Daftar Isi
ENSIKLOPEDIA: BUDAK, PERBUDAKAN

BUDAK, PERBUDAKAN

BUDAK, PERBUDAKAN [ensiklopedia]

I. Dalam PL

a. Pembimbing

Karena pengaruh hukum Romawi, seorang budak laki-laki atau perempuan biasanya dianggap milik orang lain, tanpa hak, dan -- seperti setiap bentuk milik pribadi lainnya -- dapat dipakai atau digunakan dengan cara apa pun sesuai kemauan pemilik. Tapi di Asia Barat Kuno pada zaman Alkitab, budak-budak bisa memperoleh dan memang memperoleh berbagai hak berdasarkan hukum atau berdasarkan adat kebiasaan. Dalamnya termasuk hak memiliki (bahkan memiliki budak-budak lain) dan kekuasaan untuk berdagang, walaupun mereka masih dalam kekuasaan tuannya. Sejak zaman purba perbudakan telah ada di seluruh Asia Barat Kuno. Perbudakan itu dan seluruh penghambaannya, dimanfaatkan terutama dalam kaitannya dengan faktor-faktor ekonomi.

b. Asal para budak

(1) Ditawan. Tawanan, khususnya tawanan perang, umumnya dijadikan budak (Kej 14:21, seperti tuntutan raja Sodom, Bil 31:9; Ul 20:14; 21:10 dab; Hak 5:30; 1 Sam 4:9; 2 Raj 5:2; 2 Taw 28:8,10 dab). Perbudakan sudah ada seperti ditunjukkan oleh data-data historis, yaitu pada kr thn 3000 sM, bahkan jauh sebelumnya (disinggung dhn I Mendelsohn, Slavery in the Ancient Near East, 1949, hlm 1-3).

(2) Dibeli. Budak dapat dibeli dari pemiliknya atau dari pedagang-pedagang budak (bnd Kej 17:12, 13, 27; Pkh 2:7). Hukum Taurat mengizinkan orang Ibrani membeli budak bangsa asing dari orang asing, baik di Israel maupun di luar Israel (Im 25:44 dab). Di zaman kuno budak dijual bersama segala macam dagangan lainnya dari satu negeri ke negeri-negeri lainnya. Demikianlah pedagang Midian dan pedagang Ismael (*YUSUF) menjual Yusuf kepada seorang pegawai tinggi Mesir (Kej 37:36; 39:1). Kota Tirus di Fenisia mengimpor budak dan barang-barang tembaga dari Asia Kecil (Yeh 27:13), dan menjual orang Yahudi kepada orang Yunani. Ini menjadi ancaman terhadap bangsa sendiri akan diperlakukan sama (Yl 3:4-8). Sebagai bukti tentang besarnya jumlah budak Sem yg dijual ke Mesir pada zaman Yusuf, dan yg barangkali terutama melalui perdagangan, lih singgungan dalam *Yusuf atau Kepustakaan di bawah ini. Mengenai usaha orang Babel dalam perdagangan budak di luar negerinya seperti di kota Tirus, lih Mendelsohn, hlm 3-5.

(3) Lahir di rumah tuannya. Anak-anak dari budak 'yg dilahirkan di rumah' tuan dari budak itu langsung menjadi budak dari sang tuan. Budak demikian disebut dalam Alkitab sejak zaman Bapak leluhur dan zaman berikutnya (Kej 15:3; 17:12-13, 27; Pkh 2:7; Yes 2:14), juga oleh sumber-sumber Mesopotamia (Mendelsohn, hlm 57-58).

(4) Sebagai ganti rugi. Jika seseorang terbukti mencuri, tapi tidak dapat membayar ganti rugi dan dendanya dan apa-apa yg dirusakkannya, maka uang untuk itu bisa didapat dengan menjual pencuri itu sebagai budak (Kel 22:3; bnd hal yg serupa dlm Kitab Undang-Undang Hammurabi 53-54: ANET, hlm 168).

(5) Karena tak mampu membayar utang. Pengutang yg pailit sering dipaksa menjual anak-anaknya menjadi budak. Atau anak-anak pengutang itu disita oleh pemiutang menjadi budaknya (2 Raj 4:1; Neh 5:5, 8). Pengutang yg tak mampu membayar utangnya, maupun istri dan anak-anaknya, adalah lazim menjadi budak dari pemiutang dan bekerja baginya selama 3 thn untuk melunasi utangnya itu, kemudian bebas, demikian dalam Kitab Undang-Undang Hammurabi (ps 117: DOTT, hlm 30, atau ANET, hlm 170-171). Nampaknya inilah latar belakang hukum Taurat Musa dalam Kel 21:2-6 (dan 7-11), dan Ul 15:12-18; di situ dikatakan budak Ibrani harus bekerja 6 thn, mencolok 'dua kali lipat' (Ul 15:18) dibandingkan peraturan Hammurabi yg 3 thn (bnd Mendelsohn, hlm 32-33); tapi pada saatnya ia dimerdekakan ia harus dibekali untuk memulai hidupnya sendirian lagi (lih d. (i) 1). Ketidakmampuan membayar utang termasuk penyebab utama seseorang menjadi budak di bagian Asia Barat pada zaman Alkitab (Mendelsohn, hlm 23, 26-29).

(6) Kemauan sendiri. Merelakan diri sendiri menjadi budak, artinya menggantungkan diri kepada orang lain untuk menghindari kemelaratan, banyak terjadi (lih Mendelsohn, hlm 14-19 untuk keterangan). Im 25:39-43 dab menyinggung hal ini, tapi menyediakan kelepasan pada (atau pada tuan orang asing, malahan bisa sebelum) tahun Yobel.

(7) Penculikan. Menculik seseorang, dan menyerahkan korban penculikan itu menjadi budak, adalah pelanggaran yg bisa dihukum mati, baik menurut hukum Hammurabi (ps 14: DOTT, hlm 30; ANET, hlm 166) maupun Taurat Musa (Kel 21:16; Ul 24:7). Kakak-kakak Yusuf melanggar hukum demikian (Kej 37:27-28 dan 45:4) justru sangat ketakutan dan perlu diyakinkan supaya tidak cemas (Kej 45:3, 5; bnd Kej 50:15).

c. Harga budak

Harga budak tidak sama. Tergantung pada keadaan, jenis kelamin, umur dan kesehatannya. Tapi dalam perjalanan sejarah, harga rata-rata seorang budak kian meningkat seperti barang dagangan lainnya. Budak perempuan usia'siap nikah' (melahirkan) selalu lebih mahal dari budak laki-laki. Pada akhir milenium 3 sM di Mesopotamia (Akad dan Dinasti ke-3 Ur) harga rata-rata seorang budak adalah 10-15 syikal perak (demikian Mendelsohn, hlm 117-155). Kira-kira thn 1700 sM Yusuf dijual pada pedagang Ismael seharga 20 syikal perak (Kej 37:28), sesuai harga pada zaman Bapak leluhur; waktu itu 1/3 uang mina sama dengan 20 syikal (ps 116; 214; 252: DOTT, hlm 35; ANET, hlm 170,175-176, ump Kitab Undang-undang Hammurabi, thn 1750 sM), dalam lempeng Babel Kuno zaman itu (bnd Mendelsohn) dan si Mari (G Boyer, Archives Royales de Mari, 1958, hlm 23, no 10, baris 1-4).

Sekitar abad 15 sM harga rata-rata seorang budak adalah 30 syikal di Nuzi (B. L Eichler, Indenture at Nuzi, 1973,hlm 16-18, 87), dan di Ugarit di Siria Utara bisa 20,30 sampai 40 syikal (Mendelsohn, hlm 118-155; J Nougayrol, Palais Royal d' Ugarit, 3, 1955, hlm 228:2 disertai singgungan-singgunan, hlm 23 no 1) pada abad 14-13 sM, yg sama dengan harga 30 syikal pada waktu itu dalam Kel 21:32. Di kemudian hari harga budak laki-laki terus naik, berturut-turut pada zaman Kerajaan Asyur, Babel dan Persia, berkisar antara 50-60 syikal, 50 syikal dan 90-120 syikal (Mendelsohn, hlm 117-118,155). Sejumlah 50 syikal pada zaman Asyur, bnd 2 Raj 15:20, harus dibayar oleh orang-orang terhormat Israel pada pemerintahan Menahem untuk dirinya sendiri sebagai budak, diduga sebagai tebusan supaya jangan dibawa ke Asyur sebagai tawanan (D. J Wiseman, Iraq 15, 1953, hlm 135, dan JTVI 87, 1955, hlm 28). Kenaikan harga yg beruntun demikian, yg terdapat dalam catatan Alkitab maupun di luarnya, membuktikan bahwa catatan Alkitab itu langsung didasarkan pada bahan yg akurat, berasal dari zaman-zaman yg khusus dibicarakan, yaitu awal dan akhir milenium 2 sM dan awal milenium 1 sM.

d. Budak pribadi di Israel

(i) Budak Ibrani.

1. Undang-undang berusaha (seperti Kitab Undang-undang Hammurabi, 5 abad lebih dahulu) mencegah seluruh rakyat digiring menjadi budak dan 'sahayanda' karena tekanan ekonomi terhadap petani-petani miskin, dengan membatasi lamanya penghambaan yg harus dijalani oleh pengutang-pengutang yg tak mampu membayar utangnya (lih b (5) di atas), hanya 6 thn. Dan pada waktunya mereka dibebaskan, mereka harus dibekali persediaan secukupnya untuk memulai hidup baru (Kel 21:2-6; Ul 15:12-18). Laki-laki yg sudah berkeluarga sebelum terjerumus pada penghambaan, membawa serta istrinya ke kehidupan bebas. Tapi jika sebelumnya ia adalah lajang dan diberi istri oleh tuannya, istrinya dan anak-anaknya tetap tinggal milik tuannya. Karena itu, orang yg ingin tetap menghamba dan bersatu dengan keluarganya, boleh terus menghambakan dirinya (Kel 21:6; Ul 15:16); tapi pada thn Yobel bagaimanapun juga ia harus dibebaskan (Im 25:40) sehubungan dengan pemulihan hak atas warisan pada saat itu (Im 25:28), sekalipun ia pilih untuk tetap tinggal pada tuannya. Pengutang pailit yg masih dalam masa penghambaan seperti digambarkan Kel 21:2 dab, barangkali adalah orang yg disebut dalam Kel 21:26-27. Kehilangan salah satu anggota tubuh dan menyebabkan cacat seumur hidup, sebagai akibat dari ulah sang tuan, membatalkan semua utang sekaligus mendampakkan kemerdekaan bagi budak penderita cacat (Mendelsohn, hlm 87-88). Pada zaman nabi Yeremia, raja-raja dan orang-orang kaya menyalahgunakan secara keji hukum pembebasan pada thn ke-7 itu, dengan membebaskan budak-budak mereka, tapi kemudian menangkap dan memperbudaknya kembali. Dengan tepat Yeremia menghukum mereka karena perbuatan yg sangat keji itu (Yer 34:8-17).

2. Seorang Ibrani yg rela menghambakan dirinya untuk menghindari kemelaratan, harus melayani tuannya sampai thn Yobel, dan pada saat itu dia bebas (Im 25:39-43) dan menerima milik pusakanya kembali (Im 25:28). Tapi jika tuannya adalah orang asing, ia sewaktu-waktu boleh pilih membeli kebebasannya atau ditebus oleh sanak saudaranya, kendati thn Yobel belum tiba (Im 25:47-55).

3. Budak perempuan menjadi subyek hukum dan adat kebiasaan secara khusus. Pemimpin budak perempuan dari istri mandul seorang tuan, boleh melahirkan anak-anak untuk tuannya demi istri yg mandul itu. Hal ini tercatat baik dalam cerita tentang Bapak-bapak leluhur (Kej 16), dan 0 dalam dokumen-dokumen berhuruf paku dari zaman Ur (Wiseman, JTVI 88, 1956, hlm 124). Berdasarkan undang-undang, undang, jika seorang perempuan Ibrani terjual sebagai budak (Kel 21:7-11), kedudukannya sebagai istri dilindungi dengan ketat: ia boleh kawin dengan tuannya (dan dibebaskan jika ditolak), atau dengan anak tuannya, atau menjadi 10 gundik yg kesejahteraannya dijamin, tapi ia akan menjadi bebas jika tuannya gagal menepati janjinya, yg manapun dari ketiga kemungkinan itu disepakati. Di Mesopotamia perjanjian seperti itu umumnya lebih ketat, sering tanpa perlindungan apa pun (bnd Mendelsohn, hlm 10 dst, 87).

(ii) Budak bangsa asing.

1. Tidak seperti budak Ibrani, budak yg asalnya bangsa asing, bisa diperbudak selamanya dan dapat diberikan kepada orang lain bersama segenap miliknya (Im 25:44-46). Tapi, mereka terhisab dalam tata khas Israel sesuai teladan Bapak leluhur (sunat, Kej 17:10-14, 27) dan turut dalam pesta-pesta (Kel 12:44, Hari Raya Paskah; Ul 16:11, 14) dan istirahat sabat (Kel 20:10; 23:12).

2. Seorang perempuan yg tertawan dalam perang bisa diambil menjadi istri sah oleh orang Ibrani, dan dengan demikian statusnya sebagai budak menjadi hilang. Bila kemudian ia diceraikan ia adalah orang merdeka, dan tidak menjadi budak kembali (Ul 21:10-14).

(iii) Keadaan umum.

1. Perlakuan terhadap budak tergantung langsung dari kepribadian tuannya. Bisa berbentuk hubungan saling mempercayai (bnd Kej 24; 39:1-6) dan kasih sayang (Ul 15:16). Tapi disiplinnya bisa keras, bahkan ganjarannya mematikan (bnd Kel 21:21), sekalipun membunuh budak diancam hukuman (Kel 21:20), yaitu hukuman mati (Im 24:17, 22). Ada kemungkinan bahwa budak Ibrani, seperti beberapa budak Babel, kadang-kadang mempunyai cap yg nyata terlihat untuk menandakan kebudakannya (Mendelsohn, hlm 49), walaupun hal ini belum bisa dipastikan. Dalam beberapa hal budak-budak boleh menuntut keadilan (Ayb 31:13) atau pergi menghadap hakim (Mendelsohn, hlm 65, 70, 72), tapi -- seperti orang Mesir dilindungi oleh Daud mungkin saja dibuang oleh si man yg bengis, bila ia sakit (1 Sam 30:13). Pada zaman Bapak leluhur, tuan yg mandul bisa mengangkat budaknya menjadi ahli warisnya, seperti ihwal Abraham dan Eliezer sebelum Ismael dan Ishak lahir (Kej 15:3), dan beberapa orang lain dalam dokumen berhuruf paku (Ur, bnd Wiseman, JTVJ 88, 1956, hlm 124).

2. Dokumen-dokumen peninggalan sejarah purba melaporkan tentang banyaknya budak yg berusaha bebas dari perbudakan dengan jalan melarikan diri. Dan orang-orang yg menolong dan menghasut mereka dengan cara apa pun bisa mendapat hukuman, terutama pada zaman purba yg lebih dini (Mendelsohn, hlm 58 dst). Tapi budak yg lari dari sate negeri ke negeri yg lain merupakan masalah tersendiri. Kadang-kadang kerajaan-kerajaan itu mempunyai peraturan tertentu dalam hal ekstradisi; hal ini mungkin dapat memberi keterangan tentang betapa mudahnya Simei mendapat kembali dua orang budaknya yg lari, dari Akhis raja Gat di Filistea (1 Raj 2:39-40; bnd Wiseman, hlm 123). Namun, beberapa kerajaan kadang-kadang menetapkan, jika seorang dari bangsanya menjadi budak di luar negeri dan kembali ke tanah air mereka, maka ia dimerdekakan dan tidak akan diserahkan kembali. Peraturan ini ditetapkan oleh Hammurabi, raja Babel (Kitab Undang-Undang Hammurabi, ps 280: DOTT, hlm 35; ANET, hlm 177; bnd Mendelsohn, hlm 6364, 75, 77-78), dan mungkin inilah arti dari Ul 23:15 dab (Mendelsohn, hlm 63-64).

(iv) Pembebasan budak. Dalam hukum Ibrani, budak akibat hutang harus dibebaskan sesudah 6 thn (Kel 21:2; Ul 15:12, 18), atau sebagai imbalan dari cacat yg diderita (Kel 21:26-27), dan budak perempuan bisa ditebus atau dibebaskan jika ia tidak akan diperistri, atau jika syarat-syarat pelayanan tidak dihormati oleh sang tuan (Kel 21:8, 11; lih d (i) 3 di atas). Orang Ibrani yg menjual dirinya menjadi budak harus dibebaskan pada thn Yobel, atau bila tuannya orang asing, ia bisa ditebus dengan uang setiap waktu (Im 25:39-43, 47-55; d (i) 2 di atas). Mengenai Ul 23:15 dab lih bagian terdahulu. Perempuan yg tertawan bisa menjadi perempuan bebas melalui perkawinan (Ul 21:10-14).

Dalam 1 Taw 2:34 dab, seorang Ibrani bernama Sesan, tidak mempunyai anak laki-laki. Karena itu ia menikahkan putrinya dengan Yarha, budaknya -- orang Mesir. Maksud Sesan adalah melanjutkan garis keturunannya; sangat mungkin dalam keadaan ini Yarha dimerdekakan (Mendelsohn, hlm 57), demikian juga Eliezer orang Damsyik (Kej 15:3), jika ia tidak diganti sebagai ahli waris Abraham oleh Ismael, dan kemudian Ishak.

Dalam bh Ibrani kata yg mengartikan seseorang adalah orang 'merdeka', maksudnya bukan (atau bukan lagi) budak (ump Kel 21:2, 5, 26-27; Ul 15:12-13, 18; Ayb 3:19; Yer 34:9-11, 14, 16; dst) ialah khofsyi. Kata itu mempunyai sejarah yg panjang di Asia Barat Purba, muncul sebagai khupsyu dalam naskah berhuruf gaya paku dari abad 18-7 sM, dan biasanya menunjuk kepada budak lelaki yg sudah dimerdekakan, yg menjadi pemilik sebidang kecil tanah, petani penyewa tanah atau pekerja upahan. Jika seorang Ibrani dimerdekakan, inilah golongan yg harus dimasukinya: ia menjadi pemilik sebidang kecil tanah jika ia mendapat kembali milik pusakanya (seperti pada thn Yobel), atau penyewa tanah, atau buruh tani di suatu ladang milik orang lain. Mengenai pembebasan budak di Asia Barat Purba, lih Mendelsohn, hlm 74-91; mengenai khofsyi, lih Kepustakaan di bawah.

e. Budak negara dan budak Bait Suci

(i) Budak negara di Israel. Ini dipraktikkan dalam kegiatan terbatas. Daud memerintahkan orang Amon yg ditaklukkannya melakukan kerja paksa (2 Sam 12:31). Salomo mengharuskan keturunan orang Kanaan yg masih hidup menjadi mas-'oved, budak rodi yg menetap. Tapi orang Israel tulen dibebaskan dari tugas demikian (lih 1 Raj 9:15, 21-22; kuli dan tukang pahat, ay 15 dan 2 Taw 2:18). Orang Israel pernah melakukan rodi sementara (mas) di Libanon dan secara bergantian (1 Raj 5:13 dab). Sama sekali tak ada pertentangan 1 Raj 5 dengan ps 9 mengenai rodi itu; bnd M Haran, VT 11, 1961, hlm 162-164, mengikuti dan sedikit memperbaiki Mendelsohn, hlm 96-98. Tambang tembaga dan penuangannya yg termasyhur di Ezion-Geber sangat mungkin mengerahkan pekerja budak orang Kanaan dan Amon/Edom (N Glueck, BASOR 79, 1940, hlm 4-5; Mendelsohn, hlm 95; Haran, hlm 162). Mengerahkan tenaga tawanan perang seperti itu adalah biasa di seluruh Asia Barat. Dan di negeri-negeri lain di luar Israel, rakyat yg kurang beruntung dan budak-budak biasa, kadang-kadang bisa dimanfaatkan oleh negara (Mendelsohn, hlm 92-99).

(ii) Budak Bait Suci di Israel. Usai perang dengan Midian, Musa mengambil 1 dari setiap 500 jarahan yg menjadi bagian dari pasukan tempur Israel, dan 1 dari setiap 50 jarahan yg menjadi bagian masyarakat Israel, baik jarahan berupa manusia maupun hewan. Musa menyerahkannya kepada Imam Besar dan kepala suku Lewi sebagai pelayan khusus Bait Suci (Bil 31:28, 30,47). Kemudian kepada pelayan khusus ini ditambahkan lagi orang-orang Gibeon yg dibiarkan hidup oleh Yosua, dan mereka menjadi 'tukang belah kayu dan tukang timba air' di Bait Allah dan pada mezbah-Nya (Yos 9:3-27). Artinya, menjadi budak yg bertugas di Kemah Suci. Demikian juga Daud dan pegawainya memakai orang-orang asing (Netinim) untuk pekerjaan serupa itu bersama orang Lewi yg melayani Bait Suci. Beberapa keturunan mereka kembali dari pembuangan bersama Ezra (8:20); ke sini ditambahkan lagi 'hamba Salomo' (Ezr 2:58). Nabi Yehezkiel mungkin menegur Israel (Yeh 44:6-9) karena membiarkan pesuruh-pesuruh yg tak bersunat ini memonopoli pelayanan dalam ibadah Bait Suci, padahal itu bukan hak mereka. Zaman Nehemia (Neh 3:26, 31) beberapa dari mereka tinggal di Yerusalem dan membantu memperbaiki tembok-tembok kota itu.

f Kesimpulan: keadaan umum

Pada umumnya, dalam seluruh hukum dan istiadat PL mengenai perbudakan, terdapat jiwa yg lebih manusiawi, seperti dilukiskan oleh pengulangan amanat dalam nama Allah, supaya jangan bengis memerintah Israel -- bangsa dan saudara sendiri (ump Im 25:43, 46, 53, 55; Ul 15:14 dab). Kendati hukum dan istiadat Ibrani mengenai budak ada mengutip gaya Sem kuno, toh dalam nama Allah memuat perhatian khas atas budak, yg oleh statusnya tidak termasuk rakyat, ihwal yg alpa dalam Kitab Undang-undang Babel dan Asyur. Harus pula diingat, bahwa umumnya perekonomian di Asia Barat Purba tidak pernah didasarkan atau diandalkan terutama pada sektor budak seperti terjadi pada zaman Yunani purba dan zaman sesudahnya, juga seperti terjadi pada zaman Kerajaan Roma (bnd Mendelsohn, hlm 111-112, 116-117, 121). Dan Ayub (31:13-15) mencanangkan kesamaan segenap manusia dari lapisan mana pun asalnya di hadapan Allah pencipta manusia.

KEPUSTAKAAN. Karya utama yg berulang-ulang menunjuk ke PL ialah I Mendelsohn, Slavery in the Ancient Ne East, 1949, yg melanjutkan penelitian-penelitian terdahulu ditambah oleh IEJ5, 1955, hlm 65-72. Keterangan-keterangan Alkitab diringkaskan dan dievaluasi oleh A. G Barrois, Manuel d'Archeologie Biblique, 2, 1953, hlm 38, 114, 211-215, dan oleh R de Vaux, Les Institutions de l'Ancien Testament, I, 1958, hlm 125-140, 328-329 (dlm bh Inggris dgn judul Ancient Israel: its Life and Institutions, 1961). Mengenai budak Bait Suci di Israel, bnd M Haran, VT 11, 1961, hlm 159-169. Mengenai khofsyi, 'budak-budak lelaki yg sudah dibebaskan', lih Mendelsohn, BASOR 83, 1941, hlm 36-39, dan 139, 1955, hlm 9-11; E. R Lacheman, BASOR 83, 1942, hlm 36-37; DJ Wiseman, The Alalakh Tablets, 1953, hlm 10. Mengenai perbudakan di Mesir, lih A. M Bakir, Slavery in Pharaonic Egypt, 1952, ditambah perbudakan zaman Yusuf oleh W. C Hayes, A Papyrus of the Late Middle Kingdom in the Brooklyn Museum, 1955, hlm 92-94, 98-99, 133-134 dan terutama G Posener, Syria 34, 1957, hlm 147, 150-161. KAK/MHS

II. Dalam PB

a. Sistem-sistem perbudakan pada zaman PB

Perbudakan Yahudi, ditimbang berdasarkan Talmud, seperti pada masa-masa sebelumnya tetap dikuasai oleh kesatuan nasional Israel yg ketat. Ada pembedaan yg tajam antara budak Yahudi dan budak non-Yahudi. Budak Yahudi adalah subyek dari peraturan pembebasan budak pada thn Sabat juga subyek dari kewajiban menebus saudara sebangsa yg dibebankan kepada persekutuan Yahudi dimana pun berada, supaya menebus teman sebangsanya yg terjual kepada non-Yahudi. Jadi di kalangan Yahudi tidak diakui adanya perbedaan antara budak dari orang merdeka. Serentak seluruh umat itu boleh dianggap sama-sama hamba Yahweh.

Kebalikannya, perbudakan dibenarkan dalam filsafat Yunani purba, yg mengatakan bahwa budak ada secara alami. Karena pada hemat mereka, hanya warga negaralah yg dianggap manusia, sedangkan budak dianggap hanya harta benda. Kendati ide perbudakan ini jarang dipraktikkan secara konsekuen, terutama pada saat akal sehat dan peri kemanusiaan telah bobrok, namun sepanjang zaman purba lembaga perbudakan sudah dianggap biasa, bahkan oleh orang-orang yg berusaha untuk memperbaiki keadaan itu.

Luasnya perbudakan dan pemakaian budak-budak sangat beraneka sepanjang masa yg berbeda-beda. Hati nurani manusia zaman sekarang akan sangat terpukul melihat kekejaman perbudakan dalam pertanian di Italia dan Sisilia selama 2 abad antara perang Punika (Kartago) dan Kaisar Agustus, yg ditunjukkan oleh sederet pemberontakan budak-budak perkasa. Ini merupakan akibat dari cepatnya daerah-daerah Laut Tengah ditaklukkan oleh kerajaan Roma, yg dianggap penyebab utama banjirnya budak-budak yg bersumber dari tawanan perang. Tapi pada zaman PB peristiwa perang hanya sedikit. Pertanian Romawi khususnya dicirikan oleh barak-barak budak, tapi di tempat lain, Mesir ump, tak ada budak pertanian; tanah dikerjakan oleh buruh tani merdeka dengan diawasi oleh pegawai pemerintah. Di Asia Kecil dan Siria kuil-kuil memiliki lahan yg luas, diolah oleh petani secara sewa dan tinggal di situ sebagai sahaya. Di Palestina -- ditinjau menurut perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus -- dasar mempekerjakan budak lebih bersifat administratif, dan budak khusus untuk pekerjaan tertentu dipilih secara sepintas lalu.

Bentuk perbudakan yg paling umum dan luas adalah budak pelayan rumah dan budak negara. Dalam hal pertama budak-budak dibeli dan dipekerjakan sebagai lambang kemakmuran. Jika mempunyai hanya satu atau dua orang budak, maka mereka bekerja bersama tuannya untuk melakukan pekerjaan yg sama. Di jalan-jalan kota Atena, budak-budak tak dapat dibedakan dari orang merdeka, dan kurangnya penghormatan budak-budak terhadap tuannya merupakan sumber lelucon yg sangat menggelikan. Di gedung-gedung besar Roma dipekerjakan puluhan budak, hanya untuk menunjukkan kemewahan yg berlimpah. Pekerjaan mereka sangat dikhususkan dan kerap kali sangat ringan. Budak-budak negara -- oleh status mereka -- memperoleh cukup kemerdekaan dan penghormatan. Mereka mengemban segala macam kewajiban karena tak ada pegawai negara, dan dalam beberapa hal termasuk tugas-tugas kepolisian. Pekerjaan seperti mengobati dan mendidik biasanya dilakukan oleh budak.

Asal usul budak yg paling umum adalah: (1) lahir sebagai keturunan budak. Ini tergantung pada jiwa undang-undang dari negara-negara tertentu, yg mengatur liku-liku perbudakan yg bermacam-macam itu, termasuk keturunannya; (2) praktik yg luas terjadi, yakni membuang anak-anak yg tidak diinginkan; anak-anak ini tersedia untuk diperbudak oleh setiap orang yg mau membesarkan mereka; (3) menjual anak sendiri menjadi budak; (4) merelakan diri menjadi budak karena kemelut ekonomi, seperti utang; (5) budak karena dihukum; (6) diculik atau dirampas; (7) perdagangan budak melewati batas-batas kerajaan Roma. Tidak semua asal usul ini terterap pada suatu tempat dan pada setiap waktu: banyak ragamnya dalam undang-undang dan istiadat setempat. Persentasi budak juga sangat berbeda, tak mungkin dihitung jumlahnya. Mungkin mencapai 1/3 dari penduduk kota Roma dan kota-kota besar lainnya di Asia Barat. Tapi di daerah-daerah pertanian, jumlah budak turun menjadi bagian terkecil.

Pembebasan budak bisa diatur setiap saat, tergantung kemauan pemiliknya. Di Roma hal itu umumnya terjadi berdasarkan wasiat. Kemurahan hati pemilik budak harus dibatasi untuk mencegah pembauran yg terlalu cepat antara warga kota dengan orang-orang asing. Di negara-negara Yunani ada dua bentuk umum pembebasan budak. Pertama, menjual diri. Dalam bentuk ini keterikatan budak secara hukum hapus oleh dijualnya budak itu secara teknis kepada dewa, yg kemudian membebaskannya. Kedua, seorang budak dibebaskan asalkan ia menyetujui suatu 'kontrak' pelayanan; artinya, ia melanjutkan pekerjaan yg sama tapi bukan lagi sebagai budak, melainkan orang merdeka secara hukum.

Pada zaman PB keadaan budak di mana-mana selalu diperbaiki. Walaupun budak-budak tidak mempunyai kedirian secara hukum, para pemilik mengakui bahwa makin bebas mereka, makin baik kerjanya. Dan biasanya mereka diizinkan memiliki harta dan kawin. Kekejaman ditentang oleh pertumbuhan perikemanusiaan umum yg semakin memasyarakat, dan dalam hal-hal tertentu di sidik secara hukum; di Mesir, ump, kematian seorang budak diperiksa oleh pengadilan. Di negara-negara Yunani budak-budak yg dimerdekakan diberi hak tinggal menetap sebagai orang asing di kota tuan mereka yg dulu; di Roma mereka otomatis menjadi warga negara Roma. Jadi membanjirnya budak-budak ke Italia, terutama selama 2 abad sebelum Kristus, mengakibatkan republik Roma itu bersifat internasional, mendahului kebijaksanaan politik pemerintah sendiri untuk terus menambah jumlah warga negaranya.

b. Sikap PB terhadap perbudakan

Nampak jelas bahwa ke- 12 murid Yesus tidak pernah terlibat dalam sistem perbudakan. Mereka bukan budak juga bukan tuan pemilik budak. Tapi perbudakan berulang-ulang muncul dalam perumpamaan-perumpamaan (ump Mat 21: 34; 22:3), karena bentuk keluarga bangsawan lagi raja dan pemilik budak, merupakan lambang yg baik untuk Kerajaan Allah. Yesus berulang-ulang mengumpamakan hubunganNya sendiri dengan murid-murid-Nya seperti hubungan hamba-hamba dengan tuan mereka (Mat 10:24; Yoh 13:16). Tapi sekaligus juga ditekankan-Nya ketidakmutlakan lambang itu. Murid-murid Yesus seolah-olah sudah dimerdekakan, dan diperbolehkan menikmati persekutuan yg lebih akrab dan mesra dengan tuan mereka (Yoh 15:15). Dan pada satu kesempatan lain, Yesus membingungkan pikiran murid-murid secara nyata, karena Ia sendiri melakukan pekerjaan hamba (Yoh 13:4-17), dengan tujuan untuk mendorong mereka saling melayani.

Tapi di luar Palestina, di mana jemaat-jemaat berdiri sebagai gabungan dari banyak rumah tangga, anggota-anggotanya terdiri dari tuan-tuan dan budak-budak. Di jemaat-jemaat itu -- yg adalah persekutuan dengan Kristus -- perbudakan sebagai salah satu ciri masyarakat tidak lagi mempunyai makna (1 Kor 7:22; Gal 3:28). Hal ini jelas melahirkan keinginan mencari kebebasan (1 Kor 7:20) dan bahkan mungkin ada orang-orang yg mendorong untuk memperjuangkannya (1 Tim 6:1-2). Paulus tidak menentang pembebasan budak jika kesempatan itu ada (1 Kor 7:21), tapi gigih menolak untuk mendesak para tuan melakukannya kendati nurani pribadinya bisa saja mendorong dia ke arah itu (Flm 8, 14). Tidak hanya alasan praktis, yaitu menghindarkan jemaat dari sasaran kecaman (1 Tim 6:1 dab), yg mendorong Paulus bersikap demikian, tapi juga prinsip dasar bahwa keadaan atau status sosial seseorang diatur oleh Tuhan (lih 1 Kor 7:17 dab). Justru para budak harus menyenangkan hati Allah melalui pelayanan mereka (Ef 6:5-8; Kol 3:22). Ikatan persaudaraan dengan tuan yg percaya kepada Kristus, hendaknya menambah alasan untuk melayani dia dengan baik (1 Tim 6:2). Di pihak lain tuan pemilik wajib mengindahkan citra persaudaraan itu menjiwai dirinya (Flm 16), dan wajib pula memperlakukan budak-budaknya dengan mengekang diri(Ef 6:9) dan dengan rasa kesamaan yg mantap (Kol 4:1).

Budak keluarga, satu-satunya jenis perbudakan yg dibicarakan dalam PB, umumnya dijiwai oleh perasaan-perasaan ramah dan cinta kasih. Kenyataan ini diungkapkan dalam PB dengan kiasan 'keluarga Allah' (Ef 2:19). Para rasul adalah pengatur rumah Allah (1 Kor 4:1; Tit 1:7; 1 Ptr 4:10) dan bahkan hamba-hamba biasa (Rm 1:1; Flp 1:1). Tapi watak 'kuk perhambaan' (Gal 5:1) sebagai yg berdasarkan hukum tidak dilupakan. Gagasan pembebasan dan mengangkat menjadi anggota keluarga sendiri, adalah kesimpulan yg membanggakan dari pemikiran ini (Rm 8:15-17; Gal 4:5-7). Jadi, perbudakan, baik praktisnya maupun secara analogi sebagai satu bentuk kehidupan, bagi para rasul pasti akan berakhir. Pada akhirnya persaudaraan dari anak-anak Allah akan melihat semua anggotanya bebas dari segala ikatan.

KEPUSTAKAAN. W. W Buckland, The Roman Law of Slavery, 1908; R. H Barrow, Slavery in the Roman Empire, 1928; W. L Westermann, The Slave Systems of Greek and Roman Antiquity, 1955; M. l Finley (red.), Slavery in Classical Antiquity; Views and Controversies, 1960; J Jeremias, Jerusalem in the Time of Jesus,1969, hlm 314, 334-337; J Vogt, Ancient Slavery and the Ideal of Man, 1974; S. S Bartchy, Mallon Chresai: First-Century Slavery and the Interpretation of I Car 7:21, 1973. EAJ/MHS




TIP #06: Pada Tampilan Alkitab, Tampilan Daftar Ayat dan Bacaan Ayat Harian, seret panel kuning untuk menyesuaikan layar Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.07 detik
dipersembahkan oleh YLSA