konteks": antara "kerygma" yang universal dengan kenyataan hidup yang kontektual. Secara lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan imam Kristen pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.1603

Teologi juga harus memperhatikan tradisi karena tradisi adalah sumber kesaksian tentang upaya umat Kristen untuk memahami kehendak Allah di sepanjang zaman. Di sini, Eka berpendapat bahwa Allah tidak berhenti berfirman setelah Ia menyatakan kehendak-Nya melalui Alkitab. Eka mengatakan:

Di sinilah. menurut keyakinan saya, kesalahan fatal dad fundamentalisme. Kesalahannya tidak terletak pada sikapnya yang amat memperhatikan Alkitab, melainkan pada sikapnya seolah-olah Allah berhenti berfirman di situ.1604 Kerumitan di dalam teologi kontekstualisasi adalah bagaimana kita menghubungkan yang universal dan yang partikular. Di sini saya tidak mungkin dan tidak mampu memberikan jawaban. ... Tapi, yang jelas-jelas salah ialah mereka [para dogmatikus] tidak mau mengakui bahwa ada masalah di sini. Pada satu pihak. adalah mereka yang hanya mau memperhitungkan yang universal dan kemudian secara semena-mena mencangkokkan pada yang partikular. Salah, oleh karena pada hakekatnya yang universal itu selalu ada dalam bentuk partikular. Pada pihak lain, adalah mereka yang dengan semangat menggebu-gebu hanya memperhatikan yang partikular dan mengabaikan dimensi yang universal. Ia salah, oleh karena Allah yang berfirman pada zaman ini tidak lain dan tidak bukan adalah Allah yang sama yang telah berfirman sepanjang zaman.1605

E. Kepedulian Dialog Islam - Kristen

Pada 1984 dalam Konperensi Nasional Gereja. Masyarakat dan Negara yang diselenggarakan oleh DGI, 20-25 Agustus 1984, dirasakan adanya keperluan untuk mengembangkan dialog antara Kristen dan Islam, terutama dialog mengenai peranan agama Islam dalam pergerakan kemerdekaan dan pembangunan. Dialog ini diwujudkan dalam bentuk proyek antar agama. Melalui proyek itu dilakukan percakapan antar agama guna memperoleh pemecahan bersama segala persoalan pembangunan bangsa. Di samping itu dibahas pula tentang bagaimana agama-agama hadir dalam dunia modern dan pesan-pesan apakah yang dapat disampaikan kepada dunia modern mengenai kemanusiaan, kualitas manusia, keadilan, kesejahteraan, kebenaran dan lain sebagainya.1606

Ternyata kesadaran dialog tidak saja dilakukan oleh PGI, tetapi lembaga-lembaga independen pun mulai lahir dan melibatkan diri. Tanggal 10 Agustus 1992 di Yogyakarta misalnya, lahirlah Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Institut Dian),1607 Dian muncul dari kesadaran untuk merefleksikan realitas dinamika kehidupan masyarakat yang plural dan pengalaman-pengalaman empiris, khususnya yang berhubungan dengan tempat, fungsi dan relevansi agama-agama dalam masyarakat. Tokoh-tokoh Dian adalah Eka Darmaputera dan Th. Sumartana.

Dian didirikan dengan maksud dan tujuan:

Institut ini bekerja demi menjalin kerja sama dan dialog antar iman. Tidak bekerja atas nama dan atas kepentingan institusi atau denominasi agama tertentu secara eksklusif. Menghargai partisan pemikiran keagamaan dan menjunjung tinggi kepercayaan setiap agama dengan segala kemajemukannya. Tidak berpijak pada pandangan teologi tertentu kecuali teologi yang bisa menerima dan tidak menolak dialog antar iman.

Institut ini sebagai forum di mana gagasan-gagasan keimanan didialogkan bersama agar bisa saling merangsang dan menumbuhkan pemikiran baru yang lebih eksplisit tentang soal kemanusiaan demi kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat, bahkan umat manusia seluruhnya.

Institut ini memberi tempat dan kesempatan kepada siapa saja terutama generasi muda untuk melatih kemampuan keterbukaan masing-masing dalam debat pikiran, gagasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kenyataan dinamis hubungan antara agama dan masyarakat.1608

Persoalan pluralisme tampaknya sangat menarik. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) melihat betapa pentingnya dialog itu. Sehingga tanggal 31 Agustus - 4 September 1993, UKSW bekerja sama dengan IAIN Semarang, serta Mahidol University, Bangkok. Thailand mengadakan ceramah Seminar Internasional mengenai Agama dan Lingkungan.1609



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA