Resource > Jurnal Pelita Zaman > 
Volume 1 No. 1 Tahun 1986 
 PENGANTAR REDAKSI

Dewasa ini, banyak sekali konotasi yang diberikan kepada pengertian tentang "injili". Ada yang mengerti itu sama dengan Alkitabiah. Yang lain, menghubungkannya dengan prioritas kegiatan untuk PI. Ada juga yang mengaitkannya dengan bentuk-bentuk pengalaman kharismatis seperti yang ada di dalam kitab Kisah Para Rasul. Atau, pengertian "injili" diidentikkan dengan sistim aliran kristiani (teologia) tertentu. Memang istilah ini lebih banyak dimengerti secara grambyangan, lebih-lebih dengan adanya ungkapan Injil sepenuh. Apa itu Injil yang penuh dan kalau tidak penuh, hal mana yang kurang?

Sebenarnya masalah perdebatan mengenai apa itu Injil, sudah setua istilah itu sendiri. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia sudah mensinyalir bahwa ada orang yang "bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus". Ada "Injil lain" yang sebenarnya bukan Injil seperti yang ia beritakan selama ini. (Galatia 1:6-9). Dengan kata lain, pada waktu itu Gereja menghadapi pandangan yang tidak menurut Injil (baca: Alkitab kanonis) atau tidak Injili.

Namun, mengingat ruang dan waktu yang serba terbatas, tidak akan dibahas secara panjang lebar definisi pandangan Injili; lagi pula begitu luas dan pluralitisnya permasalahan yang dapat didekati oleh Injil: maka untuk lebih mudahnya dipakailah semacam pendekatan penidakan, yaitu pandangan Injili bukan ini dan juga bukan itu. Hal ini tercermin dari judul-judul tulisan yang agak berbau konfrontatif. Tentu saja, terbitan kali ini tidak diharapkan akan memberikan gambaran yang komplit dan njlimet tentang pandangan Injili. Selain itu dalam rangka kaitannya dengan era pembangunan yang sedang bangsa Indonesia jalani, tidaklah berlebihan kalau masalah-masalah sekitar pembangunan mendapat sorotan pula. Dengan demikian setelah membaca terbitan ini, pembaca diharapkan akan memiliki pernahaman yang tepat mengenai apa itu pandangan Injili.

Sejauh ini, tentunya di antara pembaca setia ada yang bertanya-tanya, mengapa terbitan kali ini memakai nomor satu lagi. Ya, satu memang bisa berarti permulaan yang baru dari rentetan selanjutnya. Beberapa alasan perlu dikemukakan di sini. Pertama, majalah sudah memiliki format yang tetap. Kedua, susunan redaksi juga sudah lengkap. Ketiga, yang lebih menggembirakan, keluarnya izin terbit dari pihak kepolisian. Ini berarti jangkauan jurnal ini dapat lebih luas daripada sebelumnya. Inilah beberapa catatan perkembangan maju yang telah dicapai.

Akhir kata, sewaktu jurnal ini sampai di tangan Anda, segala puji dan hormat hanya bagi Allah, Yahweh Yireh. Karena "tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmatNya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaanMu!" (Ratapan 3:23).

 SUATU SOROTAN TERHADAP TEOLOGI MODERN
 PANDANGAN INJILI MENGENAI ALIRAN YANG MENGABAIKAN RASIO
Penulis: Stefanus Theophilus
 GERAKAN KHARISMATIK: GERAKAN TRANSENDENTALISASI?
Penulis: Daniel Lucas

"Di dalam pelayanan dan khotbah, saya cenderung tidak memakai otak saya, biar Roh Kudus yang bekerja sepenuhnya", "Kalau saya berdoa, akal saya ini saya buang, sebab kalau akal ini saya pakai, saya tidak akan berhasil untuk berdoa di dalam Roh..."

Pernahkah Anda mendengar seseorang - entah ia seorang awam atau seorang pengkhotbah - mengatakan kalimat yang nadanya persis atau mirip, dengan contoh kalimat di atas? Atau, Anda sendiri pernah mengatakannya baik kepada teman sesama anggota jemaat ataupun di persekutuan-persekutuan?

Syukur alhamdullilah, ternyata kebanyakan Anda, pembaca. Pelita Zaman, termasuk di dalam kelompok yang pernah mendengar (minimum, tentu saja, menurut praduga saya). Lalu, pertanyaannya adalah: apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan kalimat tersebut? Bagaimana Anda mengkajinya? Inilah yang akan kita simak bersama-sama.

Tentu saja ada beberapa alternatif kemungkinan maksud kalimat tersebut. Pertama, mungkin ia sebetulnya hendak mengatakan bahwa ia tidak berani memforsir penggunaan rasionya untuk urusan rohani, ia tidak berani mengandalkan rasio sebab rasio itu picik, korup, dibutakan Iblis, terbatas, serta berada di bawah kuasa dosa. Bukankah Calvin sendiri menganggap bahwa rasio senantiasa dipengaruhi oleh 'radix cordis', yakni akar hati kita yang bobrok? Bahkan, bukankah Luther menyebutnya dengan lebih tajam lagi: rasio itu bagaikan 'si pelacur tua' ('tua' di sini bukan umurnya, tapi pengalamannya), yakni yang selalu setia kepada serangkaian pacar, demikian pula rasio yang sebentar-bentar setia kepada Allah, kemudian beralih setia kepada ilah zaman ini?

Kedua, mungkin orang yang mengucapkan kata-kata tersebut belum bisa (atau belum mau) membedakan antara fungsi fakulti rasio dengan fakulti emosi, atau antara fungsi rasio yang korup dengan rasio yang sudah dipalingkan kepada Kristus. Ia memakai rasionya, tetapi tidak mengaku bahwa ia sedang memakainya. Dapat kita bayangkan betapa pusingnya seorang pendeta apabila seluruh anggota jemaatnya plus majelisnya secara koor mengatakan bahwa mulai sekarang mereka akan melayani secara full dan aktif, tetapi dengan tidak memakai otak.

Ketiga, kemungkinan orang itu mendengar perkataan seperti itu, lalu ia merasakan kalimat itu sangat mengena bagi dirinya dalam konteks zaman ini. Ini berarti orang itu menerima semacam 'oral tradition' dalam satu paket pengaruh filsafat zaman yang sudah meresap secara perlahan-lahan tetapi meyakinkan. Kami katakan demikian untuk mengingatkan agar kita tidak lupa bahwa sesungguhnya filsafat adalah suatu ilmu yang pengaruhnya sangat halus, licin serta tersembunyi (perh. peringatan Paulus dalam Kolose 2:8). Maka yang kerapkali terjadi adalah bukan tentang apa yang kita pikirkan, melainkan dengan apa yang kita pikirkan.

Untuk meyakinkan anda, cobalah anda buka kembali buku-buku Sejarah Gereja dan Sejarah Teologia yang pasti ada bagian tertentunya yang berkisah tentang tokoh-tokoh seperti Tertullian, Pascal atau Kierkegaard. Mereka, tentu saja, merupakan pendahulu-pendahulu kita yang memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia teologia. Tidak layak bagi saya mengeritik, apalagi mendiskreditkan mereka. Hanya satu saja catatan, bahwa merekalah mata rantai yang memisahkan atau menceraikan iman dan rasio. Ada dunianya iman, ada dunianya rasio. Tertullian bahkan mengatakan "I believe because it is absurd", saya percaya oleh karena hal itu tidak masuk akal. Inilah yang disebut Berkouwer sebagai "a blind submission to an 'exterior' revelation or an 'exterior' authority", suatu keyakinan sembarangan yang mengaitkan diri kepada objek penyataan atau otoritas yang ada 'di luar sana' (A Half Century of Theology, Eerdmans, 1979, h. 149). Oleh sebab itulah perkataan Tertullian ini - beserta dengan segenap keyakinannya yang mengacu begitu lekat dengan doktrin Roh Kudus - menarik perhatian kita. Dengan demikian, boleh dikata, Tertullianlah yang menjadi pelopor gerakan antirasionalitas atau gerakan transendentalisasi di dalam tubuh Kekristenan.

 SINKRETISME DALAM PANDANGAN ALKITAB
Penulis: Bambang Ruseno Utomo
 OIKUMENE DAN PEMAHAMANNYA MENURUT ALKITAB
Penulis: Joppy A. Saerang

Aku berdoa: "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21).

Perkataan di atas merupakan satu doa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus untuk gereja dan ini dijadikan landasan dari gerakan Oikumene untuk mewujudkan satu gereja Kristen yang Esa di Indonesia.

Telah bertahun-tahun gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam P.G.I. (dahulunya DGI), berusaha mewujudkan apa yang telah menjadi tujuan dasar PGI yakni pembentukan satu gereja Kristen yang esa di Indonesia. Tujuan ini telah dicanangkan 35 tahun yang lalu. Dari segi waktu memang sudah dalam waktu yang cukup panjang, namun tujuan yang dirindukan untuk terwujud sampai sekarang belum kunjung tiba. Apa yang telah berhasil diperbincangkan dan dirumuskan dalam satu anggaran dasar, ternyata tidak mudah untuk diwujudkan dalam realitas. Mengapa? Jika ditelusuri, maka ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan. Di samping masih terdapat perbedaan pendapat mengenai Oikumene di antara gereja-gereja, juga ada keengganan dan keraguan terhadap motivasi dari gerakan ini. Oleh sebab itu mungkin perlu dikaji kembali akan tujuan yang sudah dicanangkan itu, apakah itu masih relevan, terlebih lagi apakah itu sesuai dengan Alkitab. Tulisan ini selanjutnya akan memaparkan sekelumit mengenai gerakan Oikumene dan kemudian mencoba memahaminya dari kaca mata Alkitab, yang diharapkan nantinya akar, membantu gereja sehingga mempunyai pandangan yang utuh dan dapat menentukan sikap dengan tepat.

 APAKAH ITU INJILI?
 ALIRAN TEOLOGIA DI DUNIA KETIGA: SUATU SOROTAN TERHADAP TEOLOGIA PEMBEBASAN DALAM PERSPEKTIF INJILI
Penulis: Henry Efferin
 DARI HT KE HT: BAGAIMANA MENGGERAKKAN JEMAAT MENJADI GEREJA YANG MISSIONER?
 PELAYANAN KASIH: APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA?
Penulis: Herodion Pitrakarya Gunawan

Apakah pelayanan kasih itu? Pelayanan kasih adalah kasih yang diwujudkan secara nyata dalam tindakan pelayanan, atau pelayanan yang didasari dan didorong oleh kasih.

Dalam bahasa Gerika ada tiga kata untuk KASIH. Yang pertama adalah EROS (cinta berahi). Yang kedua adalah PHILIA (kasih persaudaraan). Yang ketiga adalah AGAPE (kasih ilahi). Dalam istilah PELAYANAN KASIH, kasih yang dimaksud adalah AGAPE, yakni kasih yang tanpa pamrih.

Dalam I Yohanes 4:8 dikatakan bahwa "Allah adalah kasih". Dengan kata lain, Allah adalah sumber kasih. Manusia dapat menerima kasih Allah dan mengenal kasihNya yang rela membela Diri - "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yohanes 3:16) - lalu setelah ia mengenal kasih Allah ia mengasihi sesamanya. "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." (I Yohanes 3:16).

 RENUNGAN REFLEKTIF: INJIL DAN KEMAJUAN ZAMAN
Penulis: Yongky Karman

Abad ke-20 hampir ditutup dan boleh jadi umat manusia tidak sempat memasuki abad selanjutnya. Ketidakpastian semacam ini bukannya tidak beralasan, mengingat manusia telah berhasil membuat dan mengumpulkan senjata nuklir yang mampu menghancurkan seluruh manusia dan peradabannya hanya dalam waktu seketika. Di satu pihak teknologi menjanjikan masa depan yang cerah namun di lain pihak manusia hidup di bawah bayang-bayang kehancuran rohani dan fisik. Bukankah ini suatu tragedi? Sementara itu manusia sebagai homo sapiens terus berpikir keras dan berkarya, sehingga berbagai inovasi dan terobosan telah menyusup hampir ke semua bidang kehidupan.

Bangsa Indonesia, setelah 40 tahun merdeka, juga berusaha membangun dirinya menjadi bangsa yang modern. Sudah ada industri mobil dan kapal terbang, universitas yang memiliki reaktor atom, bahkan sebentar lagi Indonesia akan mengutus puteranya menjelajahi ruang angkasa. Perlu pula dicatat bahwa melalui bantuan teknologi maju, maka Indonesia sudah berhasil swasembada dalam penyediaan beras. Memang sejak akhir Perang Dunia II teknologi maju menjadi kunci baik untuk kekuasaan ekonomi, politik maupun militer. Dan pada saat yang sama ilmu pengetahuan menjadi kunci bagi teknologi maju. Maka teknologi yang berdasarkan ilmu pengetahuan, mulai dari mikroelektronik sampai bioteknologi, menjadi makin penting artinya. Sudah menjadi kenyataan bahwa setiap negara yang mau maju harus ikut dalam perlombaan untuk memperoleh teknologi maju. Indonesia sedang ada di dalam kancah perlombaan ini dan ketinggalan berarti kalah. Itulah sebabnya S.T. Alisjahbana berpendapat "kita seharusnya tidak meminta-minta alih teknologi. Ilmu dan teknologi itu harus kita rebut." (Prisma, XI, 1984, h. 54). Jadi, berteknologi sudah dijadikan prasyarat pembangunan bangsa. Walau masih perlu dipertanyakan berulang kali, apakah manusia tidak akan menjadi manusia yang utuh tanpa teknologi?

Memang era pembangunan merupakan masa yang tak dapat dielakkan di negeri Indonesia ini. Pembangunan mutlak ada sebagai mata rantai sejarah Indonesia merdeka. Indonesia memang sudah mencapai kemerdekaan secara politis. Namun dalam bidang ekonomi bangsa Indonesia masih tergantung serta terbelakang. Maka melalui kebijaksanaan pemerintah seluruh bangsa Indonesia harus dilibatkan dalam modernisasi demi suksesnya tujuan pembangunan. Oleh karenanya pertemuan kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing tidak dapat dihindari lagi. Karena modernisasi sebagai proses ke arah kemajuan mempertemukan teknologi dan kebudayaan Barat dengan kebudayaan lokal.

 RUANG TANYA JAWAB
Penulis: Henry Efferin

1. Sebagai orang awam saya seringkali merasa bingung dengan istilah Injili yang seringkali muncul belakangan ini. Tolong kakak redaksi Pelita Zaman menjelaskan tema ini!

Jawab: Pertanyaan ini sesuai dengan tema utama penerbitan jurnal PZ kali ini. Memang istilah ini belakangan ini sangat populer, hal ini bersamaan dengan kebangkitan kaum Injili di Amerika. Banyak faktor penyebabnya yang tidak akan kami bahas di sini. Yang jelas sebagai suatu gerakan yang mendapat sambutan hangat di kalangan kekristenan, tentunya menimbulkan antipati bagi pihak yang merasa tersudut (non Injili), sehingga dari mereka inilah yang justru membuat pengertian Injili itu semakin kompleks, seolah-olah tidak terdefinisikan lagi. Dari segi lain harus diakui banyak aliran yang muncul dengan label Injili, tetapi kurang dewasa dalam menempatkan diri, maupun kurang luas dalam pemahamannya mengenai kekristenan, sehingga menganggap semua aliran lain tidak pantas disebut Injili, hanya denominasi 'ku'-lah yang seratus persen Injili. Karena itu saya tidak heran kalau sebagai orang awam anda menjadi bingung dengan istilah tersebut.

Saya akan mencoba menjawab dengan singkat. Ditinjau dari istilah Injili itu sendiri berasal dari kata 'Evangel' yang berarti 'good news'. Jadi Injili secara sederhana berarti orang yang mau setia kepada berita Injil secara utuh sebagaimana yang dinyatakan dalam Alkitab tanpa dikurangi atau ditambah. Dari segi doktrin, menurut Kantzer ada konsensus sebagai berikut: 1. Yesus Kristus adalah Anak Allah yang sejak kekal adalah pribadi kedua dalam Allah Tritunggal. 2. Dia berinkarnasi menjadi manusia dengan memiliki dwi sifat yaitu Allah dan manusia. 3. Dilahirkan oleh anak dara Maria. 4. Kehidupan yang tidak berdosa. 5. Mujizat sebagai tanda ketuhananNya. 6. Pengajaran Yesus sebagai otoritas tertinggi dalam Gereja. 7. Penebusan yang bersifat mengganti. 8. Kebangkitan tubuh. 9. Kenaikan. 10. Kedatangan yang kedua kali. 11. Pengadilan terakhir. 12. Penghukuman kekal bagi yang tidak percaya.

Jadi kalau anda mendengar ada salah satu dari doktrin yang kami sarikan disangkal, maka tentunya ia tidak dapat dikategorikan Injili.

Selain itu kalau anda memperhatikan sikap dan penghayatan mereka terhadap kekristenan, ada beberapa gejala umum yang nampak di kalangan Injili, yaitu:

- komitmen, suatu tekad dan kerelaan untuk berkorban atau membayar harga di dalam mengikut Kristus.

- disiplin, kemauan yang sungguh-sungguh untuk mempelajari dan mentaati Firman Tuhan sepenuhnya.

- semangat misionaris, menyampaikan kabar baik untuk menggenapi amanat agung, hal ini jelas didorong oleh keyakinan bahwa hanya dalam Yesus saja ada keselamatan.

Kiranya penjelasan kami ini bisa membuat anda cukup mengerti dan tidak usah pusing kepala tujuh keliling lagi ...

2. Seringkali ada anggapan bahwa Liberalisme (atau yang disebut Teologia Modern yang lain) lebih jujur dan berani di dalam memakai rasionya, sedangkan kaum Injili dianggap mengabaikan prinsip ilmiah atau yang disebut Intelectual Honesty'. Bagaimana jawab PZ?

Jawab: Pendapat anda tidak benar!!! Yang menjadi masalah ialah presuposisinya. Teologia Modern menerima presuposisi evolusi (yang sebetulnya hanya merupakan filsafat - lihat wawancara dengan bapa Heath) dan naturalisme. Ini menyebabkan mereka mencoba meniadakan hal-hal yang supra-natural yang menurut mereka sulit diterima oleh orang modern, misalnya dalam Kristologi, mereka menolak kelahiran dari anak dara, kebangkitan Tuhan Yesus dan hal-hal lain yang berkenaan dengan mujizatNya, sehingga akhirnya Tuhan Yesus hanya menjadi manusia biasa yang layak dijadikan 'panutan' karena kehidupanNya yang saleh. Tetapi justru kalau kita melihat Alkitab, Tuhan Yesus dan supra natural tidak dapat dipisahkan, tanpa supra natural, Tuhan Yesus hanya manusia biasa yang sama dengan tokoh-tokoh lain dalam sejarah. Jika demikian, buat apa disembah? Justru di sinilah letak ketidakkonsistenan kaum Liberal. Di satu segi mereka tidak mempercayai hal-hal yang supranatural, di lain segi mereka juga belum berani melepaskan Yesus sama sekali. Pada awal abad 20 banyak orang mulai melihat kontradiksi tersebut sehingga ada orang yang melepaskan kekristenan sama sekali dan menjadi penganut nihilisme. Namun ada sekelompok orang lain (dipelopori oleh Barth, yang kemudian dikenal dengan istilah Neo Ortodoks) yang mencoba 'menyelamatkan' kekristenan dari kehancuran. Tetapi sayang sekali mereka tidak lepas dari presuposisi naturalisme, juga kritik sastra tinggi (higher criticism - yaitu suatu cara menyelidiki Alkitab dengan menyangkali bagian-bagian yang menurut mereka tidak historis atau tidak masuk akal). Lalu timbul pertanyaan, kalau data-data dan peristiwa-peristiwa di dalam Alkitab (khususnya supranatural) tidak dapat dipercaya, bagaimana mereka dapat menyelamatkan kekristenan? Jawabannya yaitu dengan lompatan iman (leap of faith), yaitu suatu pengalaman yang subjektif dan tidak dapat dijelaskan mengenai bagaimana Allah menyatakan diri terhadap pribadi orang tersebut. Jadi mereka merasa dengan lompatan iman tersebut iman kristiani mereka menjadi aman, data-data dalam Alkitab boleh salah, boleh tidak ilmiah, tetapi iman yang dihasilkan oleh pengalaman subjektif tersebut tidak akan terpengaruh. Sebetulnya pandangan ini menimbulkan masalah tersendiri yang sulit dijawab. Kalau tidak ada suatu kebenaran yang objektif sebagai dasar iman, bagaimana membedakan antara kekristenan. dengan agama lain? Atau lebih khusus lagi bagaimana membedakan pengalaman subjektif melalui lompatan iman itu dengan pengalaman para penganut aliran mistik Timur atau kebatinan, bahkan dengan pengalaman orang yang mengisap obat bius.

Menurut kami sebetulnya pilihan itu hanya ada 2, Yesus plus supranatural atau tidak sama sekali. Kaum Injili percaya bahwa mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus memang terjadi dalam sejarah. Misalnya mujizat terbesar yakni kebangkitan. Dalam I Korintus 15:17 Paulus mengatakan bahwa kalau Kristus tidak bangkit, sia-sialah kepercayaan kita. Hal tersebut tentunya tidak melanggar intelectual honesty. Ilmu hanya bisa memprediksi (meramalkan) berdasarkan kemungkinan yang tertinggi tentang apa yang akan terjadi. Namun ilmu tidak bisa membuktikan bahwa sesuatu dengan probalilitas terendah (mujizat) tidak pernah terjadi pada masa lampau. Hanya data-data sejarahlah yang dapat membuktikan apakah Yesus bangkit atau tidak. Seorang skeptis yang bernama Frank Morrison mencoba mengumpulkan data-data sejarah untuk membuktikan bahwa Yesus tidak bangkit. Namun justru dia sampai pada satu kesimpulan yang sangat tidak diharapkannya, yaitu bahwa kebangkitan Tuhan Yesus tidak dapat disangkal secara historis. Hal tersebut dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Who Moved the Stone29. Dengan kemajuan arkeologi banyak hal yang dahulu diragukan oleh kaum Liberal, justru membuktikan kebenaran data-data di dalam Alkitab, salah satu penemuan yang menguatkan keaslian naskah Perjanjian Lama yang kita miliki yaitu Naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls). WF Albright, seorang arkeolog terkenal, mengatakan bahwa teori-teori kaum Liberal yang meragukan data-data dalam Alkitab kebanyakan merupakan produk zaman pra arkeologi, sekarang sudah usang dan seharusnya teori tersebut disimpan dalam museum. Jadi pandangan manakah menurut anda yang lebih konsisten, yang lebih dekat kepada 'Intelectual Honesty'. Well, what is your choice?

 TIMBANGAN BUKU

COMMON ROOTS: A Call to Evangelical Maturity.

PENULIS: Robert E. Webber, diterbitkan oleh Zondervan, 1982, 256 halaman.

Sesuai dengan tema besar penerbitan jurnal Pelita Zaman kali ini yaitu Mengenal Pandangan Injili, maka tinjauan buku ini menjadi sangat relevan. Karena tujuan dari penulisan buku ini sendiri ada dua, yang pertama mencari akar yang sama di antara sekian banyak aliran yang menyebut dirinya Injili, yang kedua sebagai konsekuensi dari yang pertama, yaitu panggilan untuk kembali kepada kekristenan yang bersejarah.

Banyak aliran atau gereja yang seolah-olah 'demam' label Injili, tidak sedikit yang sebetulnya tidak mengerti apa latar belakang dan makna pemakaian istilah tersebut. Ada yang mempersempit istilah Injili sehingga seolah-olah ingin memonopoli istilah tersebut, hanya denominasiku saja yang berhak memakainya, sebaliknya ada yang memperluas istilah Injili sehingga tidak mempunyai arti yang khas lagi.

Sebenarnya pengaruh individualisme dan eksistensialisme sangat kuat dalam kehidupan umat kristiani. Akibatnya kita lihat terjadinya perpecahan gereja di sana sini tanpa alasan yang jelas dan prinsipil. Mereka seolah-olah berpikir "pokoknya saya punya Alkitab, toh ada Roh yang memimpin", dan "saya ada uang untuk membangun gereja". Dengan demikian gereja menjadi independen dan terlepas dari akar sejarahnya sama sekali. Robert Webber menyebut hal ini sebagai 'evangelical amnesia', penyakit lupa terhadap masa lampau. Kelompok Injili tersebut seolah-olah lupa bahwa proses terjadinya kanon Alkitab dalam bentuk yang sekarang baru disahkan pada tahun 397 yaitu dalam konsili di Kartago. Jelas sekali peranan gereja mula-mula sangat penting di dalam menyeleksi tulisan-tulisan yang dimasukkan dalam kanon, gereja mula-mula percaya bahwa merekalah yang menurunkan suksesi apostolik (apostolic succession, lihat Ef. 2:20). Reformasi pun sebetulnya suatu panggilan kembali pada kekristenan yang bersejarah, sebab di situlah akar keuniversalan gereja. Namun kelompok Injili yang independen tersebut mengacuhkan hal tersebut, dengan mudah mereka merasionalisasikan panggilan oikumene gereja (Yoh. 17:21) sebagai kesatuan dalam Roh, padahal satu dengan yang lain tidak ada kerja sama, bahkan 'saling menyerang'.

Pada halaman 32, Webber merangkum sebanyak 14 aliran yang menurut dia, semuanya dapat dikategorikan sebagai Injili, tetapi justru di antara mereka saling menyerang misalnya; Fundamentalis vs Neo Evangelical; Konservatif vs Progresif; Non Karismatik vs Karismatik; Covenantalis vs Dispensasionalis; Arminian vs Calvinis; Premil vs Amil, dan seterusnya. Sikap-sikap yang demikian inilah menurut Webber sebagai sikap Injili yang belum dewasa. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dibedakan antara 'faith' dan 'formulation'. Webber mengartikan faith di sini sebagai suatu sari iman kepercayaan, yang mutlak kita yakini sebagai credo. Sedangkan formulation adalah pemikiran teologis yang dikembangkan manusia di dalam konteks dan latar belakangnya pada zaman tertentu tersebut. Agustinus mempunyai sistem pemikirannya sendiri, demikian juga dengan Luther, Calvin, Arminius, Menno Simons dan yang lainnya. Dengan mengakui bahwa kita satu dengan yang lain adalah anggota satu Tubuh, melalui kasih, pengertian, kesabaran dan penerimaan, kita perlu saling belajar dan saling mendukung baik di dalam perbedaan maupun di dalam kesamaan yang ada. Hanya dengan mengakui bahwa teologia adalah pemikiran manusia tentang kebenaran, barulah kita bisa membangun satu dasar di mana kesatuan dan perdamaian di antara Injili bisa terwujud.

Panggilan kepada suatu akar yang sama dan kepada suatu kedewasaan di kalangan Injili memerlukan suatu tekad dan pembaharuan di dalam lima aspek, yaitu:

1. Gereja suatu pembaharuan mengenai hakekat gereja, baik lokal maupun universal. Apakah makna sesungguhnya menjadi gereja?

2. Ibadah - suatu pembaharuan mengenai makna dan bentuk ibadah Kristen. Bagaimana gereja bisa menjadi suatu komunitas yang beribadah?

3. Teologia - suatu pembaharuan mengenai dasar kebenaran yang fundamental dari kekristenan yang konfensional. Bagaimana gereja memikirkan mengenai apa yang ia percayai?

4. Misi - suatu pembaharuan mengenai misi dasar dari gereja. Apa tujuan gereja berada di dalam dunia?

5. Kerohanian - suatu pembaharuan mengenai kehidupan devosional gereja terhadap Tuhannya. Bagaimana kita bisa menjadi orang yang rohani dalam arti yang sesungguhnya?

Pembaharuan dalam lima aspek itulah yang menjadi pokok pembahasan Webber dalam keseluruhan bukunya. Secara umum dapat kami katakan bahwa buku tersebut membuka suatu cakrawala yang lebih luas bagi kaum Injili, yang sering kami katakan mempunyai mental yang belum 'siap tinggal landas'. Namun ada beberapa hal yang memberi kesan dibahas terlalu terburu-buru atau terlalu umum sifatnya, tetapi dari segi lain kami pikirkan mungkin tujuan penulis memang hanya merupakan himbauan umum terhadap kaum Injili, sehingga menghindarkan hal-hal yang detail. Tetapi sekali lagi, buku ini perlu dibaca khususnya bagi kaum Injili yang sedang menggalakkan dan meningkatkan dirinya baik dalam segi akademis, maupun kualitas pelayanannya.

Lily L. Efferin

 MENGENAL PENULIS

Bambang Ruseno Utomo, adalah dosen Islamologi pada Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang, sekaligus sebagai tenaga pembina pada Pusat Pembinaan Anggota Gereja, Malang. Selain sebagai dosen dan pembina, beliau aktif pula dalam pelayanan jemaah khususnya di lingkungan GKJW.

Henry Efferin, lahir di Surabaya, memperoleh gelar B.Th.. dari Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kini melayani pekerjaan Tuhan di Gereja Kristen Abdiel Gloria, Surabaya.

Joppy A. Saerang; lahir di Manado, kini tengah melayani pekerjaan Tuhan di Gereja Kristen Muria Indonesia, Jepara, setelah sebelumnya menyelesaikan studi B.Th. di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang.

Stefanus Theopilus, lahir di Jakarta, memperoleh gelar B.Th. dari Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kini melayani pekerjaan Tuhan di Gereja Kristen Indonesia Hok Im Tong, Bandung.

Yongky Karman, lahir di Jakarta, kini sedang melayani pekerjaan Tuhan di Gereja Kristus Tuhan Kediri, Jawa Timur, setelah menyelesaikan studi B.Th. di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.

Herodion Pitrakarya Gunawan, lahir di Kudus, 19 Mei 1949. Meninggalkan STT Duta Wacana Yogyakarta akhir 1971, dan mulai melayani secara penuh di ladang Tuhan 2 Januari 1972 di GKI Sangkrah, Surakarta. Pernah menjadi Gembala Jemaat di GKMI Kudus dan GKMI Jepara, selain juga pernah menjadi Sekretaris Umum Sinode GKMI. Menjadi anggota Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Teologia/Yayasan Perguruan Tinggi Duta Wacana dan sekaligus Dewan Kurator STT Duta Wacana dalam kurun 1979 - pertengahan 1986. Sejak pertengahan 1986 melayani sebagai Gembala Jemaat GKI Purwodadi, Jawa Tengah. Kegiatan lain adalah sebagai penatar/penceramah, pengkhotbah Kebangunan Rohani dan penulis buku.



TIP #25: Tekan Tombol pada halaman Studi Kamus untuk melihat bahan lain berbahasa inggris. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA