Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 > 
SENI DAN KEKRISTENAN DALAM ERA GLOBALISASI 
Penulis: Adhy Asmara dr355
 I (SATU)

Dalam kumpulan sajaknya 'Blues Untuk Bonnie' yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya Jakarta '71, penyair Willy Bordus Rendra (WS Rendra) menampilkan 13 (tiga belas) judul puisi yang kesemuaannya bergaya ekspresif dan liris. Rendra semakin menampakkan dirinya di jalurnya yang khas, karya-karyanya jelas mengacu dan berangkat dari masalah sosial. Yang tentu saja kalau kita simak dari kumpulan-kumpulan sebelumnya terjadi suatu pergeseran. Walau masih tetap ada di jalur dunia cinta, yang tadinya antara dua individu yang dimabuk asmara (sebagaimana umumnya seorang yang sudah masuk dunia dewasa/berumur) berlainan jenis. Kini beralih antara individu bahkan kelompok individu yang ada di masyarakat umum. Rendra dengan pengamatannya yang cermat dan lewat kepekaan rasa indra dan wawasan intelektualnya menyaring dan mengkristalisasikan apa yang terjadi di dalam kelompok masyarakatnya. Apa yang telah menjadi gejala umum dan menggeser suatu nilai-nilai budaya, yang disimak Rendra sudah tak manusiawi lagi. Kontradiktif.

Sajak Rendra tersirat dan tersurat ekspresif, menyuarakan suatu keresahan yang dirasakannya. Keresahan yang ditangkap dari apa yang dilihat, diamati, diresapi dan masuk dalam perenungannya. Yang kemudian mengendap, mengental. Yang lantas menggugah pilihannya dalam bentuk sajak bebas. Sajak-sajaknya lantas terasa sekali begitu penuh ekspresi. Dan tampil dengan siratan penuh perasaan yang begitu halus dan mampu menyodok perasaan siapa saja yang membaca sajaknya. Bahkan seringkali pula terasa bahwa sajak-sajaknya yang ekspresif dan liris itu menyuarakan suatu protes. Manyuarakan suatu pemberontakan terhadap ketidakadilan, kepincangan-kepincangan yang terjadi di dalam masyarakat. Sajak-sajak Rendra, sajak yang penuh dengan tema kemanusiaan. Sajak yang memanusiakan manusia, yang terjadi karena Rendra memang memiliki rasa kasih dan peduli pada sesama umat, pada apa yang terjadi di alam kehidupan jagat kasih dan peduli pada sesama umat, pada apa yang terjadi di alam kehidupan jagat raya. Sajaknya adalah juga cermin jiwa pribadinya. Yang mulai terbentuk dan membentuk dirinya sejak kecil. Ajaran kasih yang telah jadi pondasi dan benteng yang kemudian membentuk karakteristik pribadinya dalam menangkap dan menggumuli kehidupan.

Karakteristik sajak Rendra, berkarakteristik khas ajaran kasih yang peduli akan sesamanya. Yang mengasihi orang lain, sama takarannya dengan mengasihi dirinya sendiri. Terpateri dalam diri sikap pribadi Rendra firman Allah yang berbunyi:

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu". Lalu, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Sebagai hukum yang terutama bagi setiap umat manusia.

Rendra memang sejak kecil hidup di lingkungan dan di gembleng mental intelektualitasnya secara Nasrani. Rendra sadar benar bahwa seorang umat Nasrani, paling tidak harus memiliki sikap pribadi dalam realita kehidupan masyarakatnya, yang mencerminkan ajaran atau hukum kasih yang terutama di atas. Rendra menyadari benar ajaran dalam Injil adalah menghargai sesama manusia sebagai umat Allah singkatnya memanusiakan manusia. Sikap peduli akan sekitarnya dengan segala kepekaan yang dimilikinya adalah manusiawi. Ajaran kasih adalah ajaran menghargai suatu nilai-nilai kehidupan yang teramat manusiawi. Karena itulah saat Rendra melihat, menyimak adanya suatu kepincangan ia mengangkatnya ke permukaan dengan cara dan gayanya yang khas sebagai seorang seniman. Sebagai seorang penyair, Rendra menuliskan dan mempublikasikannya lewat karya seni puisinya. Kalau kita simak lebih jauh lagi tidak hanya dalam tiga belas judul puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Rendra "Blues Untuk Bonnie", memiliki nafas kristiani. Bahkan boleh dikatakan hampir dari kesemua sajak-sajak yang ditulis Rendra baik yang diumumkan secara sendiri-sendiri di berbagai media masa maupun dari sejak kumpulan puisi pertamanya: "Balada Orang-Orang Tercinta" (1957), "Rendra: Empat Kumpulan Sajak" (1961), "Blues Untuk Bonnie" (1971), "Sajak-Sajak Sepatu Tua" (1972), maupun "Potret Pembangunan dalam Puisi", merupakan suatu kesaksian Rendra.

Sajak-sajak Rendra bahkan juga garapan drama-drama Rendra kalau kita simak adalah merupakan jawaban pada lengkingan jerit kesakitan, teriakan minta tolong, kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam kepenuhan kehidupan. Penemuan jati dirinya yang berkembang melalui sajak bergaya ekspresif dan liris, dengan gapaian gelap dari bawah sadar, kecemasannya pada ancaman maut, keterpencilan dan kesepian. Juga penghayatannya yang ekstatis dari ancaman maut, keterpencilan dan kesepian. Juga penghayatannya yang ekstatis dari puncak-puncak eksistensi dan potensi manusia. Indentifikasi manusia dengan alam semesta pada Rendra lebih dari metafora atau imajinasi pribadi biasa. Pendekatan diri kepada segala ciptaan Tuhan bagi dia merupakan suatu cara untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan sendiri. Cinta kasih kepada makhluk-makhluk Tuhan, terutama mereka yang paling membutuhkannya, akan berlanjut dengan cinta kasih kepada sang Pencipta. Hanya dengan solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan. Rendra dalam berkarya seni banyak diilhami oleh ajaran agama Katolik (baca kitab Injil) dijelujuri mistik solidaritas. Keadaannya, yang juga dalam hal ini sinkretis khas Jawa, tak bisa disanggah lagi terjadi rembesan segala macam motif dan lambang-lambang Kristiani dalam karyanya. Pada sajak-sajak yang ada dalam kumpulan "Blues Untuk Bonnie", banyak hal yang mengharukan, banyak hal yang mengisahkan tentang keadaan orang yang terasing dan terpencil dalam kesepian. Sajak "Rick Dari Corona", yang bercerita tentang seorang Negro tua dari Corona yang menghabiskan usia tuanya, dalam keadaan terasing dan terpencil dalam kesepian, menyanyikan lagu-lagu di sebuah cafe di New York. Rick yang kesepian di tengah kemeriahan kota kosmopolitan. Dia merasa terasing dan terpencil di tengah-tengah masyarakat kota yang hiruk pikuk ;

(New York mengangkang
Keras dan angkuh
Semen dan baja
Dingin dan teguh
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)

Suatu keterasingan yang terasa total. Ketiadaan daya komunikasi antara sesama manusia di kota, di dunianya tersebut. Kesepian yang terasing dan terpencilkan juga dapat dirasakan pada sajaknya yang lain: "Blues untuk Bonnie";

Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya
Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorila
Gorila tua yang bongkok
meraung-raung
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya
...............
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
karena di dunia mereka tak berdaya

Sajak-sajak Rendra yang terkumpul dalam "Blues Untuk Bonnie", pada awal publikasinya mengejutkan banyak pihak. Karena sajak-sajaknya itu berlatar belakang situasi yang ada di Indonesia, seperti halnya; "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta", "Pesan Pencopet pada Pacarnya", "Nyanyian Angsa" dan "Khotbah". Pada sajak "Nyanyian Angsa", Rendra bercerita tentang seorang pelacur tua yang terlalu sakit untuk masih dapat bekerja, diusir semena-mena oleh sang Germo, lalu sia-sia mengharap pertolongan dari seorang dokter dan bahkan juga bapak pastor. Dalam kesia-siaan yang nestapa itu akhirnya, di tepi sebuah sungai, dalam persatuan jasmani menyeluruh dengan seorang pria yang paling cakap dari yang pernah dilayaninya selama ini, yang ternyata Kristus sendiri, menemukan pertolongan dan kedamaian. Sajak ini menyuarakan kritik sosial, tetapi juga tanpa alternatif ideologis sedikitpun: suatu kesaksian yang harus diberikan oleh seorang seniman, Rendra, karena ia sebagai penyair telah menangkap sebuah suara, jerit hewan yang terluka. Kesaksian yang penuh ironi, yang teramat langka dalam sastra Indonesia. Dengan penggunaan bahasa yang polos, dan karenanya amat mengejutkan untuk norma-norma Indonesia dan bahkan menyinggung perasaan (sajak-sajak ini diumumkan pertama kali tahun 1968).

Sajak "Khotbah", Rendra bercerita mengenai seorang pendeta muda yang mula-mula menolak memberi khotbah, namun akhirnya ia menuruti jemaahnya yang menuntut khotbah dari dia, kemudian oleh khotbahnya yang makin lama makin menjadi bahasa lidah kelu dan tergagap-gagap, para jemaat yang hadir mendengarkan khotbahnya itu menjadi kalap dalam amukannya, sehingga gereja habis dihancurkannya dan pendeta itu dimangsanya.

"Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan."
Cha-cha-cha.
Mereka maju menggasak mimbar
Cha-cha-cha.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya.
Cha-cha-cha.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan.
Tak ada lagi yang sisa.
Fantastis.
(sajak ke tigabelas "Khotbah" di kumpulan "Blues Untuk Bonnie" h. 46/Pustaka Jaya 76).

Kesaksian yang diberikan sang seniman lewat karya seninya adalah Indonesia harus kembali pada dirinya sendiri! Penemuan diri sendiri sebagai jati diri bangsa, adalah juga dimulai dari penemuan jati diri sendiri secara individual. Kita harus menyadari bahwa penemuan diri sendiri, pengenalan kembali diri, penghayatan dan ekspresi diri sebagai manusia-manusia pribadi, dengan kebebasannya masing-masing, namun senantiasa dalam solidaritas sosial dan kosmis yang besar dengan seluruh ciptaan, dan melalui ciptaan itu akhirnya sampai kepada Tuhan.

 II (DUA)

ISA ALMASIH atau KRISTUS YESUS dalam ajarannya: Hukum yang pertama dan terutama: "Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" serta dikaitkan erat dengan "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Lalu ajaran-Nya yang juga tak kalah pentingnya dan jadi karakteristik cermin setiap umat yang menjadikan Dia panutannya yang dikenal dengan Khotbah di Bukit. Yang telah mendorong setiap seniman dalam berkarya lantas banyak mengacu pada ajaran-Nya itu. Keterpesonaan sang seniman pada sosokNya itu, beserta segala ajaran-Nya, lantas menghasilkan beragam karya seni. Yang kesemuanya jelas-jelas menyiratkan nafas Kekristenan. Dan ternyata tidak hanya ditulis oleh para pengikut ajaran-Nya saja secara imani, tapi juga oleh para seniman yang ada di luar keimanan Kristen. Seperti yang dituliskan oleh penyair Chairil Anwar dalam sajak Isa yang terdapat dalam kumpulan sajaknya "Deru Campur Debu":

ISA
Kepada Nasrani Sejati
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Rubuh
Patah
mendampar tanya: Aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

Penyair dan juga budayawan Sapardi Djoko Darmono (kini bergelar doktor sastra dan mengajar di Sastra U.I. Depok Jakarta), menuliskan dengan sangat jelas nafas Kristen pada sajak berjudul "Tamu Malam Natal" di salah satu kumpulan sajaknya (DukaMu Abadi)

TAMU MALAM NATAL
Kristus datang Kristus datang
malam merenung menyandar lengang
mataku biru mataku biru
tambah lama tambah bersedu
Kristus datang
malam parah hatiku terpegang
kau dengarkan gemercik darahku
di mana diriku di mana diriku

Chairil Anwar cukup banyak menulis sajak yang menghembuskan nafas Kristen secara kuat bahkan sajak-sajaknya mempunyai nafas yang tak jauh berbeda dengan karakteristik nafas sajak Rendra yang menyiratkan hukum pertama dan yang utama dari ajaran Kristus Yesus. Seperti pada sajak Doa

DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Tidak hanya Chairil Anwar, yang sebenarnya bukan pemeluk Kristen, Saini KM dan Subagio Sastrowardoyo pun menulis sajak-sajak yang juga menghembuskan nafas karakteristik Kristen. Pada sajak Saini TKM yang terdapat dalam kumpulan sajaknya "Nyanyian Tanah Air" (h. 12), sajak berjudul "Hymn" yang ditulis dengan gaya ungkap terasa indah sekali itu tersirat benar akan kekaguman diri penyair pada sosok Kristus dan segala ajaran-Nya yang diberikan pada murid-murid-Nya dan juga umat-Nya.

HYMN
Bahkan batu-batu yang keras dan bisu
mengagungkan nama-Mu dengan cara sendiri
Menggeliat derita pada lekuk dan liku
bawah sayatan pahat khianat dan dusta
Dengan khidmat selalu kupandang patung-Mu
menitikkan darah dari tangan dan kaki-Mu
dari mahkota duri dan sembulan paku
yang dikarati dosa manusia
Tanpa luka-luka-Mu yang lebar terbuka
dunia kehilangan sumber kasih
Besarlah mereka yang dalam nestapa
mengenai-Mu tersalib di dalam hati

Kekaguman Subagio Sastrowardoyo tersirat jelas pada puisi yang ditulisnya dengan judul "Drama Penyaliban dalam Satu Adegan" yang berisi dialog antara dua tokoh, ibu dan anak yaitu Yesus Kristus dengan Maria, ibundaNya, yang mewakili simbol kemanusiaan dengan segala perasaan yang dimilikinya. Pikiran yang bersifat insani seperti halnya balas dendam, hantaman terhadap segala penghinaan yang diderita dan siksaan yang diterimanya. Sedangkan Yesus Kristus sebagai simbol lambang kasih ilahi yang teramat besar tiada terbatas. Yang selalu memilih jalan damai, yang membalas kejahatan dengan kebaikan, yang selalu mengharapkan orang jahat dan berdosa itu insaf sendiri dan bertobat;

- Aduh anak
Aduh putera Bapak yang tunggal. Begitu banyak
pengorbanan yang dilakukan, begitu banyak sudah
bunuh diri buat keagungan martabat manusia.
Tapi penindasan
terus menindih dan punah keindahan mimpi
Lihatlah
Keluh mereka adalah untuk yang dilontarkan ke mukamu
Dan mundur mereka ke kota adalah untuk berpesta
menyambut kematian-Mu
- "Bunda, penglihatanmu kabur oleh pedih air mata"
- "Tidak, hanya hati-Mu yang lemah cinta manusia
Cinta Tuhan lebih kejam. Ia meruntuhkan alam lata".
- Demi Allah,
Berilah aku senjata. Beri aku gigi
dan kuku dan pedang untuk memerangi
kebengisan ini. Akan kugigit dan robek
perut jahanam dan penggal setiap kepala
yang tunduk ke bumi. Beri aku hidup lagi
serta pembalasan satu ini. Gusti!

Kalau kita simak cukup banyak puisi atau sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair di Indonesia yang memiliki napas Kekristenan, baik itu ditulis oleh penyair yang memeluk agama Kristen maupun bukan. Siratan napas sajak bernapaskan Kristen ini juga tidak hanya ditulis oleh mereka para seniman, juga oleh para pelajar atau remaja. Seperti yang banyak kita lihat di berbagai media cetak umum maupun khusus. Yang biasanya akan banyak muncul atau dimunculkan pada saat-saat menyambut hari besar Kristen seperti menjelang Natal di bulan Desember maupun menjelang Paskah di bulan April. Seperti yang termuat di surat kabar Suara Pembaruan minggu dalam lembaran Sahabatku atau Suara Remaja;

TUHAN, KUCARI KAU
Tuhan,
kucari Kau
di ambang pintu yang Kau ketuk
di muka jendela yang terpentang
di antara bunga-bunga yang bermekaran
pohonan perdu dan rumput hijau yang membentang
Tuhan,
Kau juga kucari
di altar gereja dengan gedung megah
di mimbar mimbar penginjilan rohani
di lembaran lembaran Alkitab-ku
Tuhan,
Kau yang kucari
setelah aku kenal firman-Mu
ternyata ada di hati nuraniku
selalu duduk lekat di samping insan-Mu
mendengar semua kata, menangkap semua tingkahku
(Bandung, menjelang Paskah 1991
Gusti Putu Titis Wulandari
SMP St Yusup, jalan Sulaksana Baru I
Bandung)

Dari kutipan-kutipan sajak yang tersaji di atas, terdapat adanya hubungan yang erat antara para penyair atau penggarap seni (seniman) dengan sosok Kristus Yesus dan segala ajaran-Nya. Pada beberapa esei yang ditulis oleh para seniman banyak pula kita temukan siratan rasa kagum akan pribadi Kristus Yesus dengan ajaran-Nya itu yang amat terkenal dengan ajaran kasih, yang pertama dan utama itu dan juga sepuluh ajaran khotbah di bukit. Yesus mengajarkan untuk mendoakan agar Tuhan Allah jangan membalaskan kesalahan orang-orang yang menghujat, menghina, menyiksa dan bahkan membunuh-Nya. Yesus secara tegas mengatakan bahwa mereka itu tidak menyadari kesalahan yang mereka lakukan.

 III (TIGA)

Kata-kata yang tersusun dengan indah, terasa begitu puitis yang ditulis oleh para seniman juga terdapat pada syair-syair lagu. Lagu rohani. Puji-pujian. Pada kitab Injil dalam Perjanjian Lama, banyak kita temukan para nabi yang memuji-muji Tuhan Allah sang Pencipta. Yang amat terkenal sekali ialah Mazmur atau kidung puji-pujian yang dibawakan oleh Daud di zaman pemerintahan Raja Saul. Pada abad Masehi, sebagai zaman setelah Kristus Yesus lahir ke dunia sebagai penggenapan yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, tak terhitung jumlahnya lagu puji-pujian yang ditulis oleh para seniman. Sebagai suatu kesaksian dari diri sang seniman betapa indahnya dunia ini, betapa indah dan bahagianya hidup sejalan dalam ajaran firman-Nya. Lagu puji-pujian itu jelas menghembuskan napas Kristiani dengan segala ajaran-Nya yang diteladankan oleh Kristus Yesus.

Salah satu lagu karya seniman yang tunanetra sejak kecil Fanny atu Frances Jane Crosby (dilahirkan 8 Maret 1820), menulis lagu yang amat terkenal sampai abad ke 20 ini. Lagu pujian itu mula-mulanya digubah oleh Fanny karena rasa sedih yang amat sangat karena ia ditinggalkan oleh anak satu-satunya, hasil perkawinannya dengan Alexander Van Aistyne. Kesedihannya itu mula-mula diberitahukan oleh Fanny sebagai seorang ibu pada Tuhan, dia memohon penghiburan dari Tuhan. Lagu yang diawali dengan dentingan alat piano itu, lalu diiringi dengan alunan kata-kata penuh rasa kesedihan yang meluncur dari hati sanubari Fanny. Kesedihan itu begitu merasuk perasaan, air mata jatuh mengalir di kedua belah pipinya. Dengan bantuan Nyonya Phoebe Palmer Knapp, ayat demi ayat lantas ditulisnya lagu tersebut, yang akhirnya menjadi lagu kesayangan bagi umat Kristen sepanjang zaman. Dalam kumpulan lagu "Kidung Jemaat" terbitan BPK Gunung Mulia diberi judul "Mampirlah, Dengar Doaku" (dialihbahasakan dari lagu William Howard Doane/1870, berdasar syair "Pass Me Not, O Gentle Saviour"/Fanny J Crosby/1968) sedangkan dalam "Kemenangan Iman" terbitan Kalam Hidup diberi judul "Jangan Melalui Aku, Ya Yesus". Pada kumpulan lagu lainnya: "Jangan Tinggalkan HambaMu, ya Penebusku" (dan banyak lagi pemberian judulnya). Tapi kesemuanya menyiratkan suratan yang sama.

Janganlah lewatkan aku, ya Penebusku
Dengarlah seruanku, janganlah lalu
Yesus, Yesus, dengar seruku!
Waktu menjemput umat-Mu, ingatlah aku
Yesus Tuhan Penebusku dengar doaku
Janganlah Tuhan lalui b'rilah berkat-Mu
Yesus, Yesus dengar doaku
Janganlah engkau lalui b'rilah berkat-Mu

Salah satu karya besar George Frederick Handel yang amat terkenal dalam bentuk kantata Natal adalah "The Messiah", yang ditulis dan diaransirnya pada saat menjelang perayaan Natal. Saat itu Handel sedang ada dalam usia peralihan dari remaja ke dewasa. Lagu 'The Messiah' yang dinyanyikannya itu adalah ekspresi jiwanya akan kerinduan yang amat sangat pada sang juruselamat. Handel menghayati pengharapannya yang amat sangat atas kedatangan Messias atau Kristus Yesus (yang juga dikenal oleh kelompok lain dengan sebutan Imam Mahdhi). Atas kedatangan-Nya turun ke dunia menjadi sama dengan manusia, maka sekarang ini manusia berhutang budi pada-Nya. Boleh dikatakan semua lagu-lagu yang ditulis dan diaransir oleh Handel penuh dengan jiwa Kristiani. Menyiratkan suatu ajaran kasih yang amat besar. Lagi-lagi ajaran pertama yang utama!

Edmund Sears mula-mula berangkat dan kesenangannya mendengarkan cerita-cerita yang dibawakan dan dibacakan oleh ayahnya yang dikenal amat senang membaca buku. Ayahnya selalu akan memenuhi permintaan anaknya Edmund Sears untuk membacakan buku-buku yang disodorkannya. Sehingga Edmund mengenal dengan baik segala tokoh-tokoh dari buku-buku yang dibacakan oleh ayahnya itu. Baik tentang Adam dan Hawa, tentang Musa, Raja Daud, Salomon, Yusuf sampai ke Kristus Yesus. Salah satu bagian cerita yang amat mempesona hati Edmund adalah kidung nyanyian dalam Mazmur: "Suatu saat jika kau setia pada Tuhan, bakat menyusun kata-kata seperti yang terdapat dalam Mazmur itu akan kau miliki. Kau akan dapat menulis sajak-sajak dan menyanyikan pujian bagi Tuhan. Tuhan akan memberikan ilham dan talenta kepada banyak orang untuk melakukan perkara-perkara besar. Karena itu mengabdilah kepada-Nya. Dan Dia akan mengaruniakan ilham dan memberikan talenta kepadamu dan menulis sajak-sajak seindah dalam Mazmur". Kata-kata yang diucapkan ayahnya ini begitu membekas di hati Edmund dan amat meyakinkan dirinya. Sehingga Edmund begitu tergila-gila membaca berulang kali Mazmur dan menyimaknya benar-benar. Ia lantas merasakan seolah-olah Edmund pun lantas membuat sajak untuk diaransirnya dalam bentuk lagu. Salah satu lagu ciptaan Edmund Sears adalah lagu yang bertemakan Natal "It Came Upon a Midnight Clear" yang ditulisnya pada tahun 1849.

 IV (EMPAT)

Salah satu buku bacaan anak-anak kelas dunia yang amat terkenal ditulis oleh Mark Twain; "Tom Sawyer dan Pengalaman Huckleberry Finn." Buku yang menceritakan dunia nakalnya anak-anak yang penuh dinamika, lugu dan petualangan yang cukup membuat para orang dewasa tak habis pikir dan mumet ini disajikan dengan bahasa penyajian begitu lincah dalam seni bertuturnya. Semua pembaca buku ini di belahan dunia manapun diajak masuk menjadi salah satu tokoh pemeran yang ada di buku karya Mark Twain tersebut. Seniman ini jelas sekali menulis dengan gaya seorang yang begitu paham dan berangkat dari dunia Kristen. Ini bisa terlihat dari latar belakang kehidupan keluarga dari tokoh-tokohnya dan latar belakang dari masing-masing keluarga dan kehidupan masyarakat dari cerita tersebut. Mark Twain bercerita dan menggambarkan dengan kelas bagaimana sikap hidup keluarga dan masyarakat Kristen pada masa itu di negara bagian Eropa.

Kisah petualangan dunia kanak-kanak yang ditulis oleh Laura Ingalls Wilder berdasar kisah nyata pengalaman masa kanak-kanak dirinya dan suaminya, Almanzo Wilder, banyak menarik kalangan penggemar buku terutama anak-anak Amerika dari mana kisah itu sendiri berlatar belakang. Kisah-kisah dalam buku ini sempat ditayangkan lewat layar kaca TV; "Rumah Kecil di Rimba Besar" dan "Rumah Kecil di Padang Rumput." Kisah nyata penuh petualangan ini jelas ditulis oleh seorang seniman yang memiliki latar belakang keluarga yang terdidik secara Kristen karena itulah tak mengherankan karya-karyanya pun lantas menyiratkan suatu karya seni bernafaskan semangat Kristen. Sama halnya dengan kisah Heidi, bahkan pada sebagian besar buku-buku bacaan dengan latar belakang dunia Barat dan ditulis oleh penulis Barat, dunia kekristenan sudah bisa dipastikan akan tersiratkan. Para seniman atau pengarang-pengarang tersebut seolah menjadi saksi dari kebesaran Tuhan Allah. Ia menuliskan kesaksian kisah hidup secara nyata dari panggung kehidupan ini. Tampak sekali mereka menjadi penganut ajaran Kristus Yesus, yang amat menonjol dan bahkan teramat ditonjolkan dan akhirnya menjadi (salah satu) cap, legitimasi karya seni sastra Kristen. Dengan ajaran kasih, yang pertama dan paling utama.

Tidak hanya pada karya-karya berbentuk puisi atau sajak, syair lagu puji-pujian karya cerpen maupun novel (roman) saja, karya seni bernapaskan Kristen termeteraikan dan menjadi saksi pada zaman-zamannya. Di bidang karya sastra drama, banyak sekali karya seni lakon drama panggung yang ditulis dengan siratan bahkan berlatar belakang Kristen. "Waiting for Godot" karya Samuel Beckett contohnya. Lakon drama yang berbicara tentang kegelisahan pada sekelompok orang yang menunggu ini bila disimak secara teliti, ternyata lakon ini berbicara dan mempersoalkan seorang tokoh yang ditunggu-tunggu tapi tak kunjung datang juga. Tokoh yang dikenal oleh mereka dengan baik. Tapi juga samar-samar. Sang Godot yang ditunggu, serta unsur utama penulisan lakon dan masalah utama lakon itu ternyata adalah Sang Mesias yang dikenal oleh setiap orang dengan baik dan mengenal setiap umat dengan amat baiknya.

Lakon bergaya Samuel Beckett seperti "Menunggu Godot" ini di Indonesia lantas mengilhami penulis lakon drama, novelis, wartawan dan budayawan Putu Wijaya pada lakonnya yang diberi judul "Dag Dig Dug". Tema kemanusiaan atau memanusiakan manusia atau lakon yang berbicara tentang kematian dan mempersiapkan suatu kematian itu terasa sangat manusiawi dan menjadi cerminan sebuah masyarakat yang ada di Indonesia. Putu Wijaya mengangkatnya lewat kultur budaya Bali dari mana dan di mana ia dibesarkan. Lakon-lakon drama dengan napas Kristen juga banyak ditulis oleh N. Riantiarno (tokoh dramawan teater Koma). Bahkan beberapa naskah lakon dramanya ditulis sebagai suatu bentuk karya seni drama yang mengangkat dunia kehidupan orang-orang Kristen. Tak jauh berbeda dengan N. Riantiarno, juga Teguh Karya, tokoh teater dan film ini banyak menggarap karya-karya sebagai bentuk kesaksian dirinya sebagai seniman Kristen yang peduli akan hidup dan kehidupan di sekitarnya. Senapas dengan cara yang dilakukan oleh Teguh Karya, juga dilakukan oleh tokoh teater dari Studi teater Bandung (STB) Suyatna Aniran. Panggung bagi para seniman teater Kristen ini lantas menjadi alat mereka untuk menyuarakan firman dan kebesaran Tuhan Allah, Yesus Kristus beserta ajaran-Nya. Idiom atau lambang-lambang mereka manfaatkan sebagai penyalur talenta yang diterima dari-Nya untuk kemuliaan semua umat. Dan cara-cara mereka melimpahkan ilmu pengetahuan dan membagi-bagikan talenta yang didapat dari Tuhan Allah kepada semua orang yang membutuhkannya, diberikannya dengan penuh rasa tanggung jawab dan kasih akan sesamanya tanpa memandang tingkat derajat, kelompok atau golongan. Sikap para seniman yang tak menganut, ajaran membedakan antar sesamanya adalah cerminan ajaran global (universal) yang didapat dari panutan mereka dalam hidupnya, yaitu Kristus Yesus.

 V (LIMA)

Lakon film karya sutradara besar dan pelopor dalam hal penyajian film kolosal digarap oleh seniman Cecil B. Demil, yaitu "The Ten Commandments". Film dengan layar lebar ini digarap dengan sajian teknologi tinggi, dengan efek-efek yang membuat semua orang berdecak kagum. Karya besar seni garapan seniman itu selalu terasa berlaku untuk setiap masa dan tak ada masa kadaluarsanya. Dan selalu mengundang massa dari berbagai golongan untuk datang menikmatinya. Cecil sebagai sutradara dengan segala talenta yang dimilikinya itu mengangkat kisah berdasarkan firman Tuhan yang terdapat di dalam Perjanjian Lama Alkitab; perjuangan Nabi Musa dan Harun sebagai tokoh orang Israel yang melaksanakan perintah Tuhan Allah, untuk membawa suku bangsa Israel, suku bangsa pilihan Allah itu keluar dari masa perbudakan di bawah pemerintahan raja Mesir, Firaun. Dalam film itu divisualisasikan suatu perjuangan rasa kemanusiaan bagi bangsa yang tertindas. Visualisasi kebesaran, kemuliaan dan kekuasaan Tuhan Allah terhadap suatu kehidupan yang diciptakannya di dunia. Dalam karya Cecil ini terasa hembusan seni napas Kekristenannya dengan ajaran yang pertama dan utama. Karya-karya seni dan Kekristenan pada alur seni sinematografi atau perfilman, yang diangkat berdasarkan kitab Injil yang berlatar belakang pada zaman Kristus Yesus pada awal abad Masehi atau pada zaman pemerintahan Romawi bisa kita saksikan pada film bentuk kolosal lainnya, seperti "Ben Huur" din "Taras Bulba." Boleh dikatakan hampir semua film-film dengan setting (berlatar belakang tempat kejadian) pada masa pemerintahan Romawi selalu identik dengan karya seni film bernapaskan Kekristenan.

Apa yang dilakukan oleh para seniman film Barat yang melahirkan karya seni sebagai salah satu sikap mereka dalam menyebarkan ajaran firman Allah dan kesaksian juga dilakukan oleh para seniman film di Indonesia, yang ditampilkan dengan suatu gaya racikan kultur budaya khas potret masyarakat Indonesia dengan hembusan napas karakteristik Kristen. Seperti yang dilakukan oleh sutradara film; Teguh Karya, Wim Umboh maupun Wahyu Sihombing almarhum yang mencuat namanya lewat seri sinetron (sinematografi elektronik) "Losmen" dan "Dokter Sartika". Pada masa awal berdirinya, Sanggar Pratiwi banyak juga menggarap karya-karya sinetron sebagai bagian kegiatan utama pelayangan yang sekaligus pula penyebaran dan penjabaran firman Allah berdasarkan Injil dan ajaran Kristus Yesus. Seni dan Kekristenan adalah merupakan suatu hal yang telah menyatu, satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hidup saling tunjang menunjang dalam kesehariannya. Dan ini bisa kita lihat secara jelas dan nyata pada rangkaian suatu liturgi dalam gereja ataupun ibadah di luar gereja. Bahkan sebenarnya bila kita simak hubungan yang erat antara seni dan Kekristenan ternyata telah lama mengglobalisasi (mendunia dalam skala misinya) dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Seni dan Kekristenan ini banyak mengangkat nilai-nilai kehidupan suatu budaya bangsa. Yang tak disadari oleh semua pihak telah merata di semua belahan bumi dan menjadi suatu bentuk kesaksian akan kebesaran Tuhan Allah dari zaman ke zaman. Seni dan Kekristenan telah menjadi tonggak-tonggak sejarah, juga menjadi pelita dan tanda-tanda zaman.

 VI (ENAM)

Seni sebagai bagian dari tonggak sejarah merupakan pengabdi perjalanan sejarah suatu bangsa dari zaman ke zaman. Seni berperan pula sebagai pelita zaman. Ia merekam dan mengekspresikan apa yang terjadi dari dan di alam lingkungannya, karena memang seni itu juga berangkat dan tercipta dari sana. Dalam peranannya di rimba raya kehidupan ini seni memberikan peranan yang penting dan tak dapat diremehkan, ia menjadi alat keseimbangan. Seni justru membangun kehidupan menjadi bertambah gairah. Seni membuat dunia ini berputar dari waktu ke waktu bertambah semarak. Seni selalu melakukan dialog dari waktu ke waktu terhadap para penikmatnya. Walau dicipta atau dikerjakan oleh seorang seniman secara individu dan lantas berkomunikasi secara individu pula, tapi ia tak menciptakan suatu suasana yang individualistis. Seni justru membuat dan melibatkan antara individu itu memiliki suatu jalinan, suatu ikatan benang merah, kontak komunikasi antar individu yang tak tampak. Seni dengan demikian jelas berwawasan, berlaku untuk semua tanpa pilih-pilih. Seni yang digarap dengan kualitas estetik tinggi dan kesatuan perasaan senimannya secara total, akan menghasilkan karya-karya yang sangat mengagumkan. Dampak komunikasinya terhadap semua penikmatnya tidak akan pernah terbayangkan oleh penggarapnya itu sendiri sebelumnya. Para seniman penggarap dalam hal membuat karya seni itu mula-mula didorong oleh panggilan jiwa, yang membuat dia dikungkungi rasa gelisah dan terbeban bila ia tak mengekspresikannya.

Seni sebagai suatu ekspresi jiwa sang seniman juga mewakili karakter pribadinya. Karyanya adalah juga jati dirinya. Karyanya adalah juga bagian dari sikap hidupnya dan kesaksian dirinya, pandangan hidupnya. Seniman menyadari bahwa apa yang dimilikinya itu berasal dari sang Pencipta, ia mencari dan meminta, ia melakukan komunikasi secara pribadi, berdialog dengan yang memberinya. Setelah melalui perjalanan panjang lewat permenungan, pengendapan pada jiwa dan pikiran, dengan bimbingan Tuhan Allah Sang Pendeta ia lalu mengekspresikannya, mewujudkannya, memvisualisasikannya secara nyata.

Karya seniman besar Michael Angelo termasuk sebagai salah satu contoh yang memiliki daya religius. Ia menampilkan karakteristik karya seni agamawi. Karyanya adalah ekspresi sikap pribadi dan jati dirinya. "The Prophet Jeremiah" yang terdapat di salah satu Kapel Gereja Vatikan, merupakan karya master piece-nya yang di adaptasi oleh seniman Rodin yang amat terkenal dengan judul "Homo Sapiens", manusia sebagai makhluk yang harus selalu berpikir. Dua figur obyek karya seni itu yang mengambil figur laki-laki kedua-duanya (baik karya Michael Angelo maupun Rodin) sama-sama sedang duduk dan berpikir dengan ekspresi yang amat serius. Karya Rodin dengan figur anonim, lelaki sebagai manusia dengan segala ketelanjangan dirinya, sedangkan karya Michel Angelo mengambil figur tokoh dari kitab Injil di bagian Perjanjian Lama; Nabi Yeremia. Pada karya Rodin dalam bentuk patung itu, berdiri sendiri, atau berobyek tunggal. Sedangkan pada karya Michel Angelo, karya dengan figur Yeremia sebagai obyek utama karya seninya memiliki obyek latar belakang, visualisasi kehidupan manusia pada zaman tersebut. Dengan demikian karya yang berasal dari zaman renaisans itu setidaknya telah membantu memperjelas para penikmatnya sewaktu mereka melakukan kontak komunikasi. Karya lainnya yang juga amat terkenal dari Michael Angelo yang berjudul "Creation of Adam", yang juga terdapat di Kapel Sistine, Roma, Vatikan. Karya seni mural (lukisan di atas dinding tembok) ini diangkat oleh senimannya dari Perjanjian Lama yang digarapnya dengan pesona puitik sekali. Adam yang sedang berbaring menyandar pada tangan kanannya mengulurkan tangan kirinya pada sesosok figur orang tua. Figur orang tua ini adalah terdapat sosok figur anak kecil bersayap sebagai simbol makhluk suci. Ada pula orang yang menafsirkan orang tua tersebut adalah lambang dari Allah sendiri yang menciptakan Adam. Malaikat tua ini juga mengulurkan tangannya, dan jari telunjuknya tampak saling bersentuhan dengan jari jemari Adam. Amat jelas dilukiskan kedua visual figur ini berada di dua alam yang amat berbeda. Adam yang berada di dunia nyata sedangkan figur malaikat di dunia fana (tak nyata). Keduanya terpisahkan, tapi saling menjamah, saling melakukan komunikasi.

Karya Michael Angelo "Creation of Adam" inilah yang memberikan masukan ide pada seniman Lorenzo Ghiberthi dalam pembuatan karya seni pahat ukir dalam bentuk panel yang juga diberi judul The Creation. Karya ini merupakan salah satu bagian dari sepuluh karya yang jadi kesatuan karya dari Lorenzo Ghiberti "Paradise Gate" yang terdapat di Gereja Kathedral Baptis, Florence, Italia. Pada karya yang mengisahkan kebahagiaan dalam kesembuhan orang-orang yang percaya ini akan membawa mereka pada dunia surgawi. Karya sini ini teramat jelas merupakan visualisasi yang diangkat dari Alkitab Perjanjian Lama. Pada karya itu tampaklah visual figur Kristus Yesus yang sedang menjamah tangan orang yang tak berdaya. Karya seni ini memiliki napas Kristiani, sebagai suatu kesaksian dari diri sang senimannya, nyata sebagai bagian dari identitas diri.

Di Galeri Tretyakov yang terdapat di kota Moskow yang memajang sejumlah adikarya para seniman Rusia koleksi dari seorang pencinta seni Pavel Tretyakov terpampang di salah satu dindingnya sebuah lukisan cat minyak di atas kain kanvas dengan ukuran cukup besar, 540 X 750 cm. Lukisan itu adalah hasil karya pelukis Alexander Ivanov (1806-1858) yang dibuat hampir selama 20 tahun (1837-1857). Lukisan yang diberi judul "The Appearance of Christ to the People" menampilkan sejumlah figur-figur tokoh yang ada di dalam Perjanjian Baru, yang menampilkan suatu cerita tentang Yahya sang pembaptis yang sedang berada di tepi sungai Yordan. Ia berpakaian bulu unta dan sedang membaptis sejumlah murid-muridnya. Pada lukisan itu digambarkan Yahya memberikan kesaksian pada semua orang yang hadir di tepi sungai Yordan (yang ingin di baptiskan olehnya) bahwa sang Pembaptis Roh yang dinubuatkan selama ini telah hadir dan datang kepada kita semua. Pada lukisan itu tampaklah figur seorang lelaki yang sedang berjalan sebagai gambaran Kristus mendatangi orang-orang yang sedang ada di tepi sungai Yordan. Itulah yang menjadi sentral atau titik focus dari lukisan tersebut, dan itu pula yang menjadi inti utama tema karya seni pari Alexander Ivanov.

Masih di galeri yang sama di Moskow, di bagian ruangan lain, sebuah lukisan karya Ivan Kramskoi (1837-1887) yang dibuat pada tahun 1872 dengan media cat minyak di atas kanvas terlukis figur Kristus Yesus sedang duduk di atas salah satu batu di sebuah tempat yang memang dipenuhi oleh bongkahan batu. Dilukiskan Kristus yang sedang merenung sendirian dalam sikap tangan tertangkup berdoa, wajahnya berekspresi serius menyatu dengan alam sekitarnya yang tampak sejuk dan tenang. Suasana waktu tampak menjelang fajar dengan sinar-sinarnya yang lembut menyentuh semua benda yang ada di alam jagat raya. Menikmati lukisan karya Ivan Kramskoi ini siapa pun yang memandangnya pasti merasakan suatu suasana yang khusuk, khidmat. Merasakan adanya suasana damai yang menyejukkan, walau dari sisi lain kita merasakan suasana lembut tapi terasa gersang. Terkesan adanya suatu kekerasan dalam menghadapi kehidupan ini juga tersirat dalam lukisan tersebut.

Karya-karya seni lukis dan juga karya seni rupa lainnya cukup banyak yang menjadi kesaksian zaman dan secara sekaligus juga mencuatkan napas Kekristenan. Seniman-seniman besar dunia banyak yang mengangkat nilai-nilai ajaran Kekristenan atau konteks Kekristenan berbagai ekspresi karya-karya mereka. Para seniman ini menggali ilham karya seni dari Injil dengan cara memvisualisasikan lewat media ekspresi. Karya-karya mereka dari zaman ke zaman terus berbicara dalam kediamannya. Karya seni mereka lantas terasa begitu universal, karena memang karya-karyanya itu juga menghembuskan nilai-nilai kehidupan yang terasa amat manusiawi. Kehadiran dan integrasi seni dan Kekristenan terasa sudah sejak lama mengacu pada nilai-nilai kekal universal. Sejak berabad-abad yang lampau seni dan Kekristenan telah berkiprah dalam lingkup dimensi yang global. Dalam membuat karya-karya tersebut, sikap Kekristenan dari para seniman tetap menonjol, yang mencuat dari ajaran yang dianutnya dari sang panutan para penggarap seni Kristen; yakni Kristus Yesus. Pada berkeseniannya para seniman lebih cenderung melepaskan diri dari ajaran dogmatis yang dirasakan oleh mereka sebagai penyempitan dari penjabaran yang diajarkan oleh Injil Allah. Dalam berkarya, seniman tak menginginkan dirinya masuk kelompok profesionalisme yang terkotak-kotak, yang lantas membuat suatu suasana perpecahan yang tanpa disadarinya. Memang sini dan Kekristenan dalam era globalisasi harus tampil secara universal, relevan dan utuh berlaku untuk semua orang pada segala zaman tapi juga secara sekaligus menjadi wahana ekspresi jati dirinya yang khas.

 KEPUSTAKAAN

Asmara, Adhy dan Nur Cahaya, Apresiasi Puisi. Cet. ke2, Yogya, 1982.

Asmara, Adhy dan Nur Cahaya, Apresiasi Drama. Cet. ke3. Yogya, 1979.

Asmara, Adhy dan Nur Cahaya, Cara Menganalisa Drama, Cet. ke 1, Yogya, 1983.

Suriasumantri, Jujun S., Ilmu Dalam Perspektif, Cet. ke 1, Obor-Gramedia, Jakarta, 1978.

Read, Herbert, The Meaning of Art, Cet. ke 5, Penguin Books, 1954.

Myers, Bernard S., Understanding The Arts, Cet. ke 1, New York, 1961.

A Thousand Painting of Twenty Centuries, Cet. ke 1, Italy, 1949.

The Tretyakov Gallery, Cet. ke 1, Moscow, Leningrad, 1989.

Painting, Cet. ke 1, Novosti Press Agency Publishing House, 1979.

Sejumlah kumpulan puisi dari masing-masing penyair yang dibicarakan.



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA