Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 10 No. 1 Tahun 1995 > 
SALIB DAN KESAKSIAN KRISTEN 
Penulis: Daniel Lucas Lukito636

Nats: I Korintus 1:21-23; 2:2-5

 PENDAHULUAN

Di dalam sejarah Gereja pada tahun 312, Kaisar Flavius Valerius Constantinus, atau yang lebih dikenal dengan nama Konstantin I atau Konstantin Agung (Constantine The Great), bertempur dan mengalahkan musuh yang paling utama, yaitu kaisar atau panglima yang bernama Maxentius. Setelah mengalahkan orang ini, ia memasuki kota Roma dengan kemenangan yang besar dan megah. Di dalam sejarah Gereja juga kita tahu (khususnya dari Eusebius), Konstantin mengalahkan musuh-musuhnya dengan dua tanda yang ia dapatkan dengan tiba-tiba. Menurut kesaksian Eusebius, pada tanda pertama Konstantin mengatakan, bahwa pada suatu siang hari ia melihat salib Kristus di balik cahaya matahari yang begitu terang dan menyilaukan. Pada salib itu, ia melihat munculnya tulisan yang dalam bahasa Yunani: en touto nika, yang artinya: "by this [sign] conquer", atau: "Dengan tanda ini taklukkanlah." Maksudnya, taklukkanlah musuh-musuhmu. Kemudian pada kejadian atau tanda kedua, sejarah juga mencatat, pada malam sebelum pertempuran yang terakhir dan menentukan itu, ia bermimpi melihat tanda X (chi) dan p (rho), dua huruf dalam bahasa Yunani, yakni lambang dari Yesus Kristus. Dan lambang yang berarti Kristus dan bentuknya seperti salib itu, digambarkan oleh Konstantin pada semua tameng dan pakaian prajurit-prajuritnya. Konstantin yakin bahwa Tuhan Yesus memerintahkannya untuk mengenakan pakaian-pakaian seperti prajurit surgawi guna memenangkan pertempuran.

Timbul satu pertanyaan bagi kita: Apakah hal itu merupakan satu kesaksian yang baik atau kesaksian yang buruk?

Seorang teolog modern yang membahas masalah ini mengatakan, bahwa tidak mengherankan banyak musuh-musuh orang Kristen tidak suka dengan tanda salib. Salib dipakai untuk menaklukkan musuh dan memenangkan pertempuran. Apakah ini gejala yang baik untuk misi dan penginjilan? Biarlah kita yang memikirkan implikasinya lebih lanjut.

Beberapa ratus tahun setelah Konstantin, sejarah seperti ini terulang kembali. Di dalam sejarah Gereja ada satu masa di mana orang-orang Kristen bertempur habis-habisan dan memasuki pertempuran yang paling tragis, paling brutal dan paling sia-sia, yaitu Perang Salib.

Di dalam Perang Salib yang berlangsung hampir 200 tabun dan sampai beberapa generasi itu, orang-orang Kristen dari kerajaan-kerajaan besar di Eropa, menaklukkan musuh-musuhnya. Mereka bukan hanya menaklukkan saja, tetapi mereka menjarah, menyita, membunuh dan menanamkan kebencian kepada golongan bangsa atau umat beragama lain, yaitu Muslim. Dan yang paling tragis bagi kita (sebagaimana yang dicatat di dalam buku sejarah Gereja tulisan Wilston Walker, A History of the Christian Church), di dalam perang salib itu, serdadu-serdadu Kristen menjahitkan lambang salib pada pakaian mereka ("a cross sewn to their clothing") dan dipakai sebagai lambang pertempuran.

Salib telah menjadi lambang kebencian bagi umat beragama yang lain. Salib telah menjadi simbol penaklukan, penjarahan, pembunuhan, penganiayaan dan terutama ekspansi teritorial. Memikirkan hal ini, jangan heran kalau di dalam situasi sekarang banyak orang yang tidak suka pada orang Kristen dan Kekristenan. Dimana Kekristenan yang tidak memakai salib? Hampir semua Gereja tidak ada yang tidak memakai tanda salib. Dan bila dihubungkan dengan sejarah Gereja, mengenai Konstantin, perang salib, dan barangkali juga zaman penjajahan yang pernah dialami di Indonesia, kita jangan terlalu menyalahkan orang-orang yang ada Indonesia kalau mereka membenci salib. Sebab, di dalam sejarahnya, banyak orang memakai salib dengan cara yang salah.

Di sini kita akan memikirkan: apa itu salib? Apa artinya bagi kita? Jangan sampai kita mengalami kekeliruan di dalam membawa, mengumandangkan atau memberitakan salib Kristus. Kita sering membawa nama-nama Kekristenan, Kristus dan Kristen. Ada juga yang memakai simbol salib sebagai hiasan dan sebagainya. Namun jangan sampai kita salah mengerti tentang salib.

Dari bagian 1 Kor 1-2, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang salib yang Paulus ajarkan kepada kita.

 1. SALIB ADALAH SIMBOL KELEMAHAN MANUSIA (1 KOR 1:26; 2:1,3)

Salib bukan lambang kekuatan manusia. Dalam sejarah Gereja yang dipaparkan di atas, salib dipakai untuk menjadi simbol kekuatan dan untuk menaklukkan musuh. Kita tahu bahwa Konstantin yang pertama sekali memakai itu, dan itu jelas sekali pada tameng-tameng yang dipakai oleh prajurit-prajuritnya. Kemudian juga di dalam sejarah Perang Salib, tanda salib dijahitkan pada pakaian prajurit-prajurit Kristen yang menaklukkan orang-orang yang beragama yang lain.

Sedangkan dari Alkitab kita tahu bahwa Paulus mengindikasikan salib sebagai simbol kelemahan. Juga pada waktu Yesus Kristus disalibkan, kita dapat melihat seorang manusia sejati yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Simbol kelemahan yang paling lemah itu dapat dikatakan sebagai simbol kegagalan. Simbol kegagalan, kelemahan dan ketidakberdayaan, dan sebaliknya, bukan simbol kekuatan. Waktu Yesus Kristus disalib, tidak ada perkataan yang lebih indah pada waktu Ia mengatakan: "Bapa, ampuni mereka." Ini adalah spiritualitas yang sesungguhnya dari kekristenan, yaitu spiritualitas di dalam kelemahan dan ketidakberdayaan. Orang Kristen diajar untuk mengampuni, mengasihi, tidak menjadi marah, membalas, menganiaya, atau menunjukkan power kalau kita dirugikan dan dianiaya. Kristus sudah mengajarkannya demikian. Dan kalau kita meneladani Kristus, yang juga Paulus teruskan dan ajarkan, bahwa salib itu adalah kelemahan, kita akan memiliki spiritualitas yang sejati seperti Yesus Kristus. Karena dengan spiritualitas seperti ini, kita dimampukan untuk melayani semua orang, bahkan yang tidak layak dilayani sekalipun.

Namun heran sekali, di dalam Kekristenan banyak orang yang justru sebaliknya. Mereka menampilkan spiritualitas kekuatan melalui kekuatan manusia, kekuatan keuangan, kekuatan proyek-proyek, dan kekuatan lainnya untuk (katanya) menjangkau banyak orang melalui misi dan penginjilan. Padahal salib melambangkan kelemahan. Dan waktu Kristus disalib, seolah-olah kita melihat ada kegagalan di situ. Justru pada waktu kita memikirkan kematian dari para rasul dan orang-orang Kristen yang mula-mula, kita bertanya kenapa Tuhan membiarkan Gereja di dalam keadaan seperti itu? Satu persatu tokoh gereja seolah-olah menyerah pada nasib dan kelemahan manusia dimulai dari rasul dan kemudian orang-orang Kristen lain. Apakah Tuhan tidak kasihan kepada mereka? Apakah Tuhan tidak ingin menampilkan sesuatu yang lain sebagai kekuatan Kekristenan? Saya heran melihat itu. Justru Tuhan membiarkan kematian-kematian dan kelemahan-kelemahan terjadi di dalam sejarah Gereja. Tetapi spiritualitas yang sejati justru timbul dari sana Gereja dibangun, meluas dan meragi ke seluruh dunia sewaktu cara salib ditampilkan di dalam kelemahan dan bukan kekuatan manusia.

 2. SALIB AKAN MENJADI BATU SANDUNGAN DAN KEBODOHAN KARENA PEMBERITAAN INJIL (1 KOR 1:21-22)

Salib akan menjadi batu sandungan bukan karena ekspansi, ambisi dan cacat pelayanan kita atau bukan karena kita berhasil menaklukkan banyak orang. Salib menjadi batu sandungan justru pada waktu Injil diberitakan, bukan pada waktu sesuatu yang dibangun menjadi besar, bukan pula pada waktu kita berhasil mewujudkan ambisi kita, bukan pula pada waktu kita melampiaskan kebencian atau persaingan untuk mewujudkan "visi-visi" yang lebih banyak yang justru menunjukkan cacat pelayanan Kristen. Justru sebaliknya, kalau kita memberitakan Injil secara murni saja, salib bisa menjadi batu sandungan dan kebodohan. Salib adalah batu sandungan bagi orang yang tidak suka sama sekali bahkan membenci. Salib juga kebodohan bagi orang-orang yang menghina dan menganggap Injil sebagai sesuatu yang tidak berarti. Jadi salib seharusnya dianggap sebagai batu sandungan dan kebodohan bukan karena kesalahan atau cacat kita, melainkan karena pemberitaan Injil.

Pada suatu hari Minggu, saya pernah melihat seorang pendeta, sesudah menyampaikan firman Tuhan, ia keluar ke tempat parkir, masih dengan baju pendetanya. Biasanya pendeta memakai salib dari emas kira-kira beratnya 5 gram, di baju pendetanya. Ia menuju ke kendaraannya. Tiba-tiba ia menyenggol seseorang, yang ternyata memang kesalahan orang itu. Namun satu hal yang saya saksikan sendiri dan tidak bisa saya mengerti, yaitu sumpah serapah dan kata-kata yang keras sekali keluar dari mulut hamba Tuhan itu, yang masih lengkap dengan baju pendeta dan tanda salib di baju hitamnya itu. Saya terkejut sekali. Saya berpikir, jangan-jangan karena orang Kristen, pemimpin Kristen, dan hamba Tuhan yang sering membawa nama-nama Kekristenan atau simbol-simbol Kekristenan di kalangan masyarakat kita, salib menjadi batu sandungan. Seharusnya salib menjadi batu sandungan karena pemberitaan Injil. Batu sandungan itu baru terjadi, bila orang mendengar Injil dan mereka tidak suka. Tetapi jangan sampai salib menjadi batu sandungan karena kelemahan pribadi, ambisi, kebencian, cacat karakter, sifat-sifat kita dan karena segala rencana kita yang tidak dikuduskan oleh Tuhan.

Saya rasa, ini yang harus kita pikirkan tentang salib. Sebab terlalu banyak, seperti contoh di dalam sejarah Gereja tadi, dan sering kali diantara banyak orang awam atau pemimpin Kristen, salib justru menjadi batu sandungan. Barangkali di rumahnya, di tempat pekerjaan, di lingkungan umum, ia menjadi batu sandungan bukan karena ia menginjil, tetapi karena kehadirannya, perkataannya, dan apa yang ia lakukan.

Berapa banyak orang awam atau simpatisan yang meninggalkan gereja Tuhan karena orang Kristen atau pemimpin Kristen memiliki sifat dan kepemimpinan yang menjadi batu sandungan? Berapa banyak orang dunia yang menertawakan, mencemoohkan, dan mengejek Kekristenan (yang katanya memiliki Tuhan yang hidup) karena di dalam gereja ada pertengkaran, di dalam Klasis ada perselisihan, dan dalam Sinode ada kekacauan. Kasus HKBP hanya satu contoh saja.

Berbahagialah kita bila zaman ini gereja lebih bersatu dan pemimpin atau orang Kristen lebih merasa takut pada Tuhan dan hidup dalam kesaksian dan kekudusan yang sesungguhnya. Marilah kita berdoa dan berharap agar tidak ada dari kita, yang karena karakter, sifat, ambisi, perkataan, tindak-tanduk atau perbuatannya, menyebabkan salib Kristus menjadi kehinaan dan batu sandungan. Tetapi berbahagialah kita, kalau' karena pemberitaan Injil, meneruskan Injil Tuhan dan mengasihi manusia seperti Kristus mengasihi manusia, salib menjadi batu sandungan.

 3. PENGERTIAN KITA YANG BENAR TENTANG SALIB HARUS MENDAHULUI SEGALA PENGERTIAN KITA TENTANG MISSIOLOGIA, PENGINJILAN, HOMILETIKA DAN SEGALA ILMU YANG KITA PELAJARI UNTUK PELAYANAN (1 KOR 2:4)

Pengertian yang benar lebih dahulu menentukan segala pelayanan kita, terutama pelayanan misi dan penginjilan. Dengan perkataan lain, kalau kita melihat salib, segala sesuatu yang kita pelajari dan layani seharusnya adalah produk atau hasil dari pengertian yang benar tentang salib. "The kind of theology determines the kind of missiology, evangelism, and others. Our theological understanding of Christ shaped our ministry career."

Di dalam Kis 2:36, Petrus memberitakan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Mesias yang disalibkan. Ia mempunyai pengertian yang benar tentang Kristus dan salib, baru kemudian ayat yang ke-38 ia mengatakan kepada banyak orang: "Bertobatlah!" Penginjilan yang memanggil orang untuk bertobat dimulai dari pengertian yang benar tentang salib. Jadi segala yang kita pelajari seharusnya merupakan produk atau hasil atau dorongan yang paling dasar dari pengertian yang benar tentang salib. Sebab kalau tidak demikian, kita tidak dibangun di dalam satu pelayanan yang memiliki arah yang benar. Saya setuju dengan perkataan A. W. Tozer tatkala ia berceramah di depan para misionaris, para hamba Tuhan dan orang-orang yang pergi ke ladang-ladang misi penginjilan. Ia berkata: "Saya ingin mengejutkan Saudara dengan satu statement." Karena apa? "Mungkin di antara Saudara di sini berpikir, bahwa misi penginjilan dan memenangkan jiwa adalah yang utama dan yang pertama. Saya katakan: Tidak! Misi penginjilan dan mencari jiwa bukan yang utama. Yang paling utama yaitu hidup Saudara dan saya harus meninggikan Kristus dan memuliakan Tuhan, di manapun Saudara berada."

Yesus Kristus pernah mengatakan: "Apabila Aku ditinggikan dari bumi." Apa artinya "ditinggikan"? Menurut penafsir Leon Morris, kata "ditinggikan" adalah dalam konteks pembicara Kristus tentang salib. Lalu Kristus melanjutkan begini, "Aku akan menarik semua orang datang kepadaKu"(Yoh 12:32). Jika saya kaitkan dengan perkataan Tozer, jangan kita berpikir bahwa pelayanan kita adalah yang paling utama. Saya setuju dengan perkataan itu. Kristus ditinggikan, Tuhan ditinggikan, ia yang tersalib itu dimuliakan melalui hidup kita, itulah yang paling utama.

Kalau kita betul ingin menarik banyak orang datang percaya kepada Kristus, yang paling utama kita pikirkan, yaitu Tuhan ditinggikan, salib dimuliakan sehingga menyebabkan banyak orang datang kepada Tuhan. Bukan karena metode menginjilnya semata, satu panggilan misi, satu pikiran tentang misi, homiletika yang baik dan cara-cara menyampaikan firman Tuhan yang baik Yang paling utama yaitu kita meninggikan salib Kristus. Seperti ia yang sudah ditinggikan itu menderita, demikian pula kita harus meninggikan salib Kristus, bukan dengan kekuatan kita, tetapi dengan kelemahan dari salib. Dan Tuhan ingin mengingatkan hal itu kepada kita semua.

Kalau kita melihat tokoh-tokoh Perjanjian Lama misalnya Raja Saul, ia mempunyai permulaan yang baik, sifat yang baik, tetapi akhir hidupnya tragis sekali. Sayang sekali. Tetapi kalau Raja Saul mati di tengah-tengah perjalanan hidupnya, mungkin kita tidak akan melihat cerita yang tidak enak tentang hidupnya seperti yang dikisahkan dengan amat pedih oleh penulis Alkitab (1Sam 18-31). Kalau Raja Daud mati satu tahun atau satu bukan atau satu hari sebelum ia berzinah dengan Batsyeba, barangkali kisah tentang hidupnya lebih memuliakan Tuhan. Kalau Raja Asa (2Taw 16) mati lebih muda, Tuhan lebih dimuliakan. Hal yang sama juga terjadi pada Gideon dan Imam Eli. Ada hamba Tuhan yang melakukan ini itu pada zaman sekarang, ternyata akhirnya pelayanan yang sudah dibangun dengan baik dari mula, rusak karena suatu kejadian atau sifat yang tidak memuliakan Tuhan. Kesaksian hidupnya justru merusak salib dan nama Tuhan yang ia bawa ke mana-mana.

Saya kira ada baiknya jikalau satu kali Saudara dan saya berdoa kepada Tuhan begini, "Tuhan, kalau Tuhan tahu saya akan jatuh dan menjadi sesat di tahun segini, tolong Tuhan panggil saya pulang satu tahun atau satu bulan atau satu hari sebelumnya, dari pada seumur hidup saya membawa nama Tuhan, salib Tuhan, dan salib itu menjadi cemoohan, batu sandungan, nista, sesuatu yang menyebabkan orang lain tidak tertarik sama sekali." Saya harapkan kita dapat memikirkan hal ini dan kita semua sebagai orang Kristen, terlebih lagi sebagai pemimpin Kristen, meninggikan Tuhan dan memuliakan Tuhan yang sudah tersalib itu di dalam pelayanan kita, terutama di dalam hidup pribadi kita. Amin.



TIP #22: Untuk membuka tautan pada Boks Temuan di jendela baru, gunakan klik kanan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.58 detik
dipersembahkan oleh YLSA