Apakah "hak Ilahi" dari para raja?

Kepercayaan pada hak ilahi para raja sebagian besar adalah akibat tafsiran-tafsiran Perjanjian Lama, walaupun itu juga ditemukan di antara bangsa-bangsa yang tidak mempunyai Alkitab kita, seperti bangsa Jepang, di mana penganut Syinto ortodoks percaya bukan saja pada hak ilahi para raja, tetapi bahwa raja pada kenyataannya adalah keturunan ilahi. Sesungguhnya, hubungan yang dekat antara kuasa rohani dengan kuasa duniawi ditemukan pada banyak suku kafir dan dari zaman paling mula-mula. Di beberapa suku belum beradab, orang yang ahli mengobati atau "dukun" dianggap orang yang tertinggi, dia memegang otoritas dalam agama maupun otoritas sekular. Pada zaman Abraham kita menemukan Melkisedek baik sebagai imam maupun raja (Kej. 14:18). Di Mesir kuasa-kuasa keimaman adalah sangat banyak, dan para raja, karena diurapi oleh para imam, diduga menerima kuasa mereka dari dewa-dewa. Barangkali untuk menjauhi kekusutan antara imam dan raja ini, maka Yahweh mengeluarkan umat-Nya dari Mesir. Mereka tidak boleh memiliki raja, selain Dia, dan ketika bangsa itu terpengaruh oleh kenangan-kenangan tentang Mesir dan kemakmuran kerajaan-kerajaan di sekitar mereka, mereka menuntut agar Samuel mengurapi seorang raja bagi mereka. Yahweh menyatakan ketidaksenangannya dan memperingatkan mereka akan kejahatan-kejahatan hebat yang akan dilakukan oleh seorang raja (I Sam. 8:10-18). Meskipun demikian, sebagian besar adalah pengaruh Kitab-kitab Suci Yahudi yang melestarikan teori hak ilahi para raja dalam peradaban modern. Karena Gereja Kristen mengambil gagasan-gagasan dan bentuk-bentuk dari Agama Yahudi, maka' para raja negara-negara Kristen masih dimahkotai oleh wakil-wakil dari otoritas gereja, dalam beberapa kasus minyak "kudus" dipakai untuk mengurapi raja. Para penulis Perjanjian Baru memberi tahu umat Kristen untuk mengakui otoritas sipil, di mana soal-soal hati nurani tidak dilibatkan, tetapi berani menentang kekuasaan itu apabila ia bertentangan dengan apa yang mereka yakini sebagai kehendak Allah. Bahkan sesungguhnya para penulis Perjanjian Lama berterus terang ketika menggambarkan kejahatan-kejahatan para raja dan bebas menyatakan bahwa raja-raja yang jahat tidak menyenangkan Allah. Jadi, pesan lebih dalam dari Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru ialah bantahan terhadap teori yang telah diajarkan oleh gagasan-gagasan ini. Apa yang sebenarnya diajarkan Alkitab ialah hak ilahi dari umat, dan betapa berharganya kehidupan setiap pribadi dalam pemandangan Allah, prinsip bahwa setiap jiwa bertanggung jawab langsung kepada Allah atas perbuatan-perbuatannya, prinsip bahwa tidak ada seorang pun menjadi tuan atas yang lain, melainkan bahwa masing-masing menjadi teman sekerja, dan penolong bagi semua. Itulah pengaruh yang revolusioner dari Alkitab yang memberikan kepada dunia Magna Charta (undang-undang yang menjamin hak politik dan sipil) dan harapan-harapan baru mengenai demokrasi sebenarnya. Mengenai Daud, walaupun dia tidak mungkin ingin memakai kedudukannya sebagai raja guna membenarkan kejahatannya, sangat mungkin Batsyeba percaya bahwa dengan patuh kepada rajanya dia merasa telah berbuat yang benar. Sejarah penuh dengan kejadian-kejadian di mana raja-raja telah menyalahgunakan teori lama mengenai hak ilahi raja guna melakukan hal-hal yang tidak adil dan yang jahat.




Artikel yang terkait dengan Matius:


TIP #25: Tekan Tombol pada halaman Studi Kamus untuk melihat bahan lain berbahasa inggris. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA