Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 > 
KAPITALISME: DARI MASA KE MASA 
Penulis: Arya W. Darmaputera

Sama seperti `isme-isme' lainnya, kapitalisme adalah falsafah, cara berpikir, pandangan hidup, dan paradigma. Pandangan, falsafah, dan cara berpikir dibentuk oleh lingkungan dunia dimana ia tumbuh. Dan karena lingkungan dunia di mana ia bertumbuh itu adalah selalu dinamis dan berubah, maka falsafah dan paradigma seperti kapitalisme mengalami penyesuaian dari masa ke masa dan mengalami akulturasi di dalam konteks masyarakat dimana ia diam. Misalnya saja kapitalisme Amerika Serikat berbeda dengan kapitalisme Eropa dan Australia (yang lebih egalitarian dan sosialistik). Kalau sekarang saya harus menjawab pertanyaan apakah kapitalisme itu manusiawi, maka perlu dijelaskan kapitalisme yang mana, apa, kapan, dan siapa.

Lewat tulisan ini, saya tidak akan memberikan judgment atas pertanyaan tersebut, melainkan mencoba memperbandingkan lewat pendekatan sejarah bagaimana kapitalisme muncul dan berkembang dengan segala variasinya sebagai falsafah hidup, bekerja, politik, ekonomi dan sosiologi. Para pembaca dapat menyelami dan merenungkan sendiri apakah ada variasi kapitalisme yang manusiawi atau tidak.

 1. KAPITALISME SEBAGAI PANDANGAN HIDUP DAN KERJA

Melihat sub judul ini, banyak pembaca pasti teringat pada Max Weber dan bukunya Die protestantische Ethik yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Etika Protestan dan Jiwa Kapitalisme. Protestanisme (khususnya Calvinisme Puritan) dianggap sebagai inspirator bagi pemeluknya untuk bekerja dengan giat dan mengembangkan usaha. Kapitalisme dan protestanisme merupakan pandangan hidup beragama dan bekerja yang menyatu dan sejalan.

Tetapi sesungguhnya kapitalisme sebagai pandangan hidup tumbuh dan berkembang sebelum protestanisme dan reformasi gereja itu sendiri. Menurut Richard Osborne, kapitalisme muncul pada akhir abad-abad pertengahan, dan merupakan salah satu pendorong renaissance. Bila abad pertengahan (11-15) di Eropa diwarnai oleh sistem sosial ekonomi feodal dan mendominasinya dogma Gereja (dengan huruf besar) di atas pemikiran filsafat sekuler, maka renaissance (1440-1540) ditandai oleh

... a new culture, capitalist in economy, classical in art and literature, scientific in its. approach to nature.

... More and Erasmus gave birth to humanism, as a critique against mideavelism. Da Gama, Columbus, Magellan made the great voyages. Copernicus turns astrology to astronomy. Vesalius provides a systematic study of human anatomy. God enters the heart of individual via the reformation. Advances in the science of painting by Leonardo da Vinci and Alberti. And technological advances were apparent in mining, pumping, metalurgy and printing.

Semangat yang ada pada masa tersebut terangkum oleh ucapan Alberti: "Men can do all things if they will". Manusia dapat melakukan apa Baja bila ia menghendaki. Semangat yang begitu besar sangat berbeda dengan yang berlaku pada abad pertengahan di mana manusia dikekang kebebasannya oleh dogma-dogma Gereja (Roma Katolik) yang didominasi oleh ajaran Thomas Aquinas.

Masyarakat kapitalis mulai berkembang di Italia Utara yang menjadi pusat perdagangan dan ekonomi yang kaya raya. Sangat berbeda dengan masyarakat feodal pada masa sebelumnya, di mana ada hubungan yang jelas antara kelas tuan tanah dan pekerja. Mobilitas sosial sangat tinggi, dan manusia tidak dinilai berdasarkan keturunan atau kekayaan yang dimiliki, melainkan kemampuan ketrampilan, dan kerjanya. Inilah yang menjadi dasar perbedaan feodalisme dan kapitalisme. Masyarakat kelas saudagar di kawasan ini (yang berpendidikan, aktif berpolitik dan sekuler dalam pandangannya) menjadi cikal bakal kapitalisme, dan lebih jauh daripada itu, menjadi cikal bakal abad pencerahan. Korupsi yang merajalela di Gereja pada saat itu, ditambah dengan kengerian Perang Salib dan semangat nasionalisme mulai mendobrak dogma dan ajaran Roma Katolik dan membuka jalan bagi pencerahan, reformasi dan kontra reformasi (yang antara lain melahirkan ordo Jesuit yang sangat berperan membenahi Gereja Katolik Roma).

Singkatnya kapitalisme sebagai pandangan hidup dan kerja terlahir dari kelas saudagar (borjuis) yang berhasil mewujudkan kekayaannya bukan karena warisan tetapi karena semangat bekerjanya sendiri. Kapitalisme juga menggeser feodalisme, bukan saja dalam hubungan antar masyarakat, melainkan juga dalam cara bekerja. Dalam era feodalisme, seorang anak tuan tanah mungkin tidak usah bekerja sampai mengeluarkan keringat untuk menikmati kekayaan dan keberhasilan; sebaliknya seorang anak buruh tani harus membanting tulang setiap harinya hanya untuk hidup sekedarnya. Dalam masyarakat kapitalis, keluarga-keluarga kelas borjuis tidak berpandangan seperti itu. Setiap anak harus berpendidikan dan bekerja keras untuk dapat berhasil dan bersaing di dunia kerja dan anak buruh pun dapat menikmati mobilitas sosial ke atas bila ia mau bekerja keras.

 2. KAPITALISME SEBAGAI PARADIGMA POLITIK DAN EKONOMI

Bila kapitalisme sebagai pandangan hidup merupakan kritik utas feodalisme, maka kapitalisme sebagai paradigma politik merupakan kritik atas realisme dan kapitalisme sebagai paradigma ekonomi merupakan kritik atas merkantilisme. Mari kita kembali ke sejarah, kepada masa pencerahan yang baru saja kita tinggalkan pada bagian yang lain.

Kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa kapitalisme mempunyai akar dan asal mula di Italia Utara, dengan tumbuhnya kota-kota yang menjadi pusat perdagangan di kawasan Eropa. Dan pada pencerahan dan segala atributnya menimbulkan perkembangan teknologi yang sangat pesat, terutama untuk ekspedisi-ekspedisi pelayaran ke Asia, Afrika, dan Amerika. Di abad pencerahan ini pulalah muncul semangat nasionalisme, yang menjadi jati diri manusia Eropa menggantikan jati diri agama (kekristenan)sesudah mereka berhasil menahan ekspansi Islam pada masa perang salib. Muncullah kebanggaan nasionalistik menjadi orang Spanyol, Inggris, Belanda, Jerman, Itali, Portugis, dan sebagainya. Sebagai salah satu sumber kebanggaan tersebut adalah bagaimana masing-masing negara ini melakukan "the great voyages" mencari koloni-koloni baru untuk dikuasai.

Persaingan antar bangsa tak tertahankan. Zaman kolonialisasi dan imperialisme dimulai. Sejak abad ke-16, tata dunia internasional sudah berubah menjadi hubungan imperial kolonial, di mana hanya 'ada dua macam negara di dunia: (1) yang menjajah, yaitu Eropa; dan (2) yang dijajah, yaitu seluruh dunia lainnya. Mulailah masa yang penuh dengan peperangan dan kekerasan di dalam hubungan internasional. Bukan saja peperangan antara kelompok (1) dan (2) di atas, melainkan juga perseteruan antar kelompok penjajah sendiri. Yang paling dekat dengan kita adalah persaingan Belanda dan Portugis untuk menguasai Selat Malaka dan persaingan Portugis dan Spanyol memperebutkan Maluku, yang kemudian keduanya dibasmi oleh Belanda, sehingga Spanyol menyingkir ke Filipina dan Portugal menyingkir ke Timor. Timur. Perseteruan antar negara Eropa ini menyebar dan nyata di seluruh penjuru dunia.

Lalu apa hubungannya dengan kapitalisme? Kapitalisme dalam pola pikir ekonomi dan politik sekarang tidak menjadi arus utama (mainstream). Mengapa? Karena sekarang prioritas utama bagi negara-negara di dunia adalah bagaimana mengalahkan negara lainnya di dalam persaingan teritorial. Kepentingan yang utama adalah kepentingan negara, bukan kepentingan individu (yang menjadi prioritas di dalam masyarakat kapitalistik). Kepentingan negara di dalam masa yang penuh pertempuran dan peperangan ini adalah bagaimana caranya mengungguli negara lain di dalam persenjataan dan militer. Konsekuensinya adalah negara harus mempunyai mesin-mesin perang yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Dan untuk menyediakan mesin-mesin perang ini, dibutuhkan emas dan perak sebanyak-banyaknya (yang menjadi alat tukar pada masa itu). Bagaimana memperoleh emas dan perak sebanyak-banyaknya? Sama saja dengan bagaimana sebuah negara modern saat ini ingin memperoleh devisa, yaitu dengan menekan impor dan memperbesar ekspor. Apa konsekuensinya di dalam dunia ekonomi? Negara harus kuat di atas masyarakat, demokrasi dianggap sebagai suatu yang melemahkan kekuatan nasional dan kegiatan ekonomi harus dipimpin oleh kekuatan kelembagaan negara yang kuat untuk mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya nasional guna kepentingan nasional (baca: memenangkan perang).

Mulailah masa di mana kapitalisme dibelokkan dari kepentingan individu menjadi kepentingan negara/nasional. Paham yang memprioritaskan kepentingan negara di atas kepentingan individu dan menganggap bahwa negara atau pemerintah harus kuat dan masyarakat lemah dinamakan realisme. Kalau kapitalisme liberal mengajarkan bahwa pemerintah harus campur tangan seminimal mungkin di dalam perekonomian, maka realisme mengharuskan suatu sistem ekonomi yang disebut merkantilisme. Merkantilisme adalah sistem di mana pemerintah secara aktif menguasai dan mengalokasikan sumber daya ekonomi guna mencapai tujuan-tujuan yang sudah digariskan. Pemerintah yang kuat sangat penting karena menurut kaum merkantilis, tujuan utama bagi suatu bangsa adalah mengungguli negara lain di dalam perang dan ini membutuhkan senjata. Senjata harus dibeli dengan emas dan perak, sementara emas dan perak hanya dapat diperoleh dengan meningkatkan ekspor dan meminimalkan impor. Rakyat tidak bisa dibiarkan begitu saja mengkonsumsi barang-barang impor semau-maunya sehingga pemerintah harus aktif mengatur pola konsumsi dan produksi pelaku-pelaku ekonomi di negaranya. dengan demikian pemerintah harus kuat melawan keinginan-keinginan masyarakat yang berlawanan dengan tujuan nasional dalam penghematan tersebut. Kadang-kadang pemerintah menggunakan kekuatan militer atas rakyatnya sendiri demi maksud dan tujuan ini.

Realisme sebagai paradigma politik kemudian dikritik oleh liberalisme yang berkembang sejalan dengan pencerahan yang semakin cerah dengan Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis (1776 dan 1789). Liberalisme muncul sebagai paradigma baru yang lebih mengutamakan kebebasan individu di atas kekuasaan negara. Paradigma liberalisme menjadi `laku' karena pada akhir abad ke-18 ini koloni-koloni di Amerika Latin, Afrika, dan Asia pada umumnya telah jelas batas-batasnya sehingga jarang sekali ada persaingan dan pertempuran antara negara Eropa lagi. Pada masa damai seperti ini pemerintah yang bertangan besi tentu tidak relevan lagi di dalam kehidupan masyarakat Eropa. Dan dengan demikian merkantilisme sebagai paradigma ekonomi juga menghadapi kritik yang keras. Kapitalisme sebagai sistem dan paradigma ekonomi dilahirkan oleh ekonom-ekonom klasik yang diawali oleh Adam Smith, kemudian dilanjutkan oleh David Ricardo, John Stuart Mill, dan Thomas Robert Malthus.

Ekonom klasik menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi (dan bukannya ekspansi militer internasional) adalah yang utama, dan pertumbuhan ekonomi dapat diraih dengan pemupukan modal (kapital) yang setinggi-tingginya dan secepat-cepatnya. Adam Smith dianggap sebagai `Bapak Ilmu Ekonomi' bukan karena dia yang pertama menciptakan dalil-dalil dan teori-teori interaksi ekonomi di dalam masyarakat, tapi karena Smith adalah orang pertama yang memisahkan `ekonomi' dari `politik', dan menjauhkan `pasar' dari `bedil'. Efisiensi, produktivitas, dan persaingan pasar menjadi teramat penting untuk menumbuhkan perekonomian dan produksi. Dan ini membutuhkan pemerintah `hands-off' dari perekonomian dan membiarkan semuanya bebas (laissez-faire). Mereka menganggap bahwa campur tangan pemerintah, kecuali untuk barang dan jasa publik tertentu, hanya akan mendatangkan inefisiensi dan pilih kasih yang: tidak memungkinkan terjadinya persaingan yang adil. Lebih lanjut lagi, di dalam politik keseharian pun, liberalisme menganggap bahwa pemerintah juga harus seminimal mungkin, dengan kata lain lebih baik pemerintah terlalu lemah daripada terlalu kuat.

Namun demikian, kapitalisme klasik seperti ini menghasilkan ketidakadilan yang muncul dari dalam dirinya (embedded). Mengapa? Ekonom-ekonom klasik sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan tercapai bila terjadi pemupukan modal di dalam suatu masyarakat. Dari mana asalnya pemupukan modal ini? Ada dua sumber: tabungan masyarakat dan laba perusahaan. Namun demikian, tabungan masyarakat (yang per definisi adalah kelebihan pendapatan di atas konsumsi) sangat tidak bisa diharapkan karena seseorang bila mendapatkan pendapatan melebihi kebutuhannya biasanya akan digunakan untuk konsumsi yang berlebih-lebihan. Jadi satu-satunya sumber kapital yang memungkinkan adalah laba perusahaan. Laba perusahaan adalah pemasukan perusahaan dikurangi biaya-biaya. Salah satu komponen terbesar dari biaya itu adalah upah. Untuk memaksimalkan laba perusahaan (dengan demikian memaksimalkan kapital dan pertumbuhan ekonomi), biaya harus diminimalkan, dengan demikian upah juga harus diminimalkan. Ini sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa upah (pendapatan) yang berlebihan harus dihindari, sehingga upah cukup diberikan sesuai dengan kebutuhan subsistemnya. Subsistem maksudnya agar supaya si pekerja tetap eksis, tidak sampai mati atau sakit (sehingga menghambat proses produksi). Oleh Adam Smith dan pengikut-pengikutnya, hal ini disebut sebagai the iron law of wage, di mana upah harus ditekan sedemikian rupa sehingga hanya cukup bagi pekerja untuk hidup subsistem. Hukum upah besi ini adalah sasaran utama dari para kritikus kapitalisme, termasuk Marx, dan juga yang mengakibatkan banyak orang menilai kapitalisme sebagai sesuatu yang tidak manusiawi.

Sebelum kita lanjutkan, baiklah kita ingat bahwa kapitalisme liberal mempunyai ciri-ciri: (1) persaingan bebas dan laissez-faire; (2) campur tangan pemerintah minimal; (3) pertumbuhan ekonomi di atas politik; (4) pemupukan modal sebagai kunci pertumbuhan; (5) upah besi. Sedangkan kecuali nomor (5), merkantilisme mempunyai ciri yang persis berlawanan dengan ciri liberalisme ini. Liberal kapitalisme menjadi paradigma politik dan ekonomi yang sangat laku sampai menjelang pertengahan abad ke-19. Ia juga menjadi filosofi yang berkembang sejalan dengan revolusi industri yang membutuhkan profesionalisme, efisiensi, dan produktivitas.

Namun aplikasi kapitalisme klasik, termasuk di dalamnya upah besi menjadikan kesenjangan yang semakin lebar. Para pemilik modal (kapital) yang tidak banyak bekerja hidup kaya raya sedangkan para pekerja yang membanting tulang setiap hari hidupnya pas-pasan. Keadaan ini menyebabkan Karl Marx mulai berpikir mengenai distribusi sebagai hal yang lebih utama daripada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme hanya menggemukkan kantong-kantong para pemilik modal sementara para pekerja secara sistematis dimiskinkan. Ia juga mengkritik pasar bebas ala kapitalisme liberal. Konsepnya adalah `bebas belum tentu adil.' Persaingan bebas memang bebas, tetapi` tidak adil, karena kalau konglomerat dibiarkan bebas bersaing dengan pengusaha kecil justru yang terjadi adalah ketidakadilan.

Gerakan Marxisme, sosialisme, dan komunisme sebagai kritik atas kapitalisme berkembang pesat di Eropa yang sudah terindustrialisasi. Di hampir setiap negara Eropa partai kiri mendapat dukungan yang makin lama makin besar. Sampai-sampai di awal abad ke-20 dikenal apa yang disebut Eurocommunism atau Marxisme Barat yang memikat golongan kelas menengah dan akademisi Eropa, sehingga menjadi arus utama (mainstream) dunia politik dan ekonomi. Salah satu tokoh yang berhasil mempopulerkan Marxisme kepada kelas menengah Eropa adalah George Lukacs dan bukunya "History and Class Consciousness." Menurut Lukacs, manusia bergerak dan mengekspresikan diri di dalam kelompok `kelas' sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya di dalam kelas tersebut dan membuat tuntutan politiknya sesuai dengan kelasnya ("Saya kelas pekerja dan ingin pajak bagi orang kaya dinaikkan" atau "Saya kelas kapitalis dan ingin pajak diturunkan", dan sebagainya). Manusia tidak terlalu mengidentifikasikan dirinya di dalam kelompok bangsa/suku, seperti yang diasumsikan oleh paradigma realisme/merkantilisme ("Saya orang Indonesia" atau "Saya orang Jawa") dan tidak juga berdiri sendiri secara individual tanpa afiliasi, seperti yang diasumsikan oleh paradigma liberalisme/kapitalisme.

Di dalam perekonomian, Marxisme menganggap bahwa peran negara tidak usah minimal, tetapi juga tidak maksimal, yang penting negara bertugas melaksanakan distribusi yang merata mungkin dan menyediakan arus pendapatan dari yang kaya kepada yang miskin. Dalam hal demokrasi, Marxisme lebih mementingkan demokrasi sosial (ekonomi) ketimbang demokrasi liberal (politik).

 3. KAPITALISME DAN LIBERALISME ABAD KE-20

Pada bagian yang lalu nyata bahwa ada tiga arus utama pemikiran politik ekonomi: (1) Realisme/Merkantilisme; (2) Liberalisme /Kapitalisme; (3) Marxisme/Sosialisme. Tiga pemikiran ini mempunyai ciri dan struktur berpikirnya masing-masing.

Tabel 1. Perbandingan Paradigma MUM Ekonomi Mama

Realisme/ Liberalisme/ Marxisme/

Merkantilisme Kapitalisme Sosialisme

Unit analisis Negara Individu Kelas

Prioritas 1. Stabilitas 1. Pertumbuhan 1. Pemerataan

I 2. Pertumbuhan 2. Stabilitas 2. Pertumbuhan

3. Pemerataan 3. Pemerataan 3. Stabilitas

Sikap politik Konservatif Liberal Radikal

Sikap terhadap Tidak ingin Perubahan gradual Perubahan radikal me

demokrasi perubahan (status menuju demokrasi

quo) liberal nuju demokrasi sosial

Afiliasi utama Kelas Kelas menengah Kelas buruh

elite/pemimpin

Orientasi Kelompok penguasa Tidak ada/sama Kelompok bawah

ke - entm I an rata

Pada bagian yang lalu pula, kapitalisme dan liberalisme telah dikritik oleh Marxis yang menyatakan bahwa antara lain kapitalisme akan hancur akibat pemberontakan dan revolusi kelas buruh yang akan mendatangkan komunisme. Lukacs juga telah membawa Marxisme kepada kelas menengah dan intelektual Eropa sehingga liberal kapitalisme sedikit banyak mulai tersaingi superioritasnya. Apalagi dengan depresi besar pada 1930-an yang menjadi momok terbesar bagi sistem ekonomi kapitalis saat itu. Namun demikian kapitalisme dan liberalisme tidak tenggelam sama sekali. Para pendukungnya mulai bangkit dan menyesuaikan (dan melunakkan) teori-teori ekonomi pasar sehingga liberal kapitalisme berjaya kembali. Kebangkitan ekonomi liberal kapitalis bangkit dalam dua gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang neo klasik yang sama dengan kaum klasik percaya akan pasar bebas tetapi tidak terlalu streng dalam membatasi gerak-gerik pemerintah di dalam ekonomi. Gelombang kedua adalah era perang dingin di mana ideologi liberal kapitalisme berhadap-hadapan langsung dengan komunisme, yang pada akhirnya runtuh.

Salah satu ekonom neo klasik terbesar adalah John Maynard Keynes yang juga melahirkan konsep `we fare state, di mana pemerataan dan distribusi sama-sama dianggap penting sebagai tujuan perekonomian. Welfare state mempunyai ciri sistem pajak progresif dan dukungan sosial kepada para penganggur dan mereka yang miskin. Inggris (sebelum Margaret Thatcher) dan negara-negara Skandinavia (sampai sekarang) menjalankan prinsip-prinsip ini. Dan biasanya mereka mengaktualisasikan diri di dalam partai Sosial Demokrat, Kristen Demokrat dan Partai Buruh. Sementara partai-partai pro bisnis (seperti Thatcher) biasanya bernama Partai Liberal, Konservatif, Liberal Demokrat dan sebagainya.

Sementara itu pada era perang dingin setelah Perang Dunia II, kapitalisme liberal di bawah Amerika mulai menyebar ke pelosok Asia dan Afrika dengan bantuan keuangan luar negeri yang sangat besar. Banyak di antara negara ini menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalisme Amerika dan secara tidak sadar terhisap dalam sistem yang memperlebar kesenjangan di negaranya sendiri. Di negara yang perekonomiannya masih tradisional, kapitalisme membawa pertumbuhan ekonomi yang pesat tetapi dengan ketimpangan antar kelas yang makin lebar. Apa implikasinya? Kapitalisme membawa masyarakat menuju kemakmuran, konsumtifisme, dan mempunyai banyak pilihan (choice), tetapi kemakmuran, konsumtifisme dan pilihan ini hanya bisa dinikmati oleh relatif sedikit orang. Pembela kapitalisme liberal akan mengatakan: "Memang benar demikian, tetapi justru karena sedikit saja yang dapat menikmati kapitalisme, itu mendorong semua orang bekerja keras, saling bersaing di dalam efisiensi dan produktivitas untuk menghasilkan yang terbaik. Dan yang terbaik itulah yang akan menikmati buah-buah kapitalisme."

Pernyataan ini mempunyai implikasi bahwa kekayaan materi adalah motivasi bagi orang untuk bekerja keras, dan dengan demikian memajukan secara keseluruhan perekonomian nasional. Tapi ini membawa masalah yang cukup kompleks, di negara maju dan terlebih di negara berkembang. Pokok persoalannya adalah bahwa semua orang diasumsikan terlahir dalam keadaan yang sama, padahal ada manusia yang terlahir sebagai anak konglomerat dan pejabat yang bisa bersekolah di universitas-universitas terbaik di Amerika, dan ada yang terlahir sebagai anak buruh tani atau pemulung yang sudah senang bisa tamat SD Inpres. Bagi negara seperti Amerika sekalipun mobilitas sosial ke atas tidak seotomatis dan sesempurna yang diasumsikan oleh liberalisme. Seorang bisa berhasil bukan karena kemampuan pada dirinya, tetapi juga faktor-faktor eksternal yang berada di luar kekuasaannya, seperti lingkungan dan pendidikannya. Terlebih di negara sedang berkembang yang nilai-nilai feodalnya masih tampak, di mana nepotisme dan favoritisme mencegah mobilitas sosial orang pinggiran ke dalam kelompok elit.

 4. KAPITALISME DAN DEMOKRASI

Terakhir, saya akan membahas secara singkat hubungan (atau ketiadaan hubungan) antara kapitalisme dan demokrasi. Seperti telah kita tinjau pada bagian pertama, kapitalisme liberal adalah paradigma yang banyak kegunaannya di masa-masa damai (seperti merkantilisme realis laku di masa-masa perang). Sejalan dengan kondisi negara yang damai, persaingan dan perseteruan manusia, menurut Francis Fukuyama, direalisasikan di dalam dunia ekonomi. Manusia yang satu melawan manusia yang lain dalam keadaan damai bersaing memproduksi yang terbaik, dengan cara yang paling tepat dan dengan ongkos yang paling murah.

Ini semua membutuhkan pemerintah yang bertindak hanya sebagai wasit yang diam saja melihat para pelaku ekonomi bermain, dan hanya mengambil tindakan kalau ada yang berbuat curang. Sedangkan kalau pemerintah sendiri berbuat curang dan terlalu jauh melangkah, masyarakat akan dengan mudah menggantinya dengan pemerintah lain yang sesuai dengan yang dikehendakinya. Inilah yang namanya demokrasi ... tapi bukan demokrasi `titik', melainkan apa yang disebut `demokrasi liberal'. Mengapa? Di dalam pemilihan pemerintahan, satu orang mendapat satu suara dan yang mendapat suara mayoritas itulah yang menang.

Tetapi ada sedikit masalah dalam penerapannya. Orang yang memiliki kekayaan, modal, dan koneksi di lingkungan elit hampir pasti memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki hal-hal di atas. Artinya apa? Ternyata, ada orang yang sebenarnya memiliki kekuasaan (pengaruh) lebih dibandingkan dengan orang lainnya, dan ini terjadi karena kepemilikan kapital, dan per definisi ini tidak sesuai dengan idealisme demokrasi yang sebenarnya.

Ini menjadi sasaran kritik yang datang dari kelompok Marxis yang lebih mementingkan demokrasi sosial dan pembagian kapital secara lebih merata, karena mau tidak mau, dikehendaki atau tidak, kapital adalah sumber kekuasaan. Dengan lebih meratanya kapital, maka kekuasaan pun menjadi lebih merata, dan pemerataan dengan sendirinya akan menyelesaikan masalah ketimpangan politik, selain ketimpangan ekonomi.

Sekarang bagian yang tersulit: memberi judgment apakah kapitalisme sesuatu yang positif atau negatif. Berdasarkan pengalaman sejarah, kapitalisme liberal di negara-negara Barat sekarang ini jauh lebih manusiawi dibanding pada saat kapitalisme pertama kali dicetuskan oleh Adam Smith dan kapitalisme klasik pada saat Revolusi Industri baru bergulir. Ini tidak lain karena kapitalisme sekarang telah tercampur dan terpengaruh oleh gerakan dan semangat humanisme, konsep welfare state dari Keynes, dan bahkan sosialisme Marx. Semuanya menyumbang pada suatu sintesa masyarakat modern yang liberal dalam cara berpikir, kapitalis di dalam ekonomi dan demokratis dalam bermasyarakat - di mana keadilan sama pentingnya dengan materi.

Masalahnya adalah kapitalisme yang berkembang di tengah lingkungan negara sedang berkembang. Kapitalisme dengan segala perangkatnya membutuhkan suatu sistem sosial yang mendukung eksistensinya, seperti: demokrasi (dalam arti luas, yang akan saya jelaskan kemudian), mobilitas sosial yang tidak kaku, termasuk minimnya nepotisme dan favoritisme, serta pendidikan yang terjangkau oleh seluruh masyarakat. Bila kapitalisme berkembang di tengah lingkungan yang tidak mendukung, dan kebalikan dari yang tersebut di atas, maka kapitalisme akan membawa pemiskinan, yang kuat memakan yang lemah dan justru tirani politik dan ekonomi. Negara sedang berkembang biasanya tidak cukup memiliki perangkat di atas untuk mendukung kelangsungan kapitalisme secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, kapitalisme di negara sedang berkembang sangat rapuh. Salah-salah revolusi rakyat ala Marx yang akan muncul.

Tetapi sama seperti kapitalisme yang hanya mementingkan pertumbuhan tanpa pemerataan, Marxisme yang mementingkan pemerataan tanpa pertumbuhan juga kurang kuat fondasinya di negara sedang berkembang, karena di negara-negara ini pemerataan tanpa pertumbuhan hanya akan memeratakan kemiskinan. Negara sedang berkembang membutuhkan keduanya: pertumbuhan dan pemerataannya. Lalu apa alternatif bagi pembangunan negara yang sedang berkembang? Mewujudkan keadilan dan demokrasi sosial adalah kunci utamanya. Demokrasi, tapi dalam arti luas. Apa artinya? Kalau kita lihat, negara berkembang yang tingkat kehidupan demokrasinya `maju' seperti India dan Filipina hanya melaksanakan demokrasi secara formal atau riil. Orang boleh memaki-maki seenaknya dan membentuk partai politik semaunya, tetapi kepentingan rakyat yang paling penting justru dinomorduakan. Berbeda dengan negara seperti Taiwan dan Singapura di mana secara formal demokrasi dibatasi dan orang tidak boleh seenaknya ngomong politik, namun pemerintah sadar bahwa peran utamanya adalah membawa bangsa dan negaranya menuju kepada kesejahteraan dan keadilan sosial. Yang penting bukan demokrasi secara formil, tetapi pelaksanaannya, aktualisasinya. Yang penting bukan less atau more government, tetapi bagaimana mewujudkan good governance. Dengan kapitalisme oke kalau pranata dan sistemnya bisa mendukung, tanpa kapitalisme juga oke asal tujuan pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas bisa diwujudkan. Bukankah itu yang penting dan terutama?

 DAFTAR PUSTAKA

Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man. New York: Penguin, 1991.

Jhingan, M.L., Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Grafitti, 1982.

Keynes, John Maynard, The General Theory of Employment, Interest and Money, (1883-1946).

Koesters, Paul-Heinz, Tokoh-tokoh Ekonomi Mengubah Dunia. Jakarta: Gramedia, 1988.

Lukacs, George, History and Class Consciousness, (1885-1971).

Marx, Karl, Das Kapital, (1818-1883).

Osborne, Richard, Philosophy for Beginners. New York: Writers and Readers, 1994.

Ricardo, David, The Principles of Political Economy and Taxation, (1772-1823).

Roberts, J.M., History of the World. Oxford, 1994.

Smith, Adam, Theory of the Moral Sentiments, (1723-1790).

________, The Wealth of Nations.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA