Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 > 
DINAMIKA DALAM DOKTRIN PILIHAN: SUATU ALTERNATIF DARI G. C. BERKOUWER 
Penulis: Henry Efferin

1. Doktrin pilihan adalah suatu persoalan yang sangat sensitif bagi teologia Kristen, khususnya dalam aliran Reformed di mana kedaulatan Allah selalu menempati posisi sentral di dalam sistem teologia mereka. Sebagai contoh, Westminster Shorter Catechism mendefinisikan mengenai penetapan Allah (the decree of God) sebagai "rencana kekekalan Allah seturut dengan pertimbangan kehendakNya, dimana Ia telah menetapkan segala sesuatu yang akan terjadi untuk kemuliaanNya."309

2. Penekanan teologia Reformed tentang kedaulatan Allah ini mendapat tentangan dari aliran-aliran lain baik dari Katolik, Lutheran (khususnya perkembangan teologia Lutheran setelah Martin Luther), maupun Arminian. Keberatan-keberatan mereka terhadap kedaulatan Allah yang mutlak pada umumnya dapat diringkaskan menjadi tiga point besar: Yang pertama, bahwa kedaulatan Allah yang mutlak tidak konsisten dengan kondisi manusia sebagai makhluk bermoral yang bebas menentukan pilihannya. Yang kedua, bahwa hal ini meniadakan motivasi manusia untuk berusaha, karena toh segalanya telah ditetapkan Allah. Yang ketiga, dengan demikian maka Allahlah yang menjadi penyebab timbulnya dosa.

3. Doktrin pilihan sendiri sebetulnya merupakan manifestasi dari kedaulatan Allah dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu keselamatan manusia. Menurut teologia Reformed tradisional dalam hal ini pewaris ajaran Agustinus dan Calvin - bahwa Allah di dalam kekekalanNya telah memilih sebagian orang untuk diselamatkan (the elect), dan sebagai konsekuensinya sebagian yang lain ditolak dan menuju ke kebinasaan kekal (the reprobate); inilah yang disebut dengan doktrin double predestination. Pewaris teologia Reformed dari aliran yang lebih modern mulai dari Barth, Brunner, Bavinck, dan Berkouwer, dalam versi mereka sendiri-sendiri lebih berhati-hati dalam mengungkapkan ajaran predestinasi, dan pada umumnya mereka menolak double predestination secara mutlak -- yaitu penetapan sebagian orang untuk binasa -- seperti yang diajarkan oleh Calvin.

4. Dengan konsep doktrin pilihan dari Calvinisme tradisional seperti di atas, kita dapat mengerti mengapa para oponen teologia Reformed banyak yang menuduhnya sebagai suatu pemahaman yang deterministik bahkan fatalistik.310 Sebetulnya para teologia Reformed bukannya tidak mengerti bahaya determinisme menyusup masuk dalam teologia mereka, bahkan sejak Agustinus pun telah berusaha membedakan antara predestinasi dengan fatalisme. Di dalam bukunya The City of God ia mengungkapkan sebagai berikut:

Pandangan kami ialah tidak sesuatupun yang terjadi berdasarkan takdir .... Memang kami tidak menyangkali bahwa ada suatu sebab akibat di mana kehendak Allah adalah segala-galanya dan ada di dalam segala sesuatu, namun kami tidak menyebutnya sebagai takdir .... Yang terjadi adalah kedua-duanya, yaitu Allah mengetahui segala sesuatu sebelum itu terjadi, dan kita manusia melakukannya berdasarkan kehendak sendiri....311

5. Sayangnya usaha-usaha yang dilakukan itu tidak selalu berhasil di dalam menyingkirkan unsur filsafat determinisme di dalam teologia Reformed, atau setidaknya di dalam pandangan para oponen mereka tidak selalu bisa melihat hakekat perbedaan antara predestinasi dan fatalisme yang mau dikemukakan tersebut. Terlebih lagi kita melihat adanya pandangan beberapa teolog Reformed "garis keras" yang sangat menekankan sistem yang logis dan koheren dalam teologia mereka, sehingga nada-nada determinisme menjadi mencolok sekali. Salah satu contoh dalam hal ini adalah Herman Hoeksema. Ia menerima semua implikasi dari kedaulatan Allah yang mutlak dan menganggap bahwa pandangan supralapsarianisme312 adalah satu-satunya pandangan Alkitabiah yang konsisten dengan konsep predestinasi.313 Dalam pemahaman Hoeksema, seluruh Alkitab berbicara dengan jelas tentang mereka yang dipilih dan yang ditolak, dan bagi yang ditolak hanya ada kebencian berdasarkan kedaulatan Allah sendiri.

6. Namun yang menjadi persoalan di sini ialah apa yang sesungguhnya menjadi obyek teologia? Apakah tugas utama teologia adalah menciptakan sistem yang paling rasional dan koheren? Bahkan dalam Synod of Dort (Konsili Dort) seorang teolog yang bernama Maccovius mengeluarkan sebuah tesis yang mengatakan bahwa hal-hal yang bisa disimpulkan sebagai konsekuensi logis dari Alkitab mempunyai wibawa yang setara dengan kebenaran Alkitab itu sendiri!314 Dalam hal ini penulis setuju dengan Berkouwer, bahwa sebagai teolog kita harus belajar membatasi diri dan menghargai batasan-batasan yang diilhamkan oleh Allah. Sebaiknya kita diam pada hal-hal yang Roh Kudus sendiri diam dan tidak menyatakannya pada kita.315 Karena itu masalah double predestination, terutama mengenai sebagian orang yang ditentukan untuk binasa, bukan masalah sistem mana yang lebih konsisten, tetapi apa memang hal ini sesuai dengan diri Allah yang dinyatakan dalam seluruh konteks Alkitab. Jangan sampai seorang menganggap dirinya telah menarik konsekuensi logis dari kebenaran Alkitab, padahal justru dia telah meninggalkan kebenaran Alkitab itu sendiri.

Fokus utama dari artikel ini ialah dinamika dalam doktrin pilihan, di mana kita akan membicarakan tentang pelaksanaan doktrin pilihan itu dalam sejarah manusia, yaitu relasi antara sesuatu yang telah ditetapkan dalam kekekalan dengan manusia sebagai pelaku sejarah yang mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihannya. Apakah manusia mempunyai "andil" dalam proses keselamatan? Apakah pelaksanaan dari pemilihan Allah itu harus berdasarkan kerjasama dari pihak manusia, sehingga ada dua unsur yang bekerjasama untuk terciptanya keselamatan (synergism), ataukah sepenuhnya terletak di dalam tangan Allah (monergism)?316 Kalau hanya satu unsur yang aktif dalam keselamatan, yaitu dari Allah, bukankah dengan sendirinya sudah meniadakan dinamika dalam pemilihan Allah? Seringkali perdebatan antara teolog-teolog Reformed dan non-Reformed dipusatkan pada masalah monergisme vs sinergisme, atau determinisme vs indeterminisme. Kalau ada unsur kerjasama manusia di dalam proses keselamatan, apakah anugerah Allah itu masih dapat dikatakan sebagai pemberian cuma-cuma tanpa jasa manusia di dalamnya. Sebaliknya kalau tidak ada, bagaimana dengan ayat-ayat dengan nada perintah kepada manusia "percayalah,""bertobatlah," lakukanlah," bukankah itu jelas menandakan peran serta manusia di dalamnya?

8. Perdebatan di atas adalah perdebatan klasik yang bukan hanya berlangsung ratusan tahun (Calvinisme vs Arminianisme) melainkan sudah berlangsung hampir 2000 tahun, mulai dari adanya formulasi yang jelas dari teologia Kristen, dan populer sejak perdebatan antara Agustinus vs Pelagius. Dalam lingkaran Reformed sendiri - di mana sinergisme secara bulat ditolak banyak usaha untuk menjelaskan relasi antara pekerjaan Allah dengan kebebasan manusia. Salah satu pendekatan adalah yang dilakukan oleh John Feinberg, yang disebutnya sendiri sebagai "soft determinism" (determinisme yang lunak). Penjelasan sederhana dari posisi ini adalah sebagai berikut; bahwa memang Allah telah menetapkan segala sesuatu, tetapi pelaksanaan dari perwujudan rencana Allah ini tidak begitu saja dipaksakan kepada manusia, melainkan dengan cara persuasif. Karena Allah adalah Allah yang mahatahu, maka Dia bisa memperkirakan segala kemungkinan yang paling baik, sehingga cara persuasifnya bisa berhasil dengan baik, dan manusia dengan kehendaknya sendiri menggenapkan rencana Allah tersebut.317 Pendekatan lain yang sedikit berbeda dengan di atas ialah yang disebut dengan "congruism," pandangan ini belakangan dipopulerkan oleh teolog Injili kontemporer yang bernama M. J. Erickson. Bahwa seseorang melakukan pemilihan sepenuhnya dengan bebas berdasarkan apa yang menurutnya terbaik. Namun apa yang terbaik menurut seseorang ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang ada di dalam diri orang tersebut, latar belakangnya, kebudayaannya, sifat bawaannya, "gen"-nya. Siapa yang menetapkan faktor-faktor dasar dalam diri seseorang? Jawabannya ialah Allah. Secara sederhana ini berarti bahwa Allah hanya mengatur unsur-unsur dasar yang ada di dalam alam kehidupan manusia, sehingga apa yang terjadi di dalam satu titik waktu tertentu sesuai dengan perencanaanNya di mana manusia melangkah dan memilih keputusannya dalam kebebasannya yang penuh.318

9. Dua pola pendekatan di atas adalah contoh-contoh dari usaha yang dilakukan oleh para teolog Reformed untuk tetap mempertahankan kedaulatan Allah yang utuh, namun sekaligus memberikan ruang gerak pada kebebasan manusia. Namun bagi pembaca yang sensitif dapat mendeteksi bahwa di balik pola-pola pemikiran tersebut tetap ada bayang-bayang determinisme yaitu pola berpikir sebab akibat - yang mempengaruhinya. Penulis dalam ha! ini memilih alternatif lain yang dikemukakan oleh Berkouwer yang kami sebut dengan Dynamic Monergism (monergisme yang dinamik).319 Untuk mengerti posisi Berkouwer ini, terlebih dahulu harus dicamkan dalam benak kita bahwa pola alternatif Berkouwer ini yang terutama bukanlah suatu analisa secara logis atau rasional mengenai cara kerja anugerah dan kedaulatan Allah dalam sejarah, melainkan suatu pengakuan iman terhadap misteri anugerah Allah, di mana otak manusia yang terbatas ini hanya bisa membuat suatu refleksi - di dalam batas penyataan Allah -- mengenai bekerjanya anugerah Allah dalam gerak sejarah yang dinamik ini.

10. Dari Perjanjian Lama kita mengetahui bahwa hubungan Allah dengan umatNya (Israel) bukanlah seperti bangsa kafir terhadap ilah-ilah mereka -- yaitu sesuatu yang statis dan tidak berubah -- melainkan sesuatu yang hidup di mana manusia memainkan peran yang penting di dalam sejarah. Jadi kedaulatan dan kekuasaan Allah bukan merupakan kekuatan yang meniadakan daya kreasi manusia, sebaliknya kegiatan manusia juga tidak membatasi terwujudnya rencana Allah. Ini tidak berarti sebagai dua kekuatan yang bekerja secara paralel satu dengan lain, melainkan pengaturan Allah dilaksanakan dan diwujudkan di dalam dan melalui diri manusia. Misalnya dari contoh Yusuf dan saudara-saudaranya, memang rencana jahat mereka untuk menjual Yusuf ke Mesir terlaksana, namun rencana Allah yang baik diwujudkan melalui kejahatan manusia tersebut. Belakangan melalui pengalaman Yusuf di Mesir, dia memahami tangan Allah yang bekerja di balik semuanya ini (Kej 45:1-15; 50:15-21). Dalam Perjanjian Baru kita melihat fenomena yang sama, khususnya dalam penyaliban Yesus Kristus. Disana Iblis dan manusia memainkan peranan, bahkan Yesus mengalami "penolakan" Allah Bapa tatkala Ia berada di kayu salib sebagai akibat dari perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab itu, namun di balik semuanya ini campur tangan Allah secara misterius merangkum semuanya dan mengarahkannya untuk mencapai rencana keselamatannya. Dalam bahasa Inggris istilah yang sering dipakai Berkouwer adalah "interweaving," atau "interlacing,"320 antara pekerjaan Allah dan pekerjaan manusia (bukan sesuatu yang paralel).

11. Salah satu cara untuk mengerti konsep monergisme yang dinamik ini terletak pada pemahaman kita tentang relasi antara kekekalan dan waktu. Untuk itu penulis perlu mengakui bahwa pemahaman kami tentang ide ini banyak dibantu oleh buku Election and Predestination yang ditulis oleh Paul K. Jewett. Pertama, perlu disadari bahwa kekekalan bukanlah suatu segmen yang terpisah jauh dari waktu kita. Misalnya, istilah "pre" dalam predestinasi jangan dimengerti sebagai suatu titik permulaan dari sebuah garis yang dimulai dari masa lampau yang jauh, kemudian melalui proses sebab akibat dalam garis waktu sampai pada titik sekarang ini. Allah memilih kita sebelum dunia dijadikan tidak sama pengertiannya dengan Raja Daud lahir sebelum Yesus Kristus. Sebab kalau kita terikat dengan pengertian yang demikian, maka segala peristiwa yang terjadi dalam waktu adalah suatu rangkaian sebab akibat yang telah ditetapkan terlebih dahulu, akhirnya kita sampai pada Allah sebagai penyebab pertama (the first cause). Dalam bahasa Jewett sendiri dikatakan;

Janganlah kita menghubungkan pemilihan Allah dan manusia sebagai suatu sebab akibat dalam satu garis lurus waktu, melainkan hubungan itu secara dialektik, yaitu kaitan dinamik yang saling mempengaruhi... ini tidak berarti suatu dualisme, sepertinya kekekalan dan waktu adalah dua jalur yang tidak pernah bertemu, melainkan kekekalan memberi makna pada waktu, sebaliknya waktu terjalin di dalam kekekalan, dan justru karena pemilihan maka apa yang terjadi dalam waktu adalah riil dan penting... Justru karena pemilihan dalam kekekalan Allah menyebabkan pemilihan manusia dalam waktu bukan sebagai sesuatu yang semu, sebaliknya iman kita dalam Kristus adalah masalah mati hidup, masalah surga dan neraka.321

12. Pemahaman antara relasi kekekalan dan waktu yang dinamik secara demikian ini membuat kita melihat doktrin pilihan bukan secara kronologis melainkan dimensional. Bukan sesuatu yang terjadi jauh sebelumnya, melainkan yang dilihat dari dimensi Allah. Ini berarti bahwa predestinasi adalah karya keselamatan Allah yang terjadi dalam sejarah, tetapi sekaligus juga melampaui sejarah karena bebas dari unsur-unsur ketergantungan yang semata-mata didasarkan sejarah. Konsep ini merupakan suatu penerobosan dari doktrin predestinasi tradisional yang sering dikemukakan oleh teolog-teolog Reformed konservatif, karena di dalam pemahaman doktrin pilihan yang kronologis, terkandung bahaya merelatifkan pentingnya keputusan manusia, juga unsur iman dan tanggung jawab dalam diri manusia. Pemberitaan Injil hanya sebagai deklarasi terhadap mereka yang telah dipilih sebelum dunia dijadikan. Sebaliknya pola dari Berkouwer dan Jewett ini memperhitungkan dengan serius respons manusia dalam sejarah, dalam kalimat kami dapat diungkapkan secara demikian; bahwa pola ini "tidak merelatifkan pentingnya sejarah hanya sebagai suatu bagian dari kekekalan, sebaliknya ia juga tidak menjadikan kekekalan hanya sebagai bagian dari sejarah. Keduanya mempunyai signifikansinya sendiri dalam proses yang dinamik antara kekekalan dan waktu.

13. Sebagai kesimpulan perlu kami kemukakan beberapa keuntungan pola monergisme yang dinamik ini dibandingkan pola Calvinisme yang lebih konservatif. Pola monergisme yang dinamik ini bisa menghindarkan masalah pemilihan Allah yang tersembunyi dan semena-mena (hidden and arbitrary) yang sering dituduhkan terhadap teologia Reformed; kehendak Allah itu bukan sesuatu yang beku, statis, segala sesuatu telah ditentukan dalam kekekalan sehingga sejarah tidak lebih daripada realisasi penetapan Allah yang kekal. Allah mempunyai rencana, tetapi realisasi rencana tersebut melalui suatu proses interaksi yang dinamik antara Allah dengan manusia. Pola ini juga bisa membebaskan kita dari masalah filsafati antara determinisme dan indeterminisme yang sering menjadi latar belakang perdebatan antara Calvinisme dan Arminianisme. Secara soteriologis, pola ini bisa sekaligus mengukuhkan segi Allah dan tanggung jawab manusia tanpa menjadikan karya Allah sebagai dualisme. Karya Allah tetap sebagai suatu kesatuan, namun terjalin di dalam dan melalui diri manusia sehingga bagian manusia sama sekali tidak diabaikan dalam proses realisasi kehendak Allah tersebut. Untuk membantu pembaca lebih bisa menyerap konsep ini kami coba membuat diagram perbandingan antara determinisme, sinergisme, dan monergisme yang dinamik (lihat halaman berikutnya).322

Model Linier

1. Determinisme. Kehendak Allah adalah penyebab pertama dari segala sesuatu yang terjadi; manusia adalah alat untuk merealisasikan rencana Allah dalam pola satu garis lurus.

Model Paralel

2. Sinergisme. Kehendak Allah hanya bila direalisasikan dengan cara bekerja sama dengan manusia sebagai satu unsur yang berdiri sendiri.

Model Spiral

3. Monergisme yang dinamik. Karya Allah dan respons manusia saling berinteraksi secara dialektik, sehingga ada keterkaitan yang dinamik di dalam kesatuan rencana Allah tersebut.



TIP #08: Klik ikon untuk memisahkan teks alkitab dan catatan secara horisontal atau vertikal. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA