Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 >  MEMBANGUN SEBUAH "THEOLOGY OF RELIGIONS" INJILI YANG NON PLURALISTIK: APAKAH MUNGKIN > 
TIGA PANDANGAN KLASIK 

Selama ini kita mengenal tiga pandangan klasik berkaitan dengan relasi kekristenan dengan agama-agama lain: ekslusivisme, inclusivisme, dan pluralisme agama. Sudah bukan hal yang baru lagi bila fakta menunjukkan bahwa posisi ekslusivisme adalah yang paling banyak dipegang oleh kalangan Injili. Bahkan boleh dikatakan bahwa mayoritas kalangan Injili memegang teguh type ekslusivisme yang terlalu ketat (strict) dan kaku (rigid).

Kalau kita mencermati lebih kritis terhadap aplikasi penggolongan di atas, acapkali yang terjadi adalah kecenderungan praktik pelabelan terhadap seseorang ke dalam salah satu type. Hal ini dalam kenyataannya tidak kondusif terhadap kehidupan bergereja dan berjemaat yang sehat, yang mempromosikan persatuan dan persaudaraan Kristen. Sebaliknya, yang marak terjadi adalah pelebaran jurang persaudaraan Kristen. Polarisasi antara "kita" dan "mereka" semakin tajam. Kalangan Injili, dengan ekslusivismenya, menganggap diri sebagai pihak yang memiliki kebenaran biblikal (baca: Injil) sejati; yang ujung-ujungnya mengklaim diri "paling mumi" dan "paling benar'. Kelompok Kristen lain dianggap sebagai kaum yang mengkompromikan kemurnian Injil dan klaim absolut ekslusif "Yesus adalah satu-satunya Juruselamat" yang menyingkirkan posibilitas keselamatan di luar pengakuan percaya terhadap Yesus dari Nazareth secara verbal eksplisit. Bahkan ada kalangan Injili tertentu (biasanya yang radikal dan fundamentalis) yang sampai harus memvonis kelompok Kristen lain -- yang memiliki perbedaan doktrin minor (sekunder) -- sebagai "bidat."

Klasifikasi klasik di atas juga tidak akurat dalam menggolongkan seorang teolog ke dalam salah satu type. Kalau kita memasukkan Karl Barth ke dalam ekslusivisme atau Kari Rahner ke dalam inklusivisme atau John Hick ke dalam pluralisme, hal ini masih dapat ditolerir mengingat mereka mengekspresikan posisi teologinya secara gamblang. Namun bagaimana dengan kasus almarhum Lesslie Newbigin? Sebagian kalangan menganggapnya sebagai seorang teolog ekslusivistik. Namun kalau kita menyimak pernyataan Newbigin berikut ini, maka sulit kita untuk secara mudah mengidentifikasikan posisi teologia agama-agamanya.

The position which / have outlined is exclusivist in the sense that it affirms the unique truth of the revelation in Jesus Christ, but it is not exclusivist in the sense of denying the possibility of the salvation of the non-Christian. It is inclusivist in the sense that a reformed to first the saving grave of God to members of the Christian church, but it rejects the inclusivism which regards the non-Christian religions as vehicles of salvation. It is pluralist in the sense of acknowledging the gracious work of God in the lives of all human beings, but it rejects a pluralism which denies the uniqueness and decisiveness of what God has done in Jesus Christ.1564

Karena itulah maka kita perlu penggolongan yang lebih memadai dan fleksibel yang mampu mengidentifikasikan posisi teologia seseorang secara lebih tepat dan obyektif. Luther E. Copeland seorang veteran misionari Baptis Injili yang moderat telah mengusulkan suatu sistem klasifikasi yang menurut hematnya lebih fleksibel dan mengurangi kecenderungan pelabelan yang apriori. Copeland membagi relasi Kristen terhadap agama-agama lain ke dalam beberapa type atau kategori, yaitu:3)

Pertama, negativism yaitu pandangan yang tidak atau hampir tidak melihat adanya kebaikan-kebaikan atau hal-hal afirmatif dalam agama-agama lain. Dengan demikian tidak memungkinkan adanya keselamatan bagi para penganutnya; kecuali untuk kasus-kasus yang sangat langka.

Kedua, dialecticism yaitu memandang agama-agama lain beserta para penganutnya pada saat yang bersamaan secara negatif dan positif. Pandangan ini menganggap dalam semua agama terkandung unsur-unsur kebaikan dan kejahatan; kebenaran dan kesalahan; keagungan dan kenistaan.

Ketiga, confessionalism, yaitu meyakini bahwa iman kepercayaan tidak perlu dogmatik. Para penganutnya cuma mau percaya kepada Yesus serta ajaran-ajaran-Nya dan menyaksikan hal itu kepada orang lain tanpa memperdulikan aspek-aspek akademik teologisnya. Mereka juga tidak mau merendahkan agama-agama lain, bahkan mempertahankan keterbukaan terhadap hal-hal positif mereka.

Keempat, christocentric pluralism, yaitu meyakini Kristus sebagai the Absolute. Para pendukungnya meyakini bahwa ekspresi-ekspresi yang berbeda terhadap the Absolute ini dalam berbagai agama merupakan manifestasi-manifestasi dari Kristus Kosmik. Inkarnasi Kristus Kosmik atau Logos dalam diri Yesus dari Nazareth cuma salah satu dari manifestasi-manifestasi yang ada dan cuma valid bagi orang Kristen.

Kelima, theocentric pluralism. Pandangan ini meyakini bahwa the Absolute tidak boleh diidentifikasi sebagai Kristus. Klaim-klaim Kristen cuma punya keabsahan bagi kalangan Kristen sendiri dan tidak berlaku bagi penganut agama-agama lain. The Absolute ini bukan Kristus dan mengatasi segala bentuk ekspresi dalam agama-agama lain.

Keenam, regnocentric atau soteriocentric pluralism, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa Kerajaan Allah harus dipahami sebagai keselamatan umat manusia dari kehidupan sosial dan manifestasi keadilan dan kasih di dalam dunia yang mengatasinya serta segala ekspresi-ekspresi ultimate lainnya. Dengan demikian cuma ada keabsolutan yang relatif (a relative absoluteness).

Ketujuh, non-relativistic pluralism. Pandangan ini dapat disebut pluralisme dalam arti bahwa pandangan ini mengakui adanya nilai-nilai positif dalam fenomena pluralisme agama-agama; yaitu bahwa Allah menyatakan ke-Allahan-Nya dalam beraneka ragam agama. Dengan demikian, interaksi antar agama-agama dibutuhkan untuk mencapai pemahaman kebenaran secara memadai. Kristus tidak boleh direlatifkan ataupun dimutlakkan, namun harus dipahami dalam pengertian biblikal sebagai Tuhan dan Juruselamat yang universal.

Kedelapan, pre-eschatological agnosticism. Pandangan ini meyakini bahwa penyingkapan kebenaran final berkaitan dengan klaim-klaim keagamaan harus menunggu sampai zaman akhir (the eschaton). Penyataan akhir tentang apa yang benar tidak akan diketahui sampai akhir sejarah.

Proposal Copeland masih terbuka untuk diperdebatkan oleh para teolog Kristen, Hal ini saya maklumi. Saya mengetengahkannya cuma sebagai contoh bahwa masih ada teolog Injili yang berani berteologia secara kritis inovatif demi mencari suatu formulasi teologi yang lebih kompatibel terhadap perkembangan zaman.



TIP #21: Untuk mempelajari Sejarah/Latar Belakang kitab/pasal Alkitab, gunakan Boks Temuan pada Tampilan Alkitab. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA