Topik : Penghafalan

13 Januari 2008

Memamah Biak

Nats : Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik ... yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (Mazmur 1:1,2)
Bacaan : Mazmur 1:1-3

Tinggal di pedesaan memberi kesan tersendiri bagi saya. Setiap senja saya mencium aroma yang spesifik, yaitu bau rumput yang sengaja dibakar untuk mengusir nyamuk. Saya juga mendapati beberapa petani yang tidur sekamar dengan lembunya. Mereka sama-sama melepas lelah setelah seharian membajak di sawah.

Bila saya memerhatikan lembu yang beristirahat di siang hari, saya melihat mulutnya selalu bergerak mengunyah sesuatu. Ya, sapi itu sedang memamah biak. Binatang yang memamah biak memiliki lambung dengan banyak ruang [poligastrik: berperut banyak]. Makanan yang masih kasar dan mula-mula disimpan di perut, dikeluarkan lagi ke mulut untuk dikunyah dan dicerna lagi di lapisan perut yang lain dan seterusnya, sehingga akhirnya lembu itu mendapat sari makanan untuk kebutuhan tubuhnya. Sungguh hebat "mesin susu" ini, sehingga dari rumput yang hijau bisa dihasilkan susu yang putih.

Itulah yang seharusnya kita lakukan untuk benar-benar menikmati firman Tuhan. Membaca Alkitab bukan sekadar untuk "memenuhi kewajiban" bersaat teduh; merasa terbeban, tetapi tidak mendapatkan sesuatu. Kita perlu membaca dan merenungkannya siang dan malam, menggali, dan mengadakan refleksi: Apa yang saya baca? Mengapa demikian? Bagaimana menerapkannya? Hanya dengan demikian dan di bawah bimbingan Roh Kudus (Yohanes 16:13), kita akan mengalami dan merasakan yang Daud rasakan, yakni menikmati manisnya madu surgawi, "Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih daripada madu bagi mulutku" (Mazmur 119:103) --ACH

27 April 2008

Rutin?

Nats : Pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat (Efesus 5:16)
Bacaan : 1Korintus 11:20-31

Rutin artinya biasa. Lazim. Tidak istimewa. Setiap orang tidak bisa bebas dari rutinitas hidup. Setiap bangun pagi, kita melakukan kegiatan yang itu-itu juga. Di gereja pun acara kebaktian Minggu hampir sama. Bisa saja kita mendobrak rutinitas dengan melakukan hal-hal istimewa: pergi ke tempat asing, ikut panjat tebing, naik arung jeram atau jet coaster. Namun, saat balik ke rumah, hidup menjadi rutin lagi!

Tidak ada yang salah dengan rutinitas. Yang keliru adalah terjebak dalam rutinitas, sehingga semua tugas kita lakukan tanpa penghayatan. Asal jalan. Dulu, setiap kali beribadah, jemaat Korintus selalu mengadakan Perjamuan Kasih dan Perjamuan Kudus. Setelah berjalan lama, mulailah umat terjebak dalam rutinitas. Perjamuan Kasih sebagai tanda kebersamaan tak lagi dilakukan dengan kasih. Masing-masing membawa makanan dari rumah, lalu dinikmati dengan kelompoknya sendiri (ayat 20,21). Begitu pula Perjamuan Kudus tidak lagi dilakukan dalam kekudusan, sebab orang mengikutinya tanpa introspeksi diri (ayat 28) dan "tanpa mengakui tubuh Tuhan" (ayat 29). Tanpa menghargai pengurbanan Kristus. Akibatnya, ritual itu tidak membawa berkat, malah mendatangkan perpecahan dan hukuman.

Supaya tak terjebak dalam rutinitas, setiap tugas dan momen perlu kita pandang sebagai kesempatan, bukan kebiasaan. Setiap Perjamuan Kudus adalah kesempatan berbenah diri. Setiap Perjamuan Kasih adalah kesempatan berbagi kasih. Mengikuti ibadah minggu adalah kesempatan bersyukur pada Tuhan. Jika tiap saat dipandang sebagai kesempatan, hidup tak akan terasa membosankan! -JTI

21 Mei 2008

Dua Hati Bertemu

Nats : Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1Raja-raja 19:13)
Bacaan : 1Raja-raja 19:1-14

Setiap kali suami saya pulang, anak saya yang berusia 2 tahun langsung tahu lebih dulu hanya dengan mendengar suara sepeda motornya. Ia akan segera lari keluar untuk menyambut ayahnya dengan gembira. Bagaimanapun suasana hatinya saat itu, yang jelas ia selalu senang bertemu lagi dengan ayahnya. Perasaan ini terjadi karena dua hati -- ayah dan anak -- bertemu.

Saat itu, Elia sedang lelah dan putus asa. Bahkan ia minta mati saja, "Cukuplah itu ... ambillah nyawaku" (ayat 4). Aneh memang. Elia yang baru saja melakukan pekerjaan besar bersama Tuhan, mengalami kelelahan dan keputusasaan hanya karena ancaman Izebel, seorang manusia belaka.

Lalu Tuhan datang menemui Elia. Bukan lewat angin besar yang membelah gunung dan memecah bukit. Bukan lewat gempa atau api. Dia datang lewat angin sepoi-sepoi basa. Tuhan menemui Elia bukan lagi lewat peristiwa dahsyat, melainkan melalui peristiwa biasa. Di situlah Elia keluar dan menemui Tuhan. Dua hati bertemu, dan Tuhan menggugah hati Elia dengan bertanya, "Apakah kerjamu di sini?" (ayat 13). Tuhan menyadarkan Elia pada tugasnya dan menguatkannya supaya tidak lagi kalah oleh ketakutan dan kecemasan.

Jika saat ini kita sedang takut dan cemas, serta begitu putus asa, Tuhan menggugah hati kita dengan pertanyaan, "Apakah kerjamu di sini?" Tuhan ingin kita bangkit. Hanya satu yang Dia inginkan, yakni agar kita bertemu dengan-Nya. Sekarang juga, temuilah Tuhan dalam keheningan doa. Utarakan segala pergumulan kita kepada-Nya. Dia akan meneguhkan kita kembali pada panggilan pelayanan yang sudah dipercayakan pada kita -CHA

3 Agustus 2008

Ingin Jadi Apa?

Nats : Kata Yesus kepada mereka, "Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta." Lalu mereka pun membawanya (Yohanes 2:8)
Bacaan : Yohanes 2:1-11

Suatu kali dalam sebuah persekutuan keluarga, saya mengajukan sebuah pertanyaan. Jika mereka diajak berandai-andai menjadi salah satu tokoh dalam kisah pernikahan di Kana, siapakah yang akan mereka pilih?

Suasana menjadi ramai. Ada yang ingin menjadi ibu Maria, sang perantara hingga mukjizat terjadi. Ada yang mau menjadi pelayan, menyaksikan bagaimana mukjizat terjadi. Ada yang ingin menjadi pemimpin pesta, yang cuma tahu beres. Ingin menjadi pengantinnya? Ada juga! Ada yang ingin jadi tempayan, wadah di mana mukjizat itu terjadi. Yang unik, ada yang ingin menjadi Yesus, sang pembuat mukjizat! Namanya berandai-andai, bisa saja ada yang berpikir begitu. Terakhir ada yang menjawab ingin menjadi tamu saja, menikmati mukjizat.

Setelah tak ada jawaban lain lagi, tiba-tiba seseorang menyeletuk, "Lalu, Anda sendiri mau jadi apa dong?" "Saya ingin menjadi air biasa yang digunakan untuk pembasuhan waktu itu," begitu jawab saya. Ya, itulah kerinduan saya. Menjadi air putih biasa, yang kemudian diubah oleh Yesus menjadi anggur. Bukan sembarang anggur, tetapi anggur yang baik (ayat 10), yang membawa sukacita bagi banyak orang.

Saya sadar, ini sangat sulit untuk dipraktikkan. Diubah oleh Tuhan Yesus bahkan bisa terasa berat dan menyakitkan. Namun, jika kita sungguh-sungguh rindu hidup kita yang biasa-biasa menjadi bermakna, bukankah kita mesti rela dikoreksi, diajar, bahkan jika perlu, dihajar? Dan satu hal yang pasti, untuk menjadi apa pun setiap kita mesti taat kepada-Nya terlebih dahulu supaya dapat menjadi berkat bagi orang lain -MNT



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA